Sore. Entah sudah berapa kali kita melewati kata tadi. Tak ada acuan jam yang tepat. Hanya pertanda saja yang kutahu. Bahwa matahari akan kembali masuk ke peraduannya. Dan sore ini, lagi-lagi kita dihadapkan pada jarak yang tak berpihak.
Saya tak tahu seberapa rindang kampusmu disana. Seperti kampus kita disini, yang sejuk dengan hembusan angin. Guguran daun kering pertanda bahwa musim sedang panas. Suhu di kota boleh saja menyengat, panas. Tapi di kampus ini, saya masih bisa menghirup udara segar, menikmati langit berhiaskan awan, dan menikmati rindangnya pohon. Tak tampak macetnya kendaraan, atau polusi yang membumbung tinggi di langit Makassar.
Dan sore ini, setelah melalui puluhan sore, tetap saja bayangmu bergalantung pada angan. Sembari menanti kabar yang jarang datang. Atau berusaha menghubungimu menggunakan kecanggihan teknologi. Pesan singkat, panggilan suara, atau apapun macamnya. Itu hanya mengobati sementara. Setelah itu, rindu kembali hadir disampingku, bercengkrama, dan tetap begitu hingga malam menjemput.
Ah, rindu. Saya hampir lupa kata itu. Kata yang sering kulihat di barisan situs jejaring sosial. Kata itu sudah menjadi awam. Tak lagi tabu. Hingga saya pun ikut takut dengan sebuah pertanyaan di kepala, "apa yang mereka tahu tentang rindu"?
Sore dan rindu. Apakah sudah cukup mewakili kita? Ataukah sore dan rindu tak cukup untuk kita nikmati lagi? Entahlah. Saya hanya menikmati sore. Dan rindu? Itu hanya ada dalam bait-bait doa sembari menghadap Pemilik Rindu. Semoga
Universitas Hasanuddin, Makassar
@dadang_fresh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H