Mohon tunggu...
Dadang Dwi Septiyan
Dadang Dwi Septiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Musik dan Peneliti Pendidikan Seni

Music Addict

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fashion (Pencitraan Diri dan Identitas Budaya)

17 Januari 2024   01:11 Diperbarui: 17 Januari 2024   01:12 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festivals 2017: RockHarz -- Zwischen Teufelsmauer und Flugplatz (05. -- 08.07.2017, Ballenstedt) | be subjective (be-subjective.de) 

Berbicara mengenai fashion sesungguhnya berbicara tentang sesuatu yang sangat erat dengan diri kita. Tidak heran, jika pakaian menjadi "perlambang jiwa" (emblems of the soul). Pakaian dapat menunjukkan siapa pemakainya, "I speak through my cloth". Pakaian yang kita kenakan membuat pernyataan mengenai busana kita. Bahkan jika kita bukan tipe orang yang terlalu peduli soal busana, orang yang bersua dan berinteraksi dengan kita, sengaja membuat suatu pesan. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dari pakaian yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana formal maupun informal.

Komunikasi artifaktual didefinisakan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak, misalnya, pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah dan penataannya, ataupun dekorasi ruangan. Karena fashion atau pakaian menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi nonverbal. Pakaian yang kita pakai bisa menampilkan pelbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat nonverbal. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan cedera. Pakaian juga membantu kita menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari tubuh kita dan karenanya pakaian memiliki suatu fungsi kesopanan (modesty function). Pakaian juga menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengomunikasikan afiliasi budaya kita. Mengenali negara atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. Pakaian bisa menunjukkan identitas nasional dan kultural pemakainya.

Orang membuat kesimpulan mengenai siapa diri kita, sebagian juga lewat apa yang kita pakai. Apakah kesimpulan tersebut terbukti akurat atau tidak. Tidak khayal jika ia akan mempengaruhi pikiran orang tentang kita dan bagaimana mereka bersikap pada kita. Kelas sosial kita, keseriusan atau kesantaian kita, sikap kita, afiliasi politik kita, keglamoran atau keeleganan kita, sense of style kita dan bahkan mungkin kreativitas kita akan dinilai dari sebagian cara kita berbusana.

Untuk memahami fashion dan pakaian sebagai komunikasi tidak cukup hanya dengan memahami komunikasi sebagai sekadar pengiriman pesan. Dalam hal ini garmen, yang merupakan bagian dari fashion atau pakaian, menjadi medium atau saluran yang dipergunakan seseorang untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain dengan maksud mendorong terjadi perubahan pada orang itu. Garmen merupakan medium untuk mengirimkan pesan pada orang lain. Seseorang mengirimkan pesan tentang dirinya sendiri melalui fashion dan pakaian yang dipakainya. Berdasarkan pengalaman sehari-hari, bagaimana suasana hati seseorang, siapa yang akan ditemuinya dan seterusnya.

Pakaian sering dianggap sebagai sebuah topeng untuk memanipulasi tubuh, sebagai cara untuk membangun dan menciptakan citra diri. Pakaian membangun habitus pribadi, sebagai sebuah perangkat penting untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Pakaian dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi tertentu. Peran penting seseorang pencipta atau desainer pakaian, mempengaruhi identitas pakaian, sekaligus citra tubuh penggunanya.

Secara semiologis tanda denotatif dianggap sebuah penanda dan tanda konotatif dianggap sebagai sebuah pertanda. Pada tataran makna denotasi atau makna secara harafiah, fashion dipahami melalui apa yang ditampilkan oleh citra yang secara faktual tampak, bahan apa yang digunakan, waktu dan tempat pembuatannya, pemakaiannya, dan sebagainya. Mereka dapat berbeda dari jenis kelamin, gender, usia, kelas sosial, pekerjaan, dan ras. Perbedaan itu dapat menghasilkan dan mendorong perbedaan konotasi bagi kata atau citra.

Kini tren fashion menyusup ke dalam ideologi konsumen, menanamkan cara pandang untuk melihat fashion sebagai gaya hidup dan merk adalah salah satu bagian dari fashion, maka merk dianggap sebagai gaya hidup masa kini. Fashion adalah sebuah fenomena komunikatif dan kultural yang digunakan oleh suatu kelompok untuk mengkonstruksi dan mengomunikasikan identitasnya, karena fashion mempunyai cara nonverbal untuk memproduksi serta mempertukarkan makna dan nilai-nilai. Fashion sebagai aspek komunikatif dan fungsional tidak hanya sekadar sebagai sebuah karya seni akan tetapi fashion juga dipergunakan sebagai simbol untuk membaca status seseorang dan cerminan budaya yang dibawa.

Di periode tahun 1960an budaya media menjadi sumber fashion budaya media menjadi sumber fashion budaya yang ampuh, dengan memberikan model-model dan tampilan, perilaku, gaya. Bintang rock tahun 1960an dan 1970an yang berambut panjang dan berpakaian tidak umum, mempengaruhi perubahan gaya rambut, pakaian, dan perilaku, meski perilaku pemberontakan sosial seperti Bob Dylan memproklamirkan bahwa "Waktunya Merdeka Berubah" (The times they are a'changing). Grup band seperti The Beatles, The Rolling Stones, dan para performer seperti Janis Joplin atau Jimi Hendrix mendukung pemberontakan kontra-budaya dan apriori gaya baru dalam berpakaian, berperilaku, dan bersikap. Pengasosian budaya rock dengan rambut panjang, pemberontakan sosial, dan penolakan fashion berlanjut hingga 1970an, dengan gelombang kesuksesan rock heavy metal, punk, dan new wave yang meraih popularitas mereka.

Jadi, fashion sebagai komunikasi, merupakan fenomena kultural yang di dalam budaya dapat dipahami sebagai satu sistem penanda, sebagai cara bagi keyakinan, nilai-nilai dan ide-ide dan pengalaman dikomunikasikan melalui praktik-praktik, artefak-artefak, dan institusi-institusi. Dalam hal ini fashion merupakan cara yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bukan hanya sesuatu seperti perasaan dan suasana hati, tetapi juga nilai-nilai, harapan-harapan, dan keyakinan-keyakinan kelompok sosial yang diikuti dan direproduksi masyarakat, bukan menjadi awal seseorang menjadi anggota kelompok lalu mengkomunikasikan keanggotaannya melainkan keanggotaan itu dinegosiasikan dan dibangun melalui komunikasi.

Penulis: Dadang Dwi Septiyan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun