[caption id="attachment_110428" align="alignleft" width="300" caption="waahh, sentimen amat sih ama pengamen"][/caption] oleh : Dadan wahyudin Kalau menurut lagu Bang Haji Rhoma Irama, mengamen itu hanya untuk "sekedar mencari makan", kini salah kaprah banyak dijadikan sebagai profesi. Tak heran, pengamen marak dijumpai di terminal, stasiun, atau setiap perjalanan baik bus atau kereta api ekonomi. Pengamen pun banyak menyambangi komplek perumahan dan perumahan "dari pintu ke pintu', tak terkecuali hampir selalu menggunakan kesempatan setiap tempat usaha yang buka. Memang ada yang merasa senang terhadap kedatangan pengamen, tapi jumlahnya sedikit sekali.  Ada yang dermawan, artinya setiap ada pengamen selalu memberinya uang, jumlah ini juga sedikit. Satu pihak lagi merasa terganggu, kesal, dan jengkel, tak jarang menolak dengan mengucapkan "MAAF...." atau mengangkat tangan  sebagai isyarat menolak. Kalo pun "memberi", itu tak lain isyarat secara halus sebagai upaya menyuruh agar  lekas pergi. Kejengkelan lain kadang diekpresikan dengan berbagai cara menulis di dinding yang menolak pengamen, seperti: NGAMEN GRATIS, MAAF TIDAK MENERIMA PENGAMEN DAN PEMINTA SUMBANGAN, atau ada cara lain agak lebih simpatik, tapi maksudnya mereduksi pengamen juga : NGAMEN HANYA HARI JUM'AT, NGAMEN HANYA LAGU EBIET G. ADE, dan lain-lain. SAYA pemilik kios usaha kecil yang sehari-hari dilewati oleh hampir 10 pengamen. Kadang jengkel pula, maklum belum juga ada pembeli, tiba-tiba datang para pengamen secara beruntun. Mendingan kalo lagunya jelas-jelas menghibut, ini lirik cuma hafal sebaris dan itu-itu juga. Tetapi ketidaksukaan itu tidak saya ungkapkan baik dengan verbal, tulisan ataupun isyarat.  Dan ternyata ini cukup efektif. Setiap ada pengamen yang mo mampir ke kiosku, suruh karyawanku menanyakan sudah dapat berapa hasilnya? (Mirip Majikan dia aja hehe...). Memang kios saya perlu uang receh, maklum usaha retail. Dengan suka hati, si pengamen mengeluarkan isi kantongnya. Ia pun menghitung secara cermat. Ada Rp. 30.000. Karyawan pun menukar dengan uang kertas yang jumlah nominalnya sama. Tentu lebih ringan. Ia pun bergegas pergi dan ....mengamen di kios tetangga sebelah. Begitulah seterusnya.  Setiap hari ada saja pengamen yang "setor" recehnya di kios saya. Kalau mereka belum punya stok, dengan santun berkata pada karyawanku, "Maaf A belom dapet nih, mungkin pulangnya,". Dan tak pernah mengamen lagi di kiosku. Kiosku seolah penuh wibawa hehehe... Gara-gara ini pula, tetanggaku menyindir bila aku suatu ketika berada di sana, "Tuh, enaknya jadi bos pengamen..." Weleh-weleh.....***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H