Mohon tunggu...
Dadang Dwi Septiyan
Dadang Dwi Septiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Musik dan Peneliti Pendidikan Seni

Music Addict

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fashion Hijabers Metal dalam Subkultur Metal

11 Januari 2024   03:12 Diperbarui: 11 Januari 2024   11:43 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.revolvermag.com

Musik metal selalu diasosiasikan dengan berbagai bentuk stigma dan stereotip negatif sebagian besar orang. Subkultur metal selalu merepresentasikan fashion individu yang kesannya "gelap" dan "kelam". Perwujudan perempuan berhijab di dunia subkultur metal hingga saat ini relatif sedikit. Terutama di negara-negara bagian timur, seperti Indonesia. Posisi hijabers metal kerapkali dipengaruhi oleh berbagai macam paradigma seperti adat istiadat, agama, sosial, dan budaya. Keberadaan hijabers metal masih kurang mendapat respon baik di subkultur metal, karena citra perempuan berhijab memang pada umumnya adalah perempuan agamis, kalem, dan anggun. Norma-norma perempuan berhijab tentu sangat berbeda dengan norma budaya musik metal.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam mengubah stigma subkultur ini dengan fashion yang sudah mendarah daging. Walau bagaimanapun, berhubungan dengan identitas diri hijabers metal dalam komunitas musik ekstrim, serta usaha mereka untuk mengubah citra musik metal dan melahirkan suatu identitas baru melalui fashion menjadi sebuah fenomena sosial yang cukup menarik untuk dikaji.

Metalhead perempuan sedikit menggeser kedudukan gender mereka untuk menyetarakan dengan kedudukan laki-laki. Maka dari itu, metalhead perempuan ini terus menerus menggunakan produk subkultur metal, bertindak layaknya memiliki identitas laki-laki serta menjalankan nilai budaya maskulin agar dapat diterima dalam subkultur ini. Perkembangan musik metal sebagai medium perlawanan terhadap budaya dominan menjadi menarik untuk dianalisis karena pada hakikatnya akar musik metal ini menjadi komoditi atas penemuan trend baru. Fashion yang merupakan bagian daripada trend, sangat erat hubungannya dengan musik, keduanya berkembang namun asasnya tetap sama yaitu gaya. Dalam perjalanannya, gaya subkultur metal telah berevolusi, terutama dari segi fashionnya dengan simbol sebagai inovasi untuk berkomunikasi antar individu, baik yang ada di dalam subkultur maupun dari luar. Akan tetapi, tidak selamanya menunjukkan simbol, melainkan ideologi yang bersembunyi dalam subkultur ini, seperti sistem pemikiran, kepercayaan atau sistem simbolik yang berkaitan dengan tindakan sosial atau politik praktis. Maka, dapat disimpulkan bahwa ideologi yang dianut oleh subkultur dapat dikomunikasikan melalui media fashion untuk memberikan gambaran eksistensi kaum metalhead kepada masyarakat luas.

Jika dikaitkan dengan konteks perlawanan terhadap fashion musik metal kepada perempuan, maka dapat disimpulkan kepada perselisihan antara diri dengan norma-norma dominan. Mengkonsumsi musik metal tidak hanya untuk kepuasan emosi, namun untuk mencapai kepada ideologi yang sedang diperjuangkan. Menurut paradigma psikologi, perempuan yang tergabung dalam subkultur metal merupakan golongan perempuan pejuang dan kritis. Karenanya musik dan fashion menjadi citra diri yang berasas pemberontakan. Menurut Davis, seorang Ahli Sosiologi, citra kehidupan individu dapat merefleksikan identitas diri dan tingkah lakunya. Pendapat tersebut kemudian diperkuat oleh Prabasmoro yang menjelaskan bahwa kehidupan sehari-hari kita sesungguhnya merupakan sebuah pilihan, maka setiap pilihan (produk, fashion, musik) yang kita konsumsi merupakan kebutuhan hidup untuk hidup yang berkelanjutan. Selain itu, musik juga dapat mewakili diri dalam subkultur metal dan fashion dapat ditafsirkan sebagai soundtrack hidup mengikuti keadaan sosial yang dialami.

Gaya berpakaian dalam subkultur ini makin ke sini juga semakin beragam, seperti motif viking dan ksatria ala abad pertengahan. Fashion yang menunjukkan kebebasan, kejantanan, dan penghormatan sebagai seorang ksatria juga digunakan oleh hijabers metalhead sebagai bentuk perlawanan terhadap metroseksualiti. Penikmat musik heavy metal di Indonesia selalu dikaitkan dengan sub-genre thrash metal dalam isu-isu fashionnya seperti baju hitam, jeans hitam, dan sneakers hingga boots. Gaya sederhana ini jika dibandingkan dengan fashion death metal dianggap adaptif terhadap iklim Indonesia yang tropikal. Fashion bukan satu-satunya penunjuk identitas sosial, namun juga menjadi gaya hidup yang dikaitkan dengan kepribadian, ekspresi diri, dan kesadaran diri. Gaya hidup yang diwakili oleh fashion merupakan satu perkara bagaimana kita menyelaraskan diri dengan apa yang kita inginkan, kita percaya dan mungkin lebih penting bagi kemaslahatan orang banyak, dan itu membuat kita merasa lebih baik.

Hijabers metal memasuki masa popularitasnya di tahun 2000an. Banyak perempuan turut menggeluti musik arus bawah tanah ini. Fenomena tersebut sempar menjadi perhatian publik. Indonesia adalah salah satu negara yang menerima baik keberadaan hijabers metal. Budaya dalam ruang yang didominasi oleh ideologi patriarki membuat hijabers metal sukar untuk mengekspresikan diri. Dalam budaya Jawa meyakini konsep bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama dan mulia yaitu sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, emosional, dan secara fisik umumnya kurang kuat jika dibandingkan laki-laki. Nilai-nilai tersebut menjadi halangan bagi hijabers metal dalam subkultur ini untuk mengekspresikan diri baik melalui musik maupun fashion.

Namun demikian, hijabers metal yang juga menjadi musisi justru memberikan kesan kehidupan baru bagi kancah musik ekstrim. Ditambah dengan fashion mereka yang tentu berbeda dengan kaum laki-laki serta kaum perempuan metalhead non hijab. Hal tersebut merupakan perwujudan diri mereka sehingga muncul istilah dari kaum ekstrim yaitu "hijab metalhead". Jika dilihat secara saksama, fashion musik metal memang menggoda selera masyarakat pendukungnya, dengan dominasi warna hitam menjadikan sebuah bukti identitas hijabers metal yang pada akhirnya muncul kesan keras. Secara psikologis, warna hitam mengandung kesan mistis, kelam, dan gelap. Oleh karena nya, nuansa hitam sangat identik dengan hal negatif seperti kematian dan kejahatan. Ini hanya kesan saja. Warna hitam digunakan oleh hijabers metal dengan tujuan untuk menyampaikan makna dan nilai seperti kekuatan, pemberontakan, dan maskulinitas. Warna hitam dalam subkultur metal merupakan fungsi daripada medium penyampai sebuah identitas. Dengan memakai fashion yang digemari dan disukai maka individu tersebut sejatinya hendak menyatakan eksistensi diri mereka kepada khalayak ramai.

Dalam buku David Chaney mengenai gaya hidup, dituliskan bahwa identitas dan diri seolah-olah sebuah perkara yang sama. Setidaknya kemungkinan membedakan antara keduanya patut dipertimbangkan karena individualitas dan identitas dapat dilihat dalam pilihan gaya hidup. Namun hijabers metal tidak begitu saja mengabaikan diri mereka sebagai perempuan muslimah, walaupun identitas mereka secara sadar maupun tidak sadar telah dimanipulasi oleh subkultur metal. Para hijabers metal sadar bahwa keprihatinan mereka terhadap kehidupan adalah monoteisme, walaupun pada masa yang sama mereka tertarik terhadap gaya hidup dengan memakai fashion musik metal, agar identitas diri yang terkandung akan dikekalkan.

Prinsip azas ajaran Islam adalah prinsip Tauhid, dengan kata lain, ke Esa-an Tuhan mesti jadi yang utama bagi kehidupan manusia dalam hidup mereka di bumi. Mengekalkan keseimbangan identitas tidak mudah terutama pada era postmodern ini. Manusia telah memasuki era masyarakat industri yang banyak menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Pada umumnya hijabers metal tetap berusaha untuk menyeimbangkan gaya hidupnya. Mereka menyadari bahwa pengaruh modernisme seperti fashion metal memang dapat mempengaruhi identitas diri. Akan tetapi hijabers metal tetap dapat menyeimbangkan melalui pengetahuan agama yang kuat sehingga identitas hijab tetap terjaga dengan baik. Modernisme berupaya untuk menyatukan seluruh umat manusia melalui nilai universalisme, akan tetapi pada waktu yang bersamaan justru memusnahkan nilai agama dan ideologi. Seiring dengan bertambahnya usia mereka dan pemahaman atas ajaran agama, tentu golongan hijabers metal lebih mudah untuk menyeleksi dan juga menyaring pengaruh musik metal seperti ideologi, fashion dan gaya hidup.

Salam \m/

Penulis: Dadang Dwi Septiyan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun