Konstitusi menghormati hak siapa pun yang merasa dirugikan dalam penyelenggaraan pemilu, dan menyediakan saluran hukum untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam konteks pileg dan pilpres, hukum yang berlaku sudah menyediakan pola penyelesaian sengketa secara berjenjang. Mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding sampai dengan kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk penyimpangan atau kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (Civil Process), tersedia jalur penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat mandat untuk memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang kemudian dijabarkan melalui UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang pada prinsipnya perselisihan hasil suara pemilu diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi dengan cakupan kewenangan yang lebih luas, dari pemilu presiden, legislatif, dan pemilukada.
Sementara itu, untuk penyimpangan yang menyangkut personel penyelenggara pemilu meliputi pidana pemilu, administrasi pemilu maupun kode etik penyelenggaraan pemilu (Crime Process) dapat diajukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini sebagaimana ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 97 yang menyebutkan bahwa tugas Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap: pelanggaran pemilu, sengketa pemilu, dan menyelesaikan sengketa pemilu melalui Ajudikasi nonlitigasi.
Dengan demikian, jangan sampai ketidakpuasan atas hasil pemilu dilampiaskan dengan cara-cara yang di luar koridor hukum. Hal tersebut perlu diingatkan, mengingat sudah banyak kasus kerusuhan baik di dunia maya ataupun nyata, terutama atas hasil pemilu yang melampiaskan ketidakpuasannya dengan cara-cara anarkistis. Berangkat dari pengalaman itulah, kita mendorong semua pihak untuk menempatkan hukum sebagai panglima.
Perlu Sikap Kenegarawanan
Kita tentu berharap seluruh elite politik memiliki jiwa kenegarawanan serta bersabar untuk menunggu hasil akhir perhitungan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga yang diamanatkan konstitusi sebagai penyelenggara pemilu. KPU sendiri sesuai peraturan akan mengumumkan hasil akhir perhitungan suara paling lama 35 hari setelah pemungutan suara, (22 Mei 2019).
Sikap kenegarawanan diperlukan baik oleh pemenang maupun yang kalah. Sang pemenang harus tetap rendah hati. Menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan), harus menjadikan mandat rakyat sebagai amanat untuk memajukan negara dan menyejahterakan rakyat. Hindari kejemawaan, keangkuhan, euphoria berlebihan dan menganggap pesaing sebagai pecundang.
Bagi yang kalah, harus bisa menerima dengan lapang hati, legowo. Karena sejatinya Pemilu itu adalah agenda lima tahunan untuk memilih pemimpin secara demokratis, sehingga sejak awal harus disadari bahwa dalam kontestasi tersebut menang dan kalah adalah suatu kepastian yang harus disikapi dengan lapang dada. Hindari sikap menghasut, menuding serta menyulut emosi publik untuk saling curiga, karena ini akan menyebabkan perpecahan diakar rumput.
Selain itu, penyelenggara Pemilu (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus bisa menunjukan sikap kenegarawannya. Mereka harus melaksanakan tugasnya secara baik, profesional, dan berintegritas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu pun masyarakat yang telah terpolarisasi seharusnya bisa cair kembali setelah hari pemuncak pada 17 April 2019 berlalu.
Berangkat dari narasi di atas, menjadikan Pemilu menjadi momentum penuh cinta adalah keniscayaan. Agar tidak memberi ruang untuk saling membenci, berkonflik, dan memutus persaudaraan. Sebagaimana Mahatma Gandhi pernah menceritakan, "Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan".
Salam Damai Indonesia Ku