Mohon tunggu...
Dadang Kusnandar
Dadang Kusnandar Mohon Tunggu... lainnya -

memasuki dunia maya untuk menjelajah dunia nyata

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pohon Kasih Sayang

23 Juli 2012   03:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis adalah seorang bapak, tinggal di Cirebon

KEMERDEKAAN anak-anak dambaan seluruh orang tua. Anak dengan kemerdekaannya adalah dunia tersendiri yang disediakan sesuai dengan perkembangan bagi masa depannya. Tak ada yang salah apabila anak-anak menyatakan keinginannya untuk terjun bebas ke dunianya yang riang tanpa tekanan pihak mana pun. Tak ada yang melarang sepanjang keinginan itu masih relevan dengan aturan dan norma sosial yang berlaku.

Pertanyaan yang mengemuka, jikalau keinginan anak menyatakan kemerdekaannya itu secara berbeda dengan aturan dan norma sosial ~apa yang harus kita lakukan? Terlebih sekarang ketika bulan mulia Ramadhan datang yang merupakan bulan membahagiakan anak-anak. Yang terbayang dari keinginan atau kemerdekaan anak saat ini relatif sama, yakni pakaian baru yang dikenakan saat lebaran dan besarnya “angpao” yang diterima manakala bertandang ke rumah keluarga besar. Dan yang terbayang di benak seorang anak tak lain banyaknya hari libur sekolah. Keriangan mereka dengan liburan sekolah di bulan Ramadhan adalah keriangan alami. Sebuah dunia yang mematri kepribadian anak sebagai bekal masa depannya.

Awal Ramadhan 1433 Hijriyah ini bertemu dengan tanggal 23 Juli, penanggalan yang ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional. Anak dengan dunianya dan dengan keriangannya mau tidak mau harus diarahkan orang tua agar kelak tidak terjerumus ke dalam dunia yang “keliru”. Tanda kutip pada kata keliru sengaja saya terakan karena penganut paham kebebasan pergaulan pasti menolak seandainya tanpa tanda petik.

Fakta bahwa banyak anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas bukan rahasia lagi. Belum lama di balai pertemuan warga RW 07 Warnasari Kelurahan Kesambi Kecamatan Kesambi Kota Cirebon, Komisi Perlindungan Anak (KPA) Kota Cirebon memaparkan data dan fakta ketertularan HIV AIDS pada anak-anak. Agak jerih mendapati kenyataan itu, sekaligus miris. Betapa tidak, anak-anak di Kota Cirebon tergolong rentan tertular penyebaran HIV AIDS, bahkan ada yang positif.

Tulisan pendek ini tidak akan mengurai masalah HIV AIDS di kalangan anak-anak, akan tetapi menitikberatkan pada penghargaan kita terhadap dunia anak-anak yang merdeka. Dunia anak-anak yang riang, dan sebagai orang tua peran kita dituntut untuk mengarahkan sehingga anak mau menuruti aturan sosial yang berlaku di masyarakat. Peran orang tua yang diharapkan fleksibel, tegas namun tidak otoriter bukan soal mudah. Banyak dialog anak dengan orang tua yang tidak nyambung. Banyak anak yang berani berbantahan dengan orang tua. Dan banyak orang tua yang memaksakan keinginan/ peraturannya kepada anak tanpa diawali dialog.

Pentingkah kita berdialog dengan anak? Bukankah orang tua yang berpengalaman, malah ibu yang melahirkan jauh lebih hebat dibanding dengan anak-anak? Haqul yakin, dialog dengan anak itu penting. Sasarannya jelas yakni agar anak memahami keinginan orang tua dan begitu pula sebaliknya. Mutualisme yang tercipta pada sebuah dialog (antara anak dengan orang tua) tidak akan saling melukai. Anak meskipun berbeda jauh usianya dengan kita, mesti ditempatkan sebagai subjek, bukan objek kesewenang-wenangan orang tua di rumah.

Tanpa sengaja kita mengajarkan diktatorian kepada anak apabila pola pendidikan anak yang dilakukan di rumah hanya berisi perintah dan larangan. Tanpa disadari anak akan memandang orang tua dengan sejuta pandang ketakutan atas hukuman apabila melanggar aturannya. Dan tanpa kompromi anak akan kehilangan kepribadian serta dunianya yang riang seandainya orang tua di rumah hanya bisa berkata ya dan tidak.

Hari Anak Nasional yang tahun ini ada di awal bulan suci Ramadhan semestinyalah mengajarkan kita, para orang tua, untuk bersikap bijak kepada anak. Bijak kepada anak dalam segala hal, tanpa kehilangan status sebagai orang tua dan tanpa memarginalkan anak.

Suatu waktu saya pernah membaca status cukup indah di sebuah jejaring sosial. Isinya: Aku baru bisa berjalan di taman sedangkan senior sudah memanjat tebing. Seketika saya berkomentar: Tidak ada senior dan yunior, yang penting prestasi. Ia pun menyahut: Prestasi ditentukan oleh pengalaman dan usia. Langsung juga saya tulis: Juara Olympiade Matematika Tingkat SD jauh lebih berprestasi daripada seniornya. Berbalas komentar di jejaring sosial bagi saya merupakan hal menarik, terutama ketika muncul sikap merendah yang bukan pada tempatnya. Meski kita mungkin tidak paham benar situasi psikis yang melatari alasan penulisan status tersebut, setidaknya kita bisa berinteraksi jika menjawab atau menuliskan komentar.

Dari situ saya semakin paham bahwa anak kerap menempatkan diri pada posisi subordinat orang tua. Istilah yunior dan senior kurang tepat apabila diseragamkan. Universalitas alias penyamarataan penilaian hanya mengakibatkan berlangsungnya kesenjangan. Celakanya bila kesejangan itu bernama kesenjangan generasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun