Jawa Timur belakangan ini gempar oleh kasus pembunuhan disertai mutilasi yang mayatnya dimasukkan ke koper dan dibuang ke saluran air di Kabupaten Ngawi. Kepala korban dibuang ke Trenggalek, dan potongan kedua kaki ditemukan di Ponorogo.
Dalam berbagai kasus, pelaku tidak hanya bertindak dengan brutal, tetapi juga terencana. Perbuatannya didorong oleh motif ekonomi, seperti ingin menghilangkan jejak setelah melakukan tindakan pencurian atau pembunuhan. Motif lainnya juga mencakup konflik emosional, dendam pribadi hingga gangguan jiwa.
Mutilasi, atau penganiayaan yang menyebabkan cedera serius atau kematian, telah menjadi ancaman kemanusiaan. Pengamat sosial, AriSumarto Taslim, Â mengatakan bahwa fenomena mutilasi ini merupakan refleksi dari kondisi sosial yang tidak seimbang di Indonesia.
"Mutilasi adalah bentuk kekerasan yang paling ekstrem, dan itu merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam masyarakat kita," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa mutilasi seringkali terjadi karena adanya konflik sosial dan konomi, yang tidak terselesaikan.
"Konflik-konflik ini dapat memicu emosi negatif, seperti kemarahan dan kebencian, yang dapat berujung pada kekerasan," katanya.
Bahwa mutilasi juga dapat terjadi karena adanya budaya kekerasan yang masih kuat di Indonesia. Budaya kekerasan ini dapat memicu orang untuk melakukan kekerasan, bahkan jika itu berarti melukai atau membunuh orang lain.
Bahwa perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia.
 "Kita perlu mengajarkan anak-anak kita tentang pentingnya menghormati orang lain, dan tentang bahaya kekerasan," katanya.
"Pendidikan yang berkualitas dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia," sambungnya.