Beberapa waktu terakhir, tindakan kekerasan sering melanda negeri ini. Baik yang dilakukan secara individu, maupun secara kelompok. Motifnya pun beragam, seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan politik pemerintah, ketidakadilan pemerataan kesejahteraan masyarakat, kecemburuan sosial, dan intoleransi dalam beragama.
Sebagai contoh, pada bulan September 2010, terjadi kasus bentrokan antar etnis bugis dengan etnis dayak di Tarakan, Kalimantan Timur. Bentrokan yang sarat dengan aksi kekerasan ini, bermula dari adanya perselisihan antar pemuda dari kedua etnis, yang akhirnya meluas menjadi sebuah bentrokan besar. Isu SARA yang muncul selama bentrokan berlangsung, seakan-akan menjadi bahan bakar yang menyulut dan membesarkan api bentrokan.
Kekerasan yang terjadi akibat adanya intoleransi beragama, dapat kita lihat dari kasus-kasus yang dilakukan oleh beberapa kelompok berbasis agama. Seperti tindakan mendemo, dan bahkan menyerang kelompok lain, yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Melakukan tindakan main hakim sendiri, merazia, dan melakukan sweeping terhadap tempat-tempat yang bertentangan dengan ajaran mereka, tanpa mengindahkan hukum negara yang berlaku. Dan, memaksa seseorang atau kelompok lain, agar mau menerima serta mengikuti pandangan keagamaan mereka.
Selain itu terdapat kekerasan yang berujung kepada paham radikalisme. Seperti, tindakan kelompok tertentu yang melakukan teror kepada masyarakat. Dengan dalih ingin mendirikan negara agama, dan mensterilkannya dari kelompok-kelompok yang mereka anggap kafir, melalui tindakan pengeboman. Sebagai contoh peristiwa bom Bali, bom Kedubes Australia dan bom hotel JW Mariot.
Korelasi antara Kekerasan, Radikal dan Radikalisme
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Peter Salim dan Yenny Salim,2002:716), kekerasan merupakan perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat diartikan sebagai sebuah perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) ataupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain (Thomas Santoso,2002:11). Berdasarkan pengertian tersebut, secara bebas dapat kita simpulkan, bahwa segala tindakan yang menyebabkan kerugian baik secara fisik maupun mental terhadap orang lain, dapat digolongkan sebagai suatu tindakan kekerasan.
Tindakan kekerasan pada dasarnya, berawal dari adanya sifat radikal pada individu maupun kelompok tertentu. Radikal sendiri memiliki arti sebagai suatu kondisi yang menginginkan perubahan yang sangat cepat (Peter Salim dan Yenny Salim,2002:1220). Sedangkan menurut J.S Badudu (2007:294), radikal merupakan sikap yang sangat keras dalam melakukan tuntutan atau tindakan.
Sifat radikal akan memunculkan suatu paham yang mengkorelasikan antara kekerasan dan sikap itu sendiri. Paham tersebut adalah radikalisme, yaitu suatu paham yang menghendaki perubahan, atau pembaharuan sosial dan politik, dengan cara kekerasan dan drastis (JS Badudu,2007:294). Selain itu radikalisme juga dapat diartikan sebagai suatu sikap ekstrem dalam aliran politik (Peter Salim dan Yenny
Salim,2002:1220).
Paham radikalisme, akhir-akhir ini menjadi sebuah topik hangat untuk dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Karena, paham ini dianut oleh beberapa kelompok yang sering melakukan tindakan kekerasan demi tercapainya tujuan mereka. Selain itu, paham ini juga mulai tumbuh subur, seiring dengan tumbuhnya radikalisasi, yaitu tindakan yang menimbulkan sifat radikal di tengah-tengah masyarakat (JS Badudu,2007:294).
Radikalisasi dan Deradikalisasi di Indonesia
Timbulnya paham radikalisme di kalangan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari semakin intensnya proses radikalisasi, terutama dalam bidang keagamaan. Ajaran-ajaran agama dijadikan sebagai dalil utama dalam melakukan tindakan radikal. Sehingga, masyarakat yang terpengaruh, lebih mengutamakan tindakan kekerasan dalam mengekspresikan setiap pendapat mereka.
Berangkat dari keprihatinan akan meningkatnya radikalisasi pada masyarakat. Pada bulan April 2010, Lazuardi Birru (LB), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengadakan riset nasional, yang bertajuk “Kerentanan Pada Radikalisme Sosial-Agama”. Salah satu tujuan diadakannya riset ini, adalah untuk mengeksplorasi radikalisme pada tingkat muslim dewasa di Indonesia. Riset ini dipresentasikan pada simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Le Meridien Hotel, Jakarta, pada tanggal 27-28 Juli 2010.
Dalam riset ini diperoleh data mengenai masyarakat yang pernah dan bersedia melakukan tindakan radikal. Hasilnya, 2.6% masyarakat muslim dewasa, menyatakan pernah merencanakan atau ikut melakukan razia/sweeping,tempat-tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, seperti diskotek, tempat pelacuran dan perjudian. Sementara itu 26.3% menyatakan bersedia melakukan tindakan tersebut apabila memperoleh kesempatan untuk melakukannya.
Sebanyak 1% menyatakan pernah melakukan demonstrasi terhadap kelompok yang dinilai menodaiatau mengancam kesucian Islam. Dan, 26.9% menyatakan bersedia melakukan tindakan tersebut apabila memperoleh kesempatan.
18.8% masyarakat muslim dewasa, menyatakan selalu berusaha meyakinkan orang lain, seperti teman atau saudara agar mengikuti pandangan keagamaan yang mereka yakini. Dan, 25.8% menyatakan bersedia melakukan tindakan tersebut apabila memperoleh kesempatan. Sebanyak 37.4% menyatakan, pernah menyumbang dalam bentuk materi untuk organisasi atau kelompok yang dipandang sedang memperjuangkan ditegakkanya syariat Islam. Dan, 37.1% menyatakan bersedia melakukan tindakan tersebut apabila memperoleh kesempatan. 1.3% masyarakat muslim dewasa, menyatakan pernah melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain. Dan, 5.3% bersedia untuk melakukannya apabila memperoleh kesempatan.
Hasil riset tersebut menunjukkan persentase masyarakat muslim dewasa yang pernah melakukan tindakan radikal tergolong kecil. Namun, persentase mengalami peningkatan ketika, ditanyakan kebersediaan mereka melakukan tindakan radikal tersebut.Hasil ini menunjukkan bahwa proses radikalisasi pada masyarakat meningkat tajam.
Persentase yang kecil tersebut apabila dikalikan dengan jumlah masyarakat muslim dewasa di Indonesia maka jumlahnya sangat signifikan. Dan hal ini tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi keamanan dan keutuhan di negeri ini. Karena, radikalisasi dapat menimbulkan paham radikalisme, yang berujung kepada tindakan terorisme.
Untuk itu dibutuhkan suatu tindakan nyata dari segala pihak, dalam melaksanakan deradikalisasi terhadap kelompok masyarakat yang menganut paham radikalisme. Sebagai upaya dalam menekan tindakan kekerasan dan jatuhnya korban, serta meminimalisir ancaman terhadap keutuhan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H