[caption id="attachment_218579" align="aligncenter" width="623" caption="Stasiun Cianjur, satu bangunan heritage di Kota Cianjur (Foto-foto : Dadan wahyudin/Nop 2012)"][/caption] oleh : Dadan Wahyudin | Penikmat Sepur Di kancah perkeretaapian, Cianjur sebenarnya memiliki reputasi diperhitungkan. Sayangnya, operasionalisasi kereta api di bumi Cianjur mengalami jatuh-bangun. Terakhir, sejak Idul Fitri kemarin kereta api Cianjuran berhenti beroperasi. Gunung Gede sebagai ikon kabupaten Cianjur pernah dijadikan satu nama kereta api sekelas argo. Prestise ini karena hanya segelintir jurusan dilayani kereta argo. Kelas argo hanya melayani Bandung-Surabaya [oleh Argo Wilis], Jakarta-Surabaya [Argo Bromo], Jakarta-Semarang [Argo Muria], Jakarta-Yogyakarta [Argo Lawu], Jakarta-Solo [Argo Dwipangga] dan Jakarta-Cirebon [Argo-Jati]. Argo Gede pernah (diambil dari nama Gunung Gede) melayani jurusan komersial Jakarta-Bandung. Cianjur pun memiliki catatan sejarah cukup tua di bidang perkeretaapian. Setelah Gubernur Jenderal Herman Willems Daendels (1808-1811) memerintahkan membuat Jalan Raya Pos (Groote Postweg) Anyer-Panarukan melalui Cianjur, tahun 1884 pemerintah kolonial membangun jalur rel kereta api Batavia-Bandung lewat Cianjur. Jalur ini lebih tua daripada jalur rel Bandung-Yogya-Surabaya dibangun tahun 1894 dan Batavia-Bandung via Purwakarta pada tahun 1900. [caption id="attachment_218585" align="alignright" width="310" caption="Padalarang, stasiun pemberangkatan dan tujuan akhir KA Cianjuran. Mengakrabkan anak dengan sepur (tetapi harus ekstra hati-hati)"]
[/caption] Terowongan kereta api Lampegan di desa Cibokor, Gunung Keneng, Cianjur tercatat sebagai terowongan pertama dibangun dan tercatat sebagai empat besar terowongan terpanjang di tanah air. Terowongan Lampegan memiliki panjang 626 m, berada di bawah terowongan Wilhelmina (jalur rel Banjar-Pangandaran, sepanjang 1.220 m), terowongan Sasaksaat (Darangdan, 950 m) dan terowongan Ijo (Kebumen, 800 m). Perihal nama "Lampegan", menurut kisahnya, pada saat itu masinis bule melewati terowongan ini, penduduk setempat memperingatkan agar masinis menyalakan lampu dengan teriakan : “lamp again” atau “lampe tuan” yang didengar penduduk setempat kata “lampegan”. Lampegan merupakan stasiun terakhir di perbatasan kabupaten Cianjur berbatasan dengan kampung Cireunghas (Kab. Sukabumi).
Nostalgia di jalur heritage Naik kereta api (KA) Cianjuran memiliki pengalaman tersendiri. Suatu waktu di awal tahun 2012, penulis mencoba naik “kuda besi” ini dari stasiun Cianjur dengan tujuan Padalarang. Pemberangkatan terakhir di stasiun Cianjur adalah pukul 11.30 WIB. KA Cianjuran melayani penumpang sebanyak dua rit (empat kali perjalanan) seharinya. Pemberangkatan pertama dari Cianjur pukul 05.00 WIB. Kembali ke Cianjur dari Padalarang pukul 08.30 WB. Pemberangkatan kedua (terakhir dari Cianjur) pukul 11.30 dan jadwal tiba di Padalarang pukul 13.10 WIB. Kereta api berangkat terakhir pukul 16.30 WIB menuju Cianjur. KA Cianjuran sungguh menarik. Mungkin satu-satunya kereta api tidak pernah bersilangan (kecuali di stasiun Padalarang). Dengan demikian, alat wesel tidak perlu dipindah-pindah. Soalnya, jalur ini hanya dilintasi oleh kereta api dijuluki “Argo Peuyeum” sebagai penguasa tunggal jalur ini. Ini berbeda dengan kereta api dimiliki PT. KAI biasanya sepasang A dan B, seperti: KRD, Patas, atau KA Mutiara Selatan, KA Pasundan, KA Kahuripan, dan lain-lain. Kedua kereta api ini [A dan B] bisa berangkat dalam waktu bersamaan pada stasiun pemberangkatan masing-masing. Perihal julukan di atas, karena KA Cianjuran melewati stasiun Cipeuyeum sering mengangkut “tape” [peuyeum] produksi masyarakat setempat. Stasiun Cianjur berada di Jalan Yulius Usman merupakan bangunan heritage. Bagi yang baru naik kereta ini agak sedikit bingung. Kereta api menerobos deretan pedagang kaki lima yang sengaja menjajakan dagangannya di atas rel. Namun, mereka seolah sudah akrab. Begitu kereta api hendak diberangkatkan, para pedagang ini beramai-ramai mengangkat barang dagangannya ke tepi rel sebentar. Begitu kereta api telah pergi, aktivitas kembali seperti semula. Bagi pedagang hal ini biasa, toh kereta api di Cianjur cuma satu, sehingga jadwal keberangkatan dan kedatangannya mudah diingat. [caption id="attachment_218584" align="aligncenter" width="535" caption="KA Cianjuran melewati lapak pedagang ini dan pedagang sudah akrab dengan jadwalnya (dok. pribadi)"]
[/caption] KA Cianjuran memiliki dua buah gerbong penumpang. Kapasitas satu gerbong bisa memuat 100-150 penumpang, sehingga satu kali angkut dapat membawa 300 penumpang. Belum ditambah petugas dan pedagang asongan mengais rezeki di sini. Para pengguna jasa transportasi berbasis rel ini tersebar sepanjang stasiun dilewati. Maleber, Tipar, dan Selajambe adalah tiga stasiun pertama dilewati. Pemandangan sepanjang kawasan ini didominasi pesawahan dan perbukitan nu jauh di sana. Ini terkait erat dengan reputasi Cianjur merupakan lumbung beras di luar Pantura. Pada saat melintasi sungai Cisokan, posisi rel kereta api sejajar dengan jalan raya yang berada di samping kiri (dari arah Bandung) menjelang stasiun
Ciranjang. Kemudian kereta api pun melaju memotong jalan raya Cianjur-Bandung setelah stasiun Cipeuyeum dan menyebrangi sungai Citarum. Sungai terpanjang di provinsi Jawa Barat ini memiliki bentangan lebar dan tinggi nyaris sama yakni sekitar 200 meter. Cukup mencemaskan juga. Perjalanan selanjutnya melewati hutan dan perkebunan. Medan berat pun dilalui kereta api yang mendaki di stasiun Rajamandala-Cipatat-Tagogapu. Menurut keterangan penumpang, di daerah ini kereta api pernah mundur, sehingga rangkaian gerbong dibatasi tak lebih dari dua gerbong. Akhirnya penulis tiba di stasiun Padalarang pukul 13.15 WIB. KA Cianjuran beristirahat di Padalarang menunggu pukul 16.30 WIB untuk melakukan tugas terakhir di hari itu. Mengantar kembali peminat sepur menuju kota Cianjur.
Terus memendek Pada awalnya jalur KA Cianjuran menghubungkan stasiun Ciroyom [kota Bandung] hingga stasiun Sukabumi Kota. Namun, tanggal 8 Februari 2001, terowongan Lampegan runtuh. Praktis jalur Bandung-Sukabumi ditutup. Rute pun dialihkan ke stasiun Lampegan sebagai stasiun pemberangkatan dengan tujuan akhir stasiun Ciroyom Bandung. Kemudian lebih pendek lagi, dengan jurusan Cianjur-Ciroyom dan terakhir semakin pendek yakni melayani penumpang hanya dari stasiun Cianjur sampai Padalarang. [caption id="attachment_218772" align="aligncenter" width="456" caption="Stasiun Ciranjang, satu stasiun dilewati KA Cianjuran"]
[/caption] Jalur KA Cianjuran mengalami saingan berarti dengan moda angkutan darat lainnya yakni bus. Trayek Bandung-Sukabumi termasuk jalur emas bus, jumlah armada bus cukup banyak dan rapat. Menurut penulis, tujuan pengoperasian kereta api Cianjuran lebih diarahkan untuk memelihara fasilitas aset PT. KAI semata daripada murni menambang keuntungan. PT. KAI telah mendapat pembelajaran, jalur rel Bandung-Banjaran-Ciwidey, Rancaekek-Tanjungsari, atau Cibatu-Garut-Cikajang kini sulit diaktifkan. Selain sejumlah relnya raib, hunian ilegal tumbuh bak jamur di musim hujan. Keprihatinan eksistensi KA Cianjuran terus bergayut. Jadwal perjalanan seringkali terjadi pembatalan. Secara rutin pula gerbong dan lokomotif KA Cianjuran kerapkali dipinjamkan untuk membantu angkutan mudik lebaran ke timur pulau Jawa. Praktis perjalanan kereta api dari dan menuju kota tauco ini diliburkan. Petugas di sepanjang jalur rel diperbantukan memperkuat stasiun terdekat, yakni Padalarang. Sejak 8 April 2012, ada kebijakan direksi mengubah status “Argo Peuyeum” dari kelas tiga (K3/ekonomi) menjadi kelas dua (K2/bisnis). Harga tiket pun melonjak drastis dari Rp. 2.000,00 menjadi 10.000,00. Padahal ongkos bus bisa di bawah harga tersebut. Dampaknya terasa, jumlah penumpang melorot tajam. “Paling dua puluh orang dan kadang-kadang cuma sepuluh orang,” kata seorang pedagang asongan di stasiun Padalarang dikonfirmasi penulis. Saat penulis mau mencoba KA Cianjuran yang telah naik status (K2/Bisnis) di stasiun Padalarang, petugas satpam mengabari, “Maaf Pak, sudah sejak hari raya, KA Cianjuran belum beroperasi lagi … Weleh-weleh … [caption id="attachment_218590" align="alignright" width="281" caption="Sunyi, di stasiun Cipatat (KBB), stasiun pertama selepas kab. Cianjur "]
[/caption]
Secercah optimisme Di tengah jatuh-bangunnya operasionalisasi kereta api di bumi Cianjur, ada secercah optimisme. Terowongan Lampegan telah selesai direnovasi PT. KAI. Jalur Sukabumi-Bogor pernah ditutup mulai April 2006, sejak Januari 2009 dihidupkan kembali dengan diluncurkannya KA Bumi Geulis. PT. KAI berencana menggarap jalur wisata sejarah Bandung-Cianjur dengan menggunakan lokomotif uap mirip di Ambarawa. Keseriusan ini dibuktikan oleh kehadiran Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf dalam gelaran “One day Tour” yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Cianjur dan PT. KAI Daop 2 Bandung beberapa waktu lalu seperti dikutip dari catatan
humaska PT KAI. Wagub turut menumpang KA “Argo Peuyeum” melewati sekitar 10 stasiun, berakhir di stasiun Lampegan sekitar 60 km. Di stasiun ini, rombongan Wagub meninjau langsung terowongan Lampegan. Terowongan yang dibangun tahun tahun 1879-1882 merupakan salah satu cagar budaya. Meskipun selesai diperbaiki, sampai saat ini jalur melalui terowongan Lampegan belum diaktifkan kembali. Wagub saat itu berkunjung pula ke situs megalitikum Gunung Padang di Karyamukti yang tak jauh dari stasiun tersebut. [caption id="attachment_218588" align="aligncenter" width="452" caption="Situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara Gunung Padang, Campaka, Cianjur cukup dekat dicapai dari stasiun Lampegan, kab. Cianjur"]
[/caption] Bagi Anda belum pernah naik kereta api jalur Cianjur, mudah-mudahan kereta api Cianjuran kembali normal dan gagasan kereta api wisata Bandung-Cianjur-Sukabumi dapat terwujud. Tentunya dengan harga terjangkau. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya