Pagi itu saya bergegas, setengah berlari menuju tap gate stasiun Rawabuntu. Pukul 06.07 kereta menuju Rangkasbitung akan berhenti, lalu melanjutkan perjalanannya. Dua menit sebelum kereta datang, saya sudah sampai, dan duduk di bangku peron.
Petugas memberi kabar lewat pengeras suara, bahwa kereta yang sedang saya tunggu akan segera datang. Saya berdiri, tak lama commuterline datang, lalu berhenti. Saya segera menuju pintu, lalu pintupun terbuka. Beberapa orang turun. Setelah penumpang turun, barulah giliran saya masuk kedalam gerbong.
Saat pagi hari rangkaian kereta yang melaju ke arah Rangkasbitung selalu kosong. Tiap deret hanya terisi setengah dari kapasitas. Saya berjalan di dalam gerbong untuk mencari tempat duduk yang nyaman. Tempat dimana antara saya dengan penumpang lainnya berjarak.
Sayapun menghempaskan badan ini untuk duduk setelah menemukan tempat yang nyaman. Jarak saya dan penumpang lain tidak terlalu dekat, andai tertidur dan mendengkurpun, orang duduk di samping saya tak akan terganggu. Begitu pula sebaliknya.
Sama seperti penumpang lain, saya membuka handphone. Membaca satu persatu pesan grup yang masuk. Mengisi perjalanan dengan membaca pesan grup biasa dilakukan. Pada saat sibuk, jarang sekali bisa melakukan itu.
Perjalanan hampir tigapuluh menit berlalu, saya baru sadar ada penumpang lain di sebrang tempat duduk saya, kami duduk berhadapan. Perempuan muda dengan pakaian seksi yang duduk tepat di depan saya. Kulitnya putih, sangat kontras dengan kaus hitam ketat yang dikenakan. Bagian atas kaus yang dikenakan agak rendah. Menggoda, tapi tak boleh terus dipandang. Saya harus pindah posisi ke deretan kursi lain.
Dahulu, saat berada dalam situasi ini saya akan bertahan. Sekarang tidak lagi, usia telah mengajari saya untuk tidak seperti itu. Sikap salah dulu, tak boleh di ulang lagi, meski sebenarnya ingin sekali mengulanginya. Hidup telah dan harus berubah. Perubahan bukan sekedar keharusan, tapi kepastian bagi siapa yang mau berfikir. Semoga tetap istiqomah dengan sikap ini.
Tas yang diletakan di kursi diangkat, lalu digendong. Bangkit dari duduk, untuk pindah ke deretan kursi lain. Melangkah ke depan mencari kursi kosong. Deretan yang hanya diduduki dua penumpang saja.
Saya langsung duduk, di sisi kiri seorang bapak usia 40an, dan di kanan seorang pemuda usia duapuluhan. Pemuda di samping saya mengenakan pakaian serba hitam. Di bagian atas, mengenakan ikat kepala dengan motif biru. Ia tak mengenakan alas kaki. Tas dari karung yang sudah lusuh di bungkus kantung plastik hitam yang disorennya.
Ia terlihat santai, sebelah kakinya yang kanan, ditumpangkan pada kaki kirinya. Ia nampak menikmati perjalanan itu.
Bagi kita yang terbiasa mengenakan sepatu atau sandal, berjalan tanpa mengenakan alas kaki akan terasa sakit. Kerikil tajam, dan aspal yang panas, akan terasa mengganggu dan tak nyaman saat melangkah.