"Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi"
puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar, yang paling fenomenal melucuti semangat juang bangsa Indonesia saat meletusnya perang Agresi Militer Belanda pasca kemerdekaan RI.
Itulah sepenggal baris terakhir dariChairil Anwar sebelum tenar menjadi sastrawan besar angkatan 45', dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dengan pria ataupun wanita. Perangainya yang kalem, kulit putih, berparaskan Indo, bahasanya yang puitis serta mampu merangkai kata-kata, banyak digosipkan dekat dengan para wanita cantik.
Menurut Pamusuk Eneste dalam "Mengenal Chairil Anwar", dari semua gadis yang pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat. Namun di antara wanita cantik yang dekat dengan Chairil, kisah cinta Chairil dan Sumirat lah yang bikin 'nyesek' para netizen.
Sumirat adalah perempuan yang paling tertambat dalam hati Chairil. Beberapa puisi dan sajak dipersembahkan untuk mirat, salah satu sajaknya berjudul "Sajak Putih-Buat tunanganku Mirat", Chairil menuliskan:
"Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku"
Dengan sajak ini, terbukti bahwa erotisisme dan seksualitas yang terbuka tidak harus berarti pornografi, dan kehadiran sajak ini menepis anggapan sebagian peneliti, bahwa sastrawan Indonesia selalu bersikap malu-malu kucing untuk menggauli seks dalam karya-karyanya tentu komentar semacam itu dilontarkan sebelum Saman terbit. Tapi bahkan sebelum roman yang ditulis Ayu Utami itu memancing perbincangan hangat, antar lain karena eksplorasi seksualitas di dalamnya, pernyataan itu sudah terbantah oleh sajak Mirat Muda, Chairil Muda.
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam "Gelora Cinta Chairil Anwar pada Pacarnya Mirat," (Intisari,April 2002), salah satu sajak Chairil terindah adalah "Mirat Muda, Chairil Muda" yang ditulis pada 1949, namun dibubuhi keterangan di pegunungan 1943.
Chairil bertemu Mirat pada 1943 di tempat wisata Pantai Cilincing Jakarta. Disana, ia melihat Chairil. Pemuda itu tengah duduk bersandar di sebatang pohon sambil membaca buku tebal.
Mirat mengungkapkan kepada Purnawan Tjondronagoro, mula-mula tiada menjadi perhatiannya, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatnya heran. Aneh, pikirnya, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya.
Sikap Chairil yang tak peduli ternyata memikat hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan Chairil. Terutama membayangkan apa yang tengah bermain dalam angan pemuda itu. Saat ia melukis di sanggar milik Affandi, wajah Chairil kembali muncul di benaknya.