Kita ketahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan sehingga kemudian kita bias melakukan transaksi yang sah dengan maat uang tersebut. Dan kita sadar bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad ‘alaihishalatuwassalam yang berfungsi sebagai pedoman hidup umat Islam.
Alhamdulillah, Sunah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam terjaga dengan utuh hingga sekarang berkat rahmat Allah kemudian tangan-tangan para ulama yang diberkahi, sehingga sangat mudah kita menemukan mutiara-mutiara ilmu yang bersumber dari Nabi kita yang mulia dalam kitab-kitab para ulama rahimahumullah ta’ala. Walaupun tidak terlepas dari pemalsuan , para ulama telah menjelaskan kepada kita mana hadits yang palsu dan mana yang asli, mana yang salah dan mana yang benar. Barangkali itulah salah satu faedah anjuran syariat Islam kepada umatnya agar menuntut ilmu yaitu menjaga ilmu tersebut dari kepunahan dan agar umat islam selalu berada dalam hidup yang penuh penerangan ilmu dari generasi ke generasi. Sekaligus menegaskan karakter kita sebagai umat pilihan Allah adalah selalu menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Mungkin tidak asing bagi kita jika ada pendapat-pendapat atau anggapan-anggapan yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat berkaitan dengan As-Sunnah. Sebagian orang ada yang memahami As-sunnah sebagai ibadah yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak apa-apa. Pemahaman ini ada benarnya jika berada dalam ranah ilmu fikih Islam yang berkaitan dengan masalahfuru’iyah. Namun , pada kali ini kita ingin melihat As-Sunnah secara utuh dan integral, bukan suatu istilah dalam bidang ilmu tertentu. Akan tetapi kita hendak memporsikan As-Sunnah dalam kapasitasnya sebagai mindset generasi kebangkitan Islam.
Ada yang bertanya, bagaimana umat Islam di seluruh dunia bisa bersepakat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sedangkan mereka mengikuti apa yang mereka pelajari dari masing-masing madzhab mereka. Sehingga ketika mereka diajak untuk merujuk Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka sering mengatakan “ madzhab saya Maliki maka menurut mazdhab saya begini….”, yang lain juga berkata “ kalau madzhab saya Syaafi’i..”, yang lainnya juga seperti itu “ madzhab saya Hanafi”..”madzhab saya hambali..”, dan seterusnya seolah umat Islam ini sudah sulit untuk bersatupadu kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ya, kita terima kenyataan adanya beberapa perbedaan diantara kaum muslimin, namun jika kita ditanya “ apakah perbedaan yang kita perdebatkan itu pernah ada di zaman Rasulullah ?”, tentu tidak ada. Oleh karena itu kita tidak sedang membahas masalah perbedaan, namun fokus kita adalah mengusung suatu hal yang sudah menjadi persamaan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu’alihi wasallam hingga hari kiamat kelak.
Sesungguhnya semua umat Islam mengucapkan syahadat yang sama “ Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah “. Saya, anda dan semua umat islam lainnya mengucapkan kalimat yang sama, sebuah kalimat yang mengikrarkan persetujuan menjadi umat yang sama-sama menyembah Allah dan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah. Tidak ada yang kita sembah selain Allah dan tidak ada yang kita ikuti selain Rasulullah. Namun..pertanyaannya kemudian , bagaimanakah cara umat Islam mengikuti Nabinya ? apakah seperti kaum Nasrani yang malah membuat patung untuk disembah dan kitab injil yang sudah dirubah-rubah ? .
Maka kesamaan uacapan syahadat umat Islam perlu adanya kesamaan untuk memahaminya dengan benar. Setelah pemahamannya sama-sama benar maka insyaAllah ketika dipraktekan dalam prilaku keseharian pun hasilnya sama. Disinilah pentingnya umat Islam menggali informasi dari sumbernya yang terpercaya, bagaimana informasi bisa dipercaya tentunya bersumber dari para ulama yang kompeten dibidangnya yang betul-betul mendalami ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi, apa makna “ aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah “ ?. Para ulama mendefinisikan maknanya adalah : Menta’ati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan ucapannya, dan tidak melakukan suatu ibadah kecuali benar-benar telah disyariatkannya.
Maka , jika ada yang berkata : pendapat ustadz fulan begini, kalau pendapat madzhab saya begini, kalau pendapat syaikh fulan begini, dan seterusnya tidak ada ujungnya, maka kita katakan : yang kami sebutkan adalah perkataan dan pendapat utusan Allah langsung, apakah umat Islam berani membantah Nabinya ?
Bahkan para Imam mazdhab sangat tegas melarang kaum muslimin mengikuti mereka sembarangan tanpa alasan dan dalil yang benar. Seperti perkataan mereka berikut ini.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata : “ Jika ada hadits yang sahih itulah mazdhabku “. maka tidak benar jika kebenaran itu ada pada mazdhab Hanafi, karena Abu Hanifah sendiri dengan jelas mengedepankan hadits daripada pendapatnya sendiri. Dan hadits adalah landasan produk hukum fikih setiap madzhab.
Abu Hanifah juga berkata : “ Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami jika ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya “. Perkataan beliau ini mensyaratkan ilmu pengetahuan dalam bermadhhab, bukan sekedar ikut-ikutan. Dan haram hukumnya bermadzhab dengan madzhab hanafi jika tidak tahu sumber ilmu mereka, karena bisa jadi hanya pengakuan saja sedangkan pengakuan harus dibuktikan secara ilmiyah jika memang benar.
Imam Malik rahimahullah berkata : “ Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar, oleh karena itu telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ambillah, dan jika tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah “.
Beliau juga berkata : “ Siapapun bisa diterima atau ditolak perkataannya, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam”.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “ jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku “.
Beliau juga berkata : “ Jika menurut para ahli hadits ada hadits yang shahih dari Rasulullah berkaitan dengan suatu masalah, namun pendapatku menyalahinya, psati aku akan mencabut pendapatku itu, baik ketika aku masih hidup maupun setelah matiku “.
Beliau juga berkata : “ Setiap hadits yang dating dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam berarti itulah madzhabku, sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku “.
Imam Ahmad bin Hambal berkata : “ Janganlah kalian tqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’I, Auza’I dan Trsauri, tetapi ambillah dari sumber mana mereka mengambil “.
Beliau juga berkata : “ Yang dinamakan ittiba’ ( mengikuti ) yaitu mengikuti apa-apa yang bersumber dari Nabi shlallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya, sedangkan yang bersumber dari para tabi’in boleh dipilih “.
Itulah diantara perkataan empat imam madzhab, jika kita perhatikan semuanya memiliki makna yang sama yaitu jangan mengikuti mereka jika mereka tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena mereka mengakui dengan rendah hati bahwa pendapat mereka tidaklah maksum, tidak lepas dari kesalahan dan itu pasti ada, mereka menganjurkan umat Islam untuk merujuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Itulah bukti sikap rendah hati mereka di hadapan kalam Allah dan sabda Rasulullah , para imam itu takut jika pendapat mereka bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan sampai berkata “ tinggalkanlah pendapat saya , ambilah hadits Rasulallah shallallahu’alaihi wasallam”. Lantas , sudahkah para ulama sekarang menyamai derajat ijtihad mereka ? sudahkah ulama sekarang rendah hati dihadapan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti para imam itu ? mahasuci Allah yang telah mengutus nabi Muhammad yang maksum.
Lantas, bagaimana menjawab pertanyaan yang mengatakan bahwa kita ini bukan siapa-siapa kita tidak memiliki ilmu yang cukup untuk memahami Al-qur’an dan As-Sunnah kecuali mengikuti perkataan para imam dan ulama. Benar, namun ketika kita mendengar perkataan atau membaca pernyataan para imam dan ulama harus ada pertanyaan yang diajukan, yaitu apakah perkataan tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau hanya sekedar pendapat ? mana dalil Al-Qur’annya dan bagaimana pendapat Rasulullah tentangnya, lalu bagiamana sikap para sahabatnya ketika itu ? tanyakan hal ini kepada ulama yang memang kompeten dibidangnya. Dan itulah cara kita mendapatkan ilmu sehingga bisa beramal sesuai ilmu tersebut.
Hal ini tidak berarti kitab-kitab para ulama tidak penting. Akan tetapi kitab-kitab para imam dan ulama penting juga untuk mengetahui bagaimana cara-cara mereka merumuskan sebuah hukum sehingga bisa mengambil putusan hukum pada kondisi dan situasi tertentu yang sebelumnya tidak ada, sesuai kaidah-kaidah istinbath hukumnya.
Karena tidak sedikit orang yang semangat belajar Al-Qur’an namun tidak melihat tafsir para ulama atau belajar hadits tapi tidak tahu petunjuk-petunjuk bahasa arabnya yang khusus, yang umum, mutlak atau muqoyyad dan sebagainya, sehingga akibatnya banyak terjadi kesalahan yang fatal dalam memahaminya. Oleh karena itu, kunci kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menuntut ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sendiri yang mana kita tahu keduanya adalah sumber rujukan bagi seluruh disiplin ilmu. Wallahu’a’lam.
Al-Hasyiah Ibnu Abidin (1/63)
Al Hasyiah Al-bahru ar-raiq (6/293)
Ushulul Ahkam (6/149)
Irsyadus Salik – Abdul hadi ( 1/227)
Dzammaul kalam – Al Harawy (3/47/1), Al-majmu’-An-Nawai (1/63)
Al-Hilyah – Abu Na’im (IX/107)
Ibnu Abi Hatim ( 93-94)
I’lamul muwaqi’in - Ibnul Qayim (II/302)
Masail imam Ahmad –Abu Dawaud ( 276 -277 ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H