Menjijikan, dan hampir di semua tempat
di gang-gang kecil, jalan setapak, hingga
tembok rumah yang mulai rubuh.
Berserakan.
Bau busuk semakin menyengat
saat bumi pertiwi mulai demam, panas.
Angin kencang membantunya
menambah kesakitan. Bersama.
Membawa kabar burung:
tentang kebohongan.
Dan, di sana, di tempat busuk itu
seorang anak dihakimi massa,
dengan kata-kata.
“Kenapa tidak dibersihkan saja semuanya.?!”,
kata sang anak.
Dengan nada kencang,
seorang wakil massa membentak,
menyela pertanyaan sang anak.
“Diam kau.!!”, katanya.
“Tempat ini tidak akan pernah ada,
dan akan hilang, jika dan hanya jika,
tai itik itu juga tidak ada”.
“Tai itik ini adalah sebuah petanda,
bagi tempat kita, camkan itu.!!”,
ketua massa membela.
Sambil menutup hidung, dengan terpaksa
sang anak itu mulai menganggut.
Dan sekelompok massa itu pun tertawa.
Merayakan kebusukan.
Penanda. Konon tempat itu terkenal
dengan sebuah nama, juga cerita.
Lebih tepatnya sebuah konsensus:
kesepakatan bersama, minus sang anak.
Tempat itu bernama KAMPOENG DEMOBASI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H