Mohon tunggu...
Dadik Devianto
Dadik Devianto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Buat tugas kuliah aja semoga bermnafaat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tanah Abang Vs E-commerce

12 Desember 2023   19:01 Diperbarui: 12 Desember 2023   19:19 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada beberapa bulan lalu ramai pemberitaan terkait sepinya Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang yang dijuluki pasar tekstil terbersar se Asia Tenggara kini mulai sepi, sepinya Pasar Tanah Abang diperkirakan karena terkena arus perkembangan zaman. Pembeli yang dulunya harus ke Pasar Tanah Abang yang terletak di Jakarta Pusat sekarang bisa dengan muda membeli keperluan melalui e-commerce. Perusahaan e-commerce pun menjamur di Indonesia baik yang lokal seperti Tokopedia,  Bukalapak, dan Blibli maupun luar negeri seperti Shoppe, Lazada,  JD.ID (sekarang sudah tutup), dan Tiktok Shop. 

Para pedagang Pasar Tanah Abang menyalahkan tiktok shop sebagai faktor sepinya dagangan mereka. Keluhan ini pun sampai ketelinga Pemeritah dan Pemerintah pun menutup Tiktok shop dengan dalih bahwa izin applikasi Tiktok hanya sebagai social media bukan e-commerce. Lalu jika Tiktok shop mengurus izin sebagai e-commerce apakah diperbolehkan kembali jualan? Yang jelas paska ditutupnya Tiktok Tanah Abang tidak kembali lagi seperti dulu, lalu faktor apa yang membuat Pasar Tanah Abang sepi.

Menurut penulis kenapa Pasar Tanah Abang atau pasar tradisional lainnya tidak bisa tetap ramai seperti dulu adalah karena satu harga di e-commerce lebih murah! Sebelum ada e-commerce, produsen barang akan menjajakan barangnya melalui pedagang di pasar namun sejak ada e-commerce produsen lebih memilih untuk menjualnya secara langsung. 

Hal ini memang tidak diatur, namun jika berkaca dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”) dan lebih rinci diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/3/2016 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang (“Permendag 22/2016”). Yang intinya Produsen harus ke distributor kemudian dari distributor harus ke penjual (agen/pengecer). 

Jika dilihat dari alurnya tentu saja distributor akan ambil untung dari produsen, lalu agen akan ambil untung dari distributor dan seterusnya. Hal ini yang menyebabkan jika produsen langsung menjual barangnya, harga barangnya tentu akan lebih murah dari yang dijual agen karena harganya tanpa margin dari distributor dan agen. 

Lalu bagaimana dengan "Official Store" yang ada pada e-commerce, bukankah mereka adalah produsen? atau mereka sudah beda PT dengan produsen sehingga boleh dianggap sebagai agen? Entahlah yang jelas dengan adanya kemajuan teknologi, jangan sampai orang yang tidak menggunakan teknologi jadi kehilangan mata pencahariannya, lalu orang yang belum menggunakan teknologi harus melihat secara terbuka. Namun jika yang menggunakan teknologi sudah terbuka mampukah mereka menyaingi harganya? Di samping itu ada juga faktor dimana kita tidak bisa menyangi harga barang dari luar negeri seperti China yang yang sangat murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun