Mohon tunggu...
Dadang Hidayat
Dadang Hidayat Mohon Tunggu... Penulis -

Penikmat karya-karya Sastra, Filsafat, dan bacaan berkualitas lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(PAR)TAI (POL)ITIK

10 Maret 2014   23:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:04 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menjijikan, dan hampir di semua tempat
di gang-gang kecil, jalan setapak, hingga
tembok rumah yang mulai rubuh.
Berserakan.

Bau busuk semakin menyengat
saat bumi pertiwi mulai demam, panas.
Angin kencang membantunya
menambah kesakitan. Bersama.
Membawa kabar burung:
tentang kebohongan.

Dan, di sana, di tempat busuk itu
seorang anak dihakimi massa,
dengan kata-kata.

“Kenapa tidak dibersihkan saja semuanya.?!”,
kata sang anak.

Dengan nada kencang,
seorang wakil massa membentak,
menyela pertanyaan sang anak.
“Diam kau.!!”, katanya.
“Tempat ini tidak akan pernah ada,
dan akan hilang, jika dan hanya jika,
tai itik itu juga tidak ada”.

“Tai itik ini adalah sebuah petanda,
bagi tempat kita, camkan itu.!!”,
ketua massa membela.

Sambil menutup hidung, dengan terpaksa
sang anak itu mulai menganggut.
Dan sekelompok massa itu pun tertawa.
Merayakan kebusukan.

Penanda. Konon tempat itu terkenal
dengan sebuah nama, juga cerita.
Lebih tepatnya sebuah konsensus:
kesepakatan bersama, minus sang anak.

Tempat itu bernama KAMPOENG DEMOBASI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun