Mohon tunggu...
Dadang Kusnandar
Dadang Kusnandar Mohon Tunggu... lainnya -

memasuki dunia maya untuk menjelajah dunia nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Demokrat, Kuasamu Perlahan Terjerembab ke Labirin Gelap

15 Juli 2012   00:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:57 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

14/07/2012 22:31:18 WIB

Dadang Kusnandar* - BeningPost

Foke Nara terjungkal di babak pertama. Seperti permainan sepak bola, pilkada Jakarta 11 Juli kemarin lalu babak pertama merupakan awal perhatian penonton yang tumpah ke lapangan. Babak pertama lebih seru lagi apabila merupakan pertandingan pada sebuah even berkelanjutan. Pilkada DKI itu, awal buruk bagi Foke Nara dan awal baik bagi Jokowi Ahok.

Menyimak berbagai berita kemenangan Jokowi Ahok, publik di luar Jakarta ~bukan pemilih~ sepertinya menyambut kemenangan awal ini. Sudah menjadi rahasia umum, menurunnya citra Partai Demokrat sejak dua tahun lalu, berakibat fatal bagi status quo partai politik di bawah binaan Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus korupsi dan manipulasi yang menimpa sejumlah petinggi partai berlambang mercy ini semakin meyakinkan publik untuk tidak memberikan suara politiknya kepada Foke Nara yang diusung Partai Demokrat.

Di sisi lain, prestasi Jokowi sebagai Walikota Surakarta (terutama mobil nasional karya siswa Sekolah Menengah Kejuruan itu) menjadi point of view yang bagus bagi pencalonannya di ajang pilkada itu. Keyakinan Jokowi boleh jadi didukung oleh sekira 34% lebih orang Jawa Tengah/Timur yang tinggal dan memiliki KTP DKI. Pasangan ini bertambah kuat manakala Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM alias Ahok sukses menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid pada tahun 2007  menyatakan bahwa "Ahok sudah melaksanakan program terbaik ketika memimpin Kabupaten Belitung Timur dengan membebaskan biaya kesehatan kepada seluruh warganya". Duet Jokowi Ahok ternyata juga diuntungkan oleh kecerobohan Fauzi Bowo menyoal etnis Tionghoa beberapa saat menjelang pilkada putaran pertama digelar.

Berbekal prestasi keduanya saat memimpin daerah tingkat dua, Solo dan Kabupaten Belitung Timur, Jokowi Ahok sukses mengalahkan incumbent yang didukung Partai Demokrat. Ya, seperti sepak bola Piala Eropa yang baru usai 2 Juli, prediksi juara yang bakal diraih Tim Spanyol menjadi perbincangan sepak bola mania.

Merosotnya citra Partai Demokrat (PD) pun secara sinambung turut melicinkan jalan Jokowi Ahok. Partai pemenang pemilu legislatif 2009 dan yang sukses mengantarkan dua kali SBY menjadi RI-1 itu terbukti kandas di tahun ini, di ajang pilkada yang menyedot perhatian publik.

Jikalau SBY dan petinggi PD rajin melakukan pencitraan atas sepak terjang partainya, sebagian rakyat Indonesia menganggap tindakan ini laksana membuang garam ke laut. Perbuatan sia-sia alias mubazir. Anas Urbaningrum yang semakin populer dengan joke Gantung Anas di Monas tidak dapat terselesaikan oleh upaya pencitraan PD dan SBY melalui berbagai cara dan media. Apalagi publik Jakarta yang lebih melek gosip dan berita off the record para pejabat negara ini. Lengkaplah sudah keinginan Jokowi Ahok memindahkan kantornya ke Jakarta. Menjadi Gubernur DKI, memberikan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  yang mengusungnya.

Kanal Tak Mampu Membendung

Politik pencitraan itu justru nyaris bukan menjadi salah satu pekerjaan utama konsultan politik dalam mengerjakan kampanye Jokowi-Ahok. Jokowi-Ahok itu prinsipnya adalah barang bagus. Barang bagus itu lebih mudah dijual. Kekuatan utama kampanye Jokowi-Ahok ada pada sosok keduanya. Sisanya, baru adu strategi politik. Ditambah dengan strategi yang canggih, meminjam Hasan Nasbi, Direktur Eksekutif Cyrus Network, pasangan nomor tiga itu layak memenangkan pilkada DKI.

Pencintraan dengan demikian bukan citra. Pencitraan sama dan sebanding dengan kamuflase untuk mengatakan seolah-olah citranya baik. Tanpa mengulang lagi rangkaian kalimat yang tidak menyenangkan bagi PD, pencitraan sejak merosotnya pamor parpol tersebut di ranah politik dan pemerintahan, apa pun langkah "bersih-bersih" seperti pemberantasan korupsi akhirnya menjadi bias, bahkan bumerang. Senjata itu memangsa tuannya. Pencitraan dengan demikian hanyalah upaya yang didorong berbekal keinginan saja. Keinginan yang tidak didukung dan tidak dikuatkan oleh fakta. Wajar seandainya beragam demo massa mengalir ke kanal Partai Demokrat. Kanal itu pun, ironinya tidak mampu membendung gerakan massa yang merasa tidak puas atas kebijakan yang diedarkan antara lain melalui campur tangan PD di parlemen Senayan.

Makin getol PD melakukan pencitraan makin berkembang joke politik di masyarakat. Pengetahuan dan informasi yang kian terbuka memungkinkan sikap kritis sehingga tidak serta merta pencitraan PD berhasil meraih simpati masyarakat. Celakanya, apa pun yang dilakukan pemerintahan SBY yang berhubungan langsung dengan masyarakat, (sebut saja pencairan gaji ke-13 bagi pejabat, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan pada bulan Juni 2012), ditengarai sebagai money politic bagi aktivitas politik yang secara berkala dilakukan lima tahun sekali itu. Pilkada DKI.

Mengutip sebuah sumber berita tertulis: pejabat, pegawai negeri, dan pensiunan bakal mendapatkan gaji ke-13 sejak bulan Juni 2012. Tunjangan dan gaji ke-13 itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2012 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Mei 2012. Sesuai dengan peraturan itu, pegawai negeri adalah pegawai negeri sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pejabat negara adalah dari Presiden, Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota MPR, DPR, BPK, KPK, Komisi Yudisial, menteri, dan jabatan setingkat menteri, ketua, wakil ketua, dan hakim Mahkamah Konstitusi, MA, hakim pada Badan Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer; gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.

Pencitraan sekali lagi bukan citra. Citra terbentuk lantaran produk/subjek/komoditi yang dicitrakan memang pantas memperolehnya. Sementara pencitraan adalah kebalikan citra. Dua kutub berseberangan inilah yang menjadi salah satu parameter kemenangan pasangan Jokowi Ahok pada pilkada DKI yang baru digelar. Pilkada yang menyisakan sejumlah kepedihan, terutama bagi pasangan Foke Nara, incumbent yang terguling meski didukung dana kampanye paling besar dibanding pasangan lainnya. Pilkada yang juga menyisipkan pesan bahwa di seberang sana, ada suara yang sayup terdengar, "Partai Demokrat saat ini kuasamu perlahan terjerembab ke labirin gelap".

*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun