Menyoal Sertifikasi dan Tunjangan Profesi Guru
Jika mencermati berita di media massa, media sosial, ataupun obrolan ringan sebagian guru terkait dengan tunjangan dari pemerintah bagi guru yang sudah mengikuti program sertifikasi guru dalam jabatan seringkali tunjangan tersebut diucapkan atau ditulis “tunjangan/dana sertifikasi”.
Terkait dengan persepsi tersebut, barangkali sertifikasi dan tunjangan profesi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena hal itu merupakan komitmen pemerintah yang sudah tertera pada UU No. 14/2005. Sertifikasi merupakan proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan konsekuensi dari kelulusan sertifikasi, guru berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Tunjangan profesi memiliki peran penting bagi eksistensi para guru. Bagi guru yang sudah bersertifikasi dan berstatus PNS tunjangan profesi disesuaikan dengan gaji pokok sesuai dengan golongan/pangkat. Sedangkan bagi guru tetap yayasan dan atau guru honorer di negeri yang mendapatkan SK pengangkatan dari pemerintah dalam hal ini bukan semata SK dari kepala sekolah saja, jika belum mendapatkan SK penetapan inpassing mendapatkan tunjangan profesi sebesar Rp. 1.500.000 sedangkan jika sudah mendapatkan SK inpassing tunjangan disesuaikan dengan gaji pokok guru PNS.
Tunjangan profesi mendorong adanya peningkatan kompetensi guru. Pengalaman penulis di lapangan, terutama bagi guru non-PNS, mereka dapat membeli laptop, notebook, dan sebagainya setelah mendapatkan tunjangan profesi. Bahkan beberapa sahabat penulis-pun yang sudah tersertifikasi, tidak sedikit yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang pascasarjana. Poin pentingnya tentu hal itu harus berbanding lurus bagi keberlangsungan kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas.
Problema
Implementasi program sertifikasi dari tahun ke tahun bukan berarti tidak ada permasalahan. Adanya perubahan pola sertifikasi hal itu menjadi catatan positif terkait dengan perbaikan implementasi sertifikasi guru dalam jabatan. Pada tahun 2007 sertifikasi mulai dilaksanakan dengan pola portofolio dan PLPG. Program sertifikasi guru dengan sistem portofolio di mana guru harus menyusun 10 item prestasi kerja mereka selama menjadi guru.
Pada tahun 2008 diterbitkannya PP No. 74/2008 menjadi acuan teknis dalam pelaksanaan sertifikasi dan hal itu menunjukkan bahwa implementasi pola sertifikasi melalui portofolio ada kekurangan dan perlu disempurnakan sehingga saat ini program sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilakukan dengan pola Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) oleh LPTK yang diberi tugas oleh pemerintah, namun sebelumnya guru harus mengikuti Ujian Kompetensi (UK) serta pola sertifikasi melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Selain itu, ada guru non-PNS yang sudah lulus sertifikasi guru dalam jabatan, akan tetapi tunjangan profesi-nya tidak dapat dicairkan. Sebagaimana yang dialami oleh guru non-PNS yang mengampu mata pelajaran PAI yang mengajar di sekolah negeri. Secara regulasi, mereka terganjal PP. No. 74/2008 tentang guru sesuai pasal 15.
Mengutip pendapat Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan, salah satu solusi agar tunjangan profesi bagi guru non PNS berstatus guru tidak tetap (GTT) yang mengajar di instansi pemerintah maupun swasta. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan SK penetapan bagi guru non-PNS yang sudah tersertifikasi. Hal itu tidak akan mengganggu keuangan daerah, karena anggaran tunjangan profesi berasal dari pusat.
Di sisi lain, seringkali pencairan tunjangan profesi lambat diterima oleh guru. Apalagi bagi guru non PNS, tunjangan profesi menjadi tumpuan dalam membangun ekonomi keluarga. Walaupun di sisi lain, mereka menyisihkan untuk pengembangan kompetensi. Contoh kasus misalnya di Kota Bandung, keterlambatan pencairan tunjangan profesi dialami oleh guru PAI non PNS yang mengajar di sekolah swasta sejak bulan Oktober 2014 sampai bulan Mei 2015 tunjangan untuk 2.000 Guru Agama belum dibayarkan sebagaimana diberitakan di Pikiran Rakyat, 6/5/2015.
Kemudian, terdapat guru yang sudah tersertifikasi yang tidak sesuai dengan latar belakang kualifikasi pendidikan S-1/D-IV (mismatch). Mereka telah lulus sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Akhir-akhir ini ada wacana bahwa mereka harus kuliah kembali sesuai dengan mata pelajaran atau guru kelas yang tertera dalam sertifikat pendidik. Hal ini menjadi pemikiran bersama, bahwa mereka telah mendapat pengakuan sebagai guru profesional dari LPTK. Jika mereka harus kuliah kembali dengan asumsi belum profesional. Hal itu tentu bertolak belakang dengan kelulusan mereka mengikuti sertifikasi.
Ekspektasi
Sebagai bagian dari masyarakat, penulis memiliki ekpekstasi bahwa pendidikan menjadi bagian terpenting dalam mewujudkan generasi bangsa yang berakhlak mulia serta cerdas. Di tengah tantangan globalisasi dan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 ini, pendidikan menjadi lembaga yang urgent untuk memosisikan diri sebagai institusi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Atas dasar itu, para pemangku kebijakan harus serius melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung terhadap peningkatan profesionalisme guru dan kesejahteraan mereka baik yang berstatus PNS maupun non PNS. Mengingat peran mereka begitu strategis dalam mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat yang tertera dalam konstitusi negara kita. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H