Mohon tunggu...
Dadan Wahyudin
Dadan Wahyudin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Gembala sapi, suka bahasa dan menulis. Mengagumi keindahan natural. Lahir di Pagaden, Tinggal di Bandung, Garut Jurusan busnya, Hobi Makan dan Jalan-jalan di Cianjur \r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cara Bijak "Menolak" Pengamen

26 Mei 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_110428" align="alignleft" width="300" caption="waahh, sentimen amat sih ama pengamen"][/caption] oleh : Dadan wahyudin Kalau menurut lagu Bang Haji Rhoma Irama, mengamen itu hanya untuk "sekedar mencari  makan", kini salah kaprah banyak dijadikan sebagai profesi.  Tak heran, pengamen marak dijumpai di terminal, stasiun, atau setiap perjalanan baik bus atau kereta api ekonomi.  Pengamen pun banyak menyambangi komplek perumahan dan perumahan "dari pintu ke pintu', tak terkecuali hampir selalu menggunakan kesempatan setiap tempat usaha yang buka. Memang ada yang merasa senang terhadap kedatangan pengamen, tapi jumlahnya sedikit sekali.   Ada yang dermawan, artinya setiap ada pengamen selalu memberinya uang, jumlah ini juga sedikit.  Satu pihak lagi merasa terganggu, kesal, dan jengkel,  tak jarang menolak dengan mengucapkan "MAAF...." atau mengangkat tangan   sebagai isyarat menolak.  Kalo pun  "memberi", itu tak lain isyarat secara halus sebagai upaya menyuruh agar   lekas pergi. Kejengkelan lain kadang diekpresikan  dengan berbagai cara menulis di dinding yang menolak pengamen,  seperti: NGAMEN GRATIS,  MAAF TIDAK MENERIMA PENGAMEN DAN PEMINTA SUMBANGAN, atau ada cara lain agak lebih simpatik, tapi  maksudnya mereduksi pengamen juga : NGAMEN HANYA HARI JUM'AT, NGAMEN HANYA LAGU EBIET G. ADE, dan lain-lain. SAYA pemilik kios usaha kecil yang sehari-hari dilewati oleh hampir 10 pengamen.  Kadang jengkel pula, maklum belum juga ada pembeli, tiba-tiba datang para pengamen secara beruntun.  Mendingan kalo lagunya jelas-jelas menghibut,  ini lirik cuma hafal  sebaris dan itu-itu juga.  Tetapi ketidaksukaan itu tidak saya ungkapkan baik dengan verbal, tulisan ataupun isyarat.   Dan ternyata ini  cukup efektif. Setiap ada pengamen yang  mo mampir ke kiosku,  suruh karyawanku  menanyakan sudah dapat berapa hasilnya? (Mirip Majikan dia aja hehe...). Memang  kios saya perlu uang receh, maklum usaha retail.  Dengan suka hati, si pengamen mengeluarkan isi kantongnya.  Ia pun menghitung secara cermat.  Ada Rp. 30.000.  Karyawan pun  menukar dengan uang kertas yang jumlah nominalnya sama. Tentu lebih ringan.  Ia pun bergegas pergi dan ....mengamen di kios tetangga sebelah. Begitulah seterusnya.   Setiap hari ada saja pengamen yang "setor" recehnya di kios saya.  Kalau mereka belum punya stok, dengan santun berkata pada karyawanku, "Maaf  A belom dapet nih, mungkin pulangnya,". Dan tak pernah mengamen lagi di kiosku.  Kiosku seolah  penuh wibawa hehehe... Gara-gara ini pula, tetanggaku menyindir bila aku suatu ketika berada di sana, "Tuh, enaknya jadi bos pengamen..." Weleh-weleh.....***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun