Mohon tunggu...
Dadan Wahyudin
Dadan Wahyudin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Gembala sapi, suka bahasa dan menulis. Mengagumi keindahan natural. Lahir di Pagaden, Tinggal di Bandung, Garut Jurusan busnya, Hobi Makan dan Jalan-jalan di Cianjur \r\n

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membangun Negriku Melalui Bahasa

29 Agustus 2012   00:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:12 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_195784" align="aligncenter" width="451" caption="Guru bahasa, satu ujung tombak pengajaran bahasa santun (ilustrasi)"][/caption]
"Setan, goblok, edan, anjing, gelo"  (maaf....)
kini merupakan  kosa kata yang biasa terlontar dalam percakapan remaja.  Pilihan diksi  itu membuat tak biasa merinding, apalagi kosakata itu dijadikan kata ganti sapaan dengan mitra tuturnya.
Ada pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa”.
Pepatah pendek ini bermakna luas, yakni untuk melihat karakter suatu masarakat  cukup dilihat dari cara bertutur dan berbahasa masyarakatnya. Tatanan masyarakat yang santun memiliki potensi dalam membentuk sikap dan perilaku positif, yakni menumbuhkan budaya saling menghargai, mempererat silaturahmi, menjalin kerukunan, bahkan pada saat beradu pendapat pun penggunaan bahasa yang kondusif merupakan rahmat untuk saling melengkapi gagasan dan ide.
Sebaliknya, penggunaan bahasa yang kasar, cenderung diumbar, penuh umpatan,  mengancam, dan melecehkan  martabat dan fisik seseorang  berpotensi memincu munculnya riak pertikaian di masyarakat dalam menumbuhkan dendam, keangkuhan, dan  penyebab tawuran dan bentrokan  di kalangan siswa maupun antarwarga.  Kebiasaan saling ejek, umpat dan hina pada seseorang maupun komunitas tertentu, apalagi dipertontonkan figur publik, hanya akan menguras energi dan menabur sikap saling curiga. Pendeknya, perjalanan peradaban suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh bahasanya. Prinsip Kerjasama Paul Grice Bahasa merupakan aktivitas sosial.  Dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakan, penggunaan bahasa, dan interpretasi-interpretasi terhadap ucapan lawan tuturnya.  Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu ada 4 maksim (aturan) yaitu (a) maksim kuantitas (quantity maxims), yaitu berikanlah informasi Anda sesuai dengan  kebutuhan dalam rangka tujuan atau maksud penuturan; 2) Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan). (b) Maksim kualitas (maxims of quality);  berkaitan dengan ini maksim ini : 1) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar; 2) Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai); (c) Relevansi (Maxim of relevance), pembicara harus memberi kontribusi yang relevan; (d) Maksim cara  (Maxims of manner), yaitu 1) hindari ungkapan tidak jelas; 2) hindari ungkapan membingungkan; 3) hindari ungkapan berkepanjangan, 4) ungkapkan sesuatu secara runtut)  maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Dalam buku Logic and Conversation (1975 : 47) Grice membuat ilustrasi masing-masing maksim,  saat memperbaiki mobil, kalau anda memerlukan empat sekrup, saya akan memberikan empat sekrup, bukan dua atau enam (quantity); saat membuat kue, kalau anda memerlukan gula saat membuat kue saya tidak minta anda tidak memberikan garam (quality); kalau saya sedang membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku walaupun kontribusi  barang-barang ini mungkin sesuai di lain waktu (relation) dan saya mengharapkan teman kerja  saya menjelaskan kontribusi apa yang diberikan dan melaksanakan tindakannya secara beralasan (manner). Sementara ahli lain, Leech (1983:119)  menyebutkan dalam interaksi para pelaku memerlukan prinsip lain selain prinsip kerjasama, prinsip kesopanan.   Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim yakni 1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), yaitu memperkecil kerugian pendengar; memperbanyak keuntungan pendengar; 2) maksim meta (meta maxim) yaitu jangan menempatkan orang dalam suatu posisi di mana mereka harus menghancurkan tac maxim; 3) maksim kedermawanan (generosity maxim), memperkecil keuntungan sendiri, memperbesar keuntungan pendengar; 4)  maksim pujian (approbation maxim), yaitu memperkecil keluhan pendengar, memperbesar pujian pendengar; 5) maksim kerendahan hati (modesty maxim), yaitu memperkecil pujian diri, memperbesar perendahan diri; 6) maksim kesepakatan (agreement maxim), yaitu memperkecil ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain, serta 7) maksim simpati (sympatthy maxim) yaitu memperkecil antipati antara diri sendiri dan orang lain; memperbesar simpati antara diri sendiri dan orang lain.. Percakapan memerlukan mimik bersahabat. Konsep face ('muka') menjadi penting.   'Muka' tersebut bisa berbeda antara satu dengan yang lain berdasarkan situasi. Pada intinya, menurut Sauri (2006: 88-90) percakapan itu harus benar, jujur, adil, baik, lurus, halus, sopan, pantas, menghargai, khidmat, optimisme, indah, menyenangkan, logis, fasih, terang, tepat, menyentuh hati, mengesankan, tenang, efektif, lunakm dermawan, lemah lembut dan rendah hati. Karakter bangsa Sauri (2006) mengatakan  bahwa prinsip dan makna berbahasa yang santun sesungguhnya bisa digali dalam Alquran.  Dalam Alquran dikenal istilah “qaulan” (ucapan) disandingkan dengan kata “sadida” (berarti lemah lembut, jelas, jujur, tepat, adil dan baik); “ma’rufa” (sopan, halus, benar, indah, menyenangkan, penghargaan, baku); “baligha” (benar, komunikatif, mengesankan, menyentuh hati); “maysyuro (mudah, lunak, halus, bagus, optimis); “layyina” (lemah lembut, menyentuh hati, baik) dan “karima” (pemuliaan, penghormatan, pengagungan, penghargaan). Meskipun adat-istiadat antarsuku di Indonesia berbeda, akan tetapi perbedaan itu pada prinsipnya memiliki satu kesamaan, yakni adanya rasa hormat dan menghargai sesamanya.  Secara teoritis bahasa Indonesia tidak mengenal “undak-usuk” bahasa, namun sebagai manusia ada kebutuhan dasar fundamental,  yaitu kebutuhan yang dihormati, sehingga secara empiris terdapat beberapa penggunaan bahasa yang bersifat “honorifik.” Kata-kata honofirik seperti: “suatu kehormatan bagi saya”, “mohon perhatian”, “dimohon sabar”, “apabila berkenan”, “terima kasih”, “permisi sebentar”, “silahkan”, “mohon maaf”, “beliau” maupun ucapan berupa do’a seperti: “bismillah”, “alhamdulillah”, “astagfirullah”, dan lain-lain sesungguhnya bukan saja berisi untaian do’a dan pemuliaan pada Sang Pencipta,  tapi memiliki makna pengakuan kelemahan diri; toleransi; lemah lembut dan penuh penghargaan kepada lawan bicara. Wijana (2006: 56) memberi contoh ungkapan tidak sopan, agak sopan, sopan hingga amat sopan, seperti: Datang ke rumah saya! (tidak sopan) Datanglah ke rumah saya (agak sopan) Silakan (anda) datang ker rumah saya (sopan) Kalau tidak keberatan, sudilah (anda) datang ke rumah saya (amat sopan) Sifat honorifik ini timbul, karena secara kodrati, manusia pasti ingin dihargai oleh sesamanya.  Etika berbahasa merupakan perwujudan sikap hormat kepada mitra-bicara.  Rasa hormat merupakan kemampuan untuk mengimplementasikan nilai dalam diri kita terhadap orang lain. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan  kematangan emosi, kognitif dan sosial. Sebagai makhluk berakal tentunya manusia bertindak dan berkata bukan sekadar menggunakan instink belaka melainkan disertai dengan kesadaran. Pendidikan etika berbahasa   penting dari tugas pendidikan yaitu membangun karakter (character-building) peserta didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku. Sementara itu, character counts di Amerika Serikat mengidentifikasikan bahwa karakter-karakter sebagai pilar utama yaitu; dapat dipercaya (trustzoorthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), ketulusan (honesty), berani (courage), peduli (caring), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness), kewarganegaraan (citizenship), tekun (dilligence) dan integritas. Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang berkarakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang terencana dan berkualitas.    Etika berbahasa sebagai nilai dasar  harus digelorakan sebagai basis mengembangkan karakter peserta didik. Pembentukan generasi berkarakter yang santun melalui pendidikan bahasa adalah sebuah hal niscaya.   Peran pemerintah dapat memberi penguatan melalui kurikulum mulai tingkat satuan pendidikan hingga perguruan tinggi sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.  Hidup di tengah masyarakat santun, laksana hidup di surga seperti digambarkan dalam Alquran berbunyi :  mereka (penghuni surga) tidak mendengar di dalam perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam keselamatan (kebaikan)  (QS : 56: 25-26). Bila hal ini terjadi tak ada dusta di antara kita. Jika tak ada dusta, tak ada korupsi di negeri ini.  Yuk, membangun negeri melalui bahasa. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun