Pendidikan sangat berperan penting dalam memajukan dan mengembangkan kehidupan bangsa. Komitmen bangsa Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan tertuang pada tujuan negara  (Alinea IV pembukaan UUD 1945) yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Segala bentuk kebijakan yang diambil pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus ditinjau untuk mencapai suatu harapan serta tujuan pendidikan nasional. Salah satu kebijakan pemerintah yang perlu ditinjau dan dibahas yaitu mengenai sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT).Â
Kebijakan tentang UKT diterapkan berdasarkan Permendikbud Nomor 55 tahun 2013 yang telah terjadi perubahan pada Permen No 73 tahun 2013. Tujuan diterapkannya sistem UKT adalah untuk meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan. Sejak mulai diberlakukanya kebijakan ini, muncul berbagai tanggapan dari kalangan mahasiswa maupun pihak universitas, begitu pun di kampus UPI.
UKT adalah besaran biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester. UKT sendiri dibagi ke dalam beberapa kelompok. Di Universitas Pendidikan Indonesia sendiri terdapat 8 kelompok pembayaran uang kuliah Tunggal.Calon mahasiswa baru Universitas Pendidikan Indonesis tahun akademik 2013 sampai dengan tahun ajaran 2017 yang orang tua atau penanggung biaya yang mampu secara ekonomi dikenakan UKT pada kelompok V (Lima) sampai VIII (Delapan). Sedangkan bagi yang tidak mampu secara ekonomi dapat dikenakan UKT pada kelompok lainnya.Â
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan di Universitas Pendidikan Indonesia dan Perguruan Tinggi Negeri lainnya di Indonesia adalah kebijakan yang ditujukan untuk lebih membantu dan meringankan biaya pendidikan mahasiswa. Istilahnya sistem UKT ini menggunakan sistem Subsidi Silang. Sebagai umpama, Si A yang keluarganya berpenghasilan dua miliar rupiah per hari membayar SPP sebesar 8 juta, sementara Si B yang keluarganya berpenghasilan 1 juta rupiah per bulan membayar SPP sebesar 100 ribu saja per semester. Dengan sistem ini, Penetapan uang kuliah tunggal memberikan kemudahan untuk memprediksi pengeluaran biaya kuliah mahasiswa tiap semester Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menikmati pendidikan lebih murah sesuai dengan kemampuannya tanpa harus memikirkan pungutan yang selalu besar saat diawal perkuliahan.dan dipastikan tidak ada biaya tambahan lain-lain lagi.
Jika kita cermati, sebenarnya niatan pemerintah menerapkan kebijakan UKT adalah untuk meningkatkan tanggungjawab negara dalam menyediakan pelayanan pendidikan tinggi dengan menghapus uang pangkal yang dirasa memberatkan mahasiswa sebagai pengguna pelayaan pendidikan. Namun demikian, tentu saja kita tidak dapat taken for granted atas kebijakan tersebut. Sebelum menelaah aspek mendasar dari kebijakan UKT, kiranya perlu dipertanyakan derajat keabsahan kerangka regulasi yang menaungi kebijakan ini.  Berbekal Surat Edaran, Dirjen Dikti  UKT menjadi upaya pemerintah untuk menghapus beban uang pangkal yang dirasakan memberatkan finansial mahasiswa, larangan menaikkan SPP mahasiswa, sekaligus penerapan UKT untuk mahasiswa S1 Reguler. Perlu dipertanyakan apakah Surat Edaran Dikti cukup kuat untuk menjadi kerangka regulasi bagi kebijakan yang berimplikasi serius kepada mahasiswa yang dibebankan biaya UKT dan pengelolaan keuangan PTN? Bahkan, himbauan pelaksanaan UKT sebenarnya sudah dicanangkan sebelum UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) disahkan (lihat Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 dan UU Dikti disahkan pada tanggal 10 Agustus 2012).
Di samping kerangka regulasi yang penuh problematik, kebijakan UKT sebenarnya masih menyimpan sejumlah tanda tanya besar, karena fakta dilapangan kita sering dihadapkan dengan ketidakjelasan penentuan besaran UKT oleh pihak birokrat dalam menghitung besaran yang akan di bebankan kepada mahasiswa baru. Permasalahan tersebut diperparah dengan tidak adanya keterbukaan terkait cara penghitungan serta aliran dana dari UKT ini digunakan untuk apa saja, padahal keterbukaan dalam hal tranfaransi dana public ini wajib dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara sebagaimana yang telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2010 yang merupakan pelaksanaan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik .
Selain itu masalah yang sering terjadi akibat ketidakjelasan pemberlakuan sistem UKT ini banyaknya mahasiswa yang cuti paksa bahkan di droup out akibat ketidakmampuan membayar UKT. Jelas hal ini bukan masalah kecil yang bisa disepelekan begitu saja. Selain itu penulis berasumsi dari pemberlakuan sistem ukt yang belum jelas ini akan menyebabkan permasalahan-permasalahan yang lain, yaitu:
Pertama, pemberlakuan UKT pada akhirnya akan dibarengi dengan kucuran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri (Pasal 1 Permendikbud No 58 Tahun 2012). Â Besaran BOPTN tahun ini mengalami kenaikan hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu dari sebesar Rp 99 M menjadi Rp 179 M. Namun dalam prakteknya sistem administrasi dan mekanisme pencairan BOPTN menjadi sangat rumit dan berbelit. Belum lagi komponen mata anggaran yang sangat rigid membuat alokasi BOPTN menjadi sangat kaku dan tidak adaptif terhadap konteks di perguruan tinggi masing-masing.
Kedua, dengan penghapusan SPMA sebenarnya pemerintah telah mengabaikan prinsip keadilan dan memukul rata kapasitas finansial mahasiswa. Meskipun, acapkali SPMA dianggap sebagai pintu masuk bagi perguruan tinggi untuk memungut biaya yang tinggi, namun secara paradigmatik, mekanisme penetapan SPMA sebenarnya didasari pada asumsi bahwa kapasitas finansial mahasiswa sangat beraneka ragam dan memerlukan alokasi biaya yang berkeadilan. Tentu saja, pihak yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah orang tua calon mahasiswa yang memiliki pendapatan di atas margin terendah namun di bawah tarif UKT. Dengan kata lain, kebijakan ini akan sangat menguntungkan mereka yang berpenghasilan di atas tarif UKT dan mencekik orang tua mahasiswa yang tergolong menengah ke bawah. Ironisnya, pemerintah justru berdalih bahwa sistem UKT akan meringankan biaya mahasiswa. Â Â
Dengan demikian, sebenarnya Pemerintah tengah menjalankan politik ‘belah bambu’ dengan jebakan administratif BOPTN. Di satu sisi, pemerintah melarang PTN untuk menaikkan SPP dan pemberian alokasi BOPTN, namun di sisi lain, BOPTN yang seharusnya menjadi biaya yang menopang operasionalisasi PTN justru sangat sulit diakses bahkan mekanisme pertanggungjawabannya sangat tidak rasional. Dengan kata lain, pemerintah akan memiliki dalih bahwa besaran BOPTN toh naik dua kali lipat dan mahasiswa dibebaskan dari kenaikan SPP, bahkan penghapusan uang pangkal.  Dengan paradigma administratif yang dianut pemerintah, standar akuntabilitas perguruan tinggi diukur bukan dalam kontribusinya dalam inovasi dan pengembangan ilmu, namun diukur pada ketaatan dan kepatuhan perguruan tinggi dengan prosedur administratif-birokratis. Padahal kendala administratif telah berdampak sistemik pada operasionalisasi dan mutu penyelenggaraan pendidikan. Sehingga ujung-ujungnya, energi kreatif yang ada dihabiskan untuk menyusun proposal dan membuat laporan pertanggungjawaban saja.
Dirjen Dikti 2012, Slide Presentasi UKT.Â