Mohon tunggu...
Dadan Magnifico
Dadan Magnifico Mohon Tunggu... wiraswasta -

pendosa yang mencoba menuliskan hal-hal bijaksana...makanya jangan percaya sama saya!!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Buku Merah Maroon

24 April 2015   21:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14298854111524496502

dok.pri

“sebenarnya dugaanku sudah mengerucut padanya sejak akhir tahun 2014 lalu, sebelum isu ini menyeruak seluruh desa”

“kamu punya bukti?”

“mungkin akan sulit kau percaya”

“hmmm...bisa kau jelaskan?”

“semuanya bermula dari...”

Bondan  menghela nafas panjang. Matanya menerawang. Ia urung melanjutkan pembicaraan itu. Keraguan sepertinya masih saja bergelayut dihatinya tentang dugaan yang selama ini ia rasakan.  Hingga berita yang berkembang dan sangat tidak membuat nyaman sebuah desa dikaki gunung salak itu, menggugah naluri investigasi Bondan.

Ia teringat ucapan Kang Yusta, sang kades, beberapa waktu lalu menantang para rival-nya untuk membuktikan tuduhan  itu. Jika tidak,maka tuduhan serius yang dialamatkan kepadanya oleh segelintir warga desa, hanya akan melambungkan namanya pada  pemilihan kepala desa yang akan dilangsungkan tidak lama lagi. Tentunya hal ini sangat tidak disukai oleh pendukung calon lainnya.

Minggu terakhir bulan november 2014 yang lalu itu, secara tidak sengaja, Bondan bertemu dengan Ratih, pembantu rumah tangga keluarga pak kades. Sejatinya mereka adalah teman karib saat SMP. Namun sejak isue berkembang, hubungan mereka menjadi renggang.  Satu hal yang masih diingat Bondan, Ratih sangat disayang oleh istri Kang Yusta, Mila.

Ratih mengetahui seluk-beluk keluarga atasannya. Bahkan seringkali ia diajak dalam setiap acara pesta atau liburan keluarga. Ia pun sudah dianggap kakak oleh Masha dan Misha, anak kembar junjungannya. Percakapan singkat dengan Ratih saat itu, semakin membuat Bondan untuk segera membuktikan kebenaran atas dugaannya.

“kamu tidak mempercayaiku,Bondan?”

“bukan begitu, tapi....”

“tapi apa?pak Yusta adalah orang baik-baik, dan kau tidak tau apa-apa tentangnya!”

Ratih melenggang pergi dengan raut wajah kecut. Bondan pun memaklumi sikapnya itu dan ia tidak sampai hati untuk membeberkan bukti-bukti yang menguatkan dugaannya tentang pak kades Yusta kepadanya.

##

Isu dugaan korupsi dana tukar guling kas desa(TKD),kades Leuwijero,kecamatan Sukabening,terus bergulir. Proyek outer ring road yang melalui tiga desa itu diperkirakan memakan dana milyaran rupiah, dan akan dilaksanakan pada tahun depan. Dana untuk membeli TKD pengganti dianggarkan untuk desa Leuwijero sebesar 1.3 milyar, sedangkan TKD yang dibayarkan hanya untuk tanah seluas 1,2 hektar  dengan taksiran sebesar 870 juta. Terdapat selisih yang besar, sehingga menjadi tanda tanya segelintir warga desa Leuwijero. Tentunya kades Yusta menampik dugaan penyelewengan dana itu dengan mengatakan bahwa semuanya sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Hingga pada suatu pagi, diserambi depan rumah pukul 6.20, ketika Bondan sedang asyik menyesap kopi sambil menikmati kicau indah suara muray medan, klangenan kesayangannya, pandangannya tertuju pada jalan yang membelah persawahan yang masih tertutup kabut pagi itu. Sebuah motor honda ’70 yang ia kenali pemiliknya, terlihat sedang melaju kearahnya. Pemilik motor, bernama Amung,  adalah seorang petugas kebersihan desa. Ia adalah salah satu orang yang mencurigai adanya penyimpangan yang dilakukan kades Yusta.

Terlibat percakapan yang cukup lama diantara mereka. Keduanya sibuk membolak-balikan sebuah buku berwarna merah maroon yang sudah terlihat kotor oleh selubung tanah.

“kamu yakin mung, jika pemilik buku ini adalah kades kita?”

“Yakin bang!..saya mengenali gaya dan bentuk tulisannya”

Setelah percakapan dirasa cukup, Amung pun pamit pergi bekerja dilingkungan kantor desa, tempat ia mencari nafkan untuk istri dan kedua orang anaknya.

Bondan segera mempelajari buku itu. Mulanya ia tidak yakin bahwa temuan tersebut adalah milik pak Kades yang terbuang disesampahan kantor desa. Hampir sebagian tulisan itu nyaris tak terbaca karena  kotor oleh tanah dan resap air.  Siang dan malam ia buka lembar per lembar dengan hati-hati. Sedikit saja ia melakukan kesalahan, maka lembaran itu akan mudah sobek, sehingga perlu usaha ekstra untuk kemudian dapat terbaca, kata per kata,kalimat per kalimat.

Ia mencatat beberapa poin yang dianggap penting untuk menguatkan dugaannya. Buku setebal itu, disamping  berisi catatan harian rutinitas kepala desa, ternyata juga berisi  catatan pribadi.

Bondan tercengang pada temuan yang ia dapatkan. Apa yang selama ini hanya dugaan ‘tak bernyawa’,  ternyata nyaris sewarna dengan benang merah yang ia urai dalam buku itu.

Seorang Kasi Pidsus Kejari bernama Yahya, sebenarnya mengetahui penyelewengan yang dilakukan kades Yusta. Namun ia urung menindaklanjuti kasus ini karena ancaman dari sang kades.

Pertanyaan bondan selanjutnya adalah, bagaimana bisa seorang kades mengancam petugas kejari?ancaman dalam bentuk apa sehingga petugas kejari itu urung menegakkan kewajibannya sebagai petugas hukum?

----------

Beberapa hari kemudian, Amung, si petugas kebersihan kantor desa, kembali mendatangi Bondan. Namun kali ini ia tidak sedang membicarakan perihal buku merah maroon yang ia temukan. Ia hanya memberikan sedikit informasi bahwa Ratih, PRT keluarga kades, pernah bercerita padanya bahwa ia melihat pertemuan antara Kades Yusta dengan seorang pria berseragam coklat tua, disebuah restoran Sunda. Mereka  terlihat bersitegang. Namun segera dilerai oleh ibu Yola, Ketua Badan Permusyawaratan Desa(BPD). Pria berseragam coklat tua itu lalu pergi bersama ibu Yola, dan menaiki Kijang hitam berplat merah.

Informasi berharga ini kembali mengusik kepenasaran Bondan. Siapa pria berseragam coklat tua itu. Lalu apa peran Ibu Yola.

Amung segera mendekati  Bondan,lalu membisikkan sesuatu ditelinganya. Bondan pun langsung bereaksi dan membalas dengan setengah berbisik pula.

“Benarkah ceritamu itu?Jika benar ibu Yola ada hubungan khusus dengan pria berseragam coklat itu, maka dapat aku pastikan bahwa pria itu adalah petugas kejari bernama Yahya”

“Benar...benar bang,tidak salah lagi” Amung menimpali dengan mimik wajah serius.

“plakkk...” Bondan menepuk keningnya sendiri.

-------------

Mayoritas warga desa Leuwijero mendukung pencalonan kembali kades Yusta,seorang kades  dengan perawakan tegap,berwibawa dan rupawan. Para rival politik-nya pun menyadari penuh, jika saja mereka terang-terangan mengusik tampuk pimpinan sang kades, maka mereka akan berhadapan dengan para pendukungnya yang terkenal radikal. Bahkan seorang Ratih,sahabat karib Bondan saat SMP itu, terlihat emosional dan bertemperamen tidak semestinya jika ada nada sumbang yang diarahkan pada junjungannya. Padahal Bondan tahu benar, Ratih adalah seorang yang lemah lembut, santun dan selalu memilih menghindar dari perseteruan.

##

Hingga tibalah masa pemilihan kepala desa. Antusiasme masyarakat dalam pemilihan kepala desa itu cukup tinggi, terlihat dari banyaknya masyarakat yang hadir disana.

Jauh-jauh hari sebelum pemilihan ini berlangsung, Bondan melihat begitu banyaknya intrik-intrik politik dalam masa kampanye. Etika politik seringkali diabaikan. Berbagai cara dilakukan, dari hasutan dan politik uang. Tentunya para pemilik modal besar,paling memiliki potensi besar pula untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Orang yang kuat secara politik dan ekonomi sudah dipastikan dialah pemenangnya. Dan Bondan sudah dapat memastikan, siapa kandidat paling berpeluang untuk memenangkan perhelatan ini,yaitu  Drs.H. Yusta.

Sorak-sorai pendukung pemenang membahana. Bahkan jauh diluar pagar Tempat Pemungutan Suara, sekelompok ibu muda dan para gadis meneriakan yel-yel sambil menari-nari tiap kali nama Drs.H. Yusta disebut  dalam perhitungan suara. Bisa dibayangkan betapa riuhnya jika hasil akhir dari perhitungan suara itu benar-benar dimenangkan  jagoannya. Dan benar saja, pak Yusta terpilih lagi untuk masa jabatan selanjutnya.

Sedangkan Bondan dan Amung si petugas kebersihan desa, berdiri mematung dari kejauhan. Memandang perhelatan itu dengan tatapan tajam. Diiringi gemeretak gigi dan jemari tangan yang terkepal.

Dan dibalik kemeja kotaknya, masih terselip sebuah buku, berwarna merah maroon.

.

.

ilustrasi : Generalvyse.deviantart.com

(Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama,tempat dan kejadian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun