http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/pohon-rambutan/
Sepulang dari kampus aku mendekati kamar kosku dengan berjalan termindik-mindik, mengawasi sekeliling menghindari Bu Kawi. Tapi gagal. Ibu pemilik kos-kosan itu meneriakkan namaku dari arah pintu rumahnya.
“Kusnooo…!”
“Gawat!” pikirku.
“Kusno, kamu sudah dua bulan menunggak uang kos,” kata Bu Kawi ketika ia sudah di hadapanku. “Kapan bayarnya?”
“Maaf, Bu! Saya belum punya uang. Mohon beri saya tempo seminggu lagi,” jawabku tanpa terkira dari mana akan mendapatkan uangnya.
Aku tidak seperti mahasiswa lainnya di komplek kos-kosan itu yang setiap awal bulan menerima kiriman uang dari orang tua mereka. Uang kuliah, sewa kos, bahkan untuk makan sehari-hari semuanya kuperas dari keringatku sendiri. Ayahku di kampung sudah lama kularang mengirimi uang. Alasanku karena ingin mandiri. Untuk pemasukan aku sering membantu penelitian dosen-dosenku di fakultas hukum. Terkadang aku juga bekerja memerah susu di peternakan sapi kecil beberapa rumah di belakang kosku. Juga Bu Kawi, kepada janda satu ini aku sering memberi bermacam-macam bantuan: memperbaiki genteng kos-kosan yang bocor, saluran air yang mampet, atau aliran listrik kalau anjlok, pekerjaan-pekerjaan yang sering melonggarkanku dalam urusan uang kos.
“Begini saja,” lanjut Bu Kawi. “Seminggu yang lalu Pak Basir menawarkan diri untuk membeli kebun rambutan milik saya. Katanya ia mau memperlebar pabrik pengolahan susunya di belakang sana. Kebetulan saya juga butuh modal untuk bikin warung kelontong. Saya menyetujui usul Pak Basir dan kemarin ia menyodorkan surat perjanjian ini.”
Bu Kawi menyodorkan tiga lembar perjanjian itu kepadaku.
“Saya tidak mengerti isinya. Kamu bisa bantu saya, No? Kamu kan kuliah hukum.”
“Ada kelemahan dalam perjanjian ini,” kataku setelah membacanya.