Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi di Bajak Elite

24 Januari 2015   21:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak pernah terbayang sebelumnya jika reformasi 1998 yang menjatuhkan Presiden Soeharto salah satu dampaknya yang paling luas adalah lahirnya ratusan kabupaten dan kota di Indonesia. Jika jumlah kabupaten dan kota sebelum pemekaran tercatat sebesar 303 kab/kota, maka pada tahun 2014 ini jumlahnya telah mencapai 514 kab/kota. Terjadi peningkatan yang signifikan pemekaran daerah di Indonesia dari waktu ke waktu. Bahkan saat ini, telah ada ratusan kab/kota baru yang sedang bersiap untuk dimekarkan di berbagai wilayah. Kemendagri sendiripun tidak bisa memperkirakan berapa jumlah ideal kab/kota atau provinsi di Indonesia sehingga dipastikan laju pemekaran daerah tidak akan berhenti.

Secara teoritik pemekaran daerah memiliki 2 tujuan besar yaitu memberikan sebahagian urusan pusat kepada daerah (kewenangan adminsitratif) dan memberikan kewenangan daerah untuk membuat aturan sendiri (kewenangan politik). Assumsinya, jika daerah memiliki kemandirian untuk membuat aturan dan melaksanakan segala urusannya maka potensi daerah akan semakin cepat tergali, ketergantungan dengan pusat dapat dipotong sehingga akan berdampak pada kesejahteraan rakyat di daerah. Kesejahteraan rakyat daerah tentu saja menjadi dampak akhir yang ingin di jamin dari pemekaran daerah. Tulusnya ide pemekaran tersebut dengan logika garis-nya tampaknya tak sepenuhnya terwujud dilapangan. Kenyataan membuktikan bahwa fakta pemekaran dilapangan berbicara lain. Terdapat beberapa dampak ikutan yang tidak diinginkan justru muncul sebagai hal yang dominan seperti munculnya ‘raja-raja kecil’ (local bossisme), munculnya dinasti keluarga, kerusakan alam, konversi lahan pertanian akibat pembangunan daerah, ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, beban APBN untuk belanja daerah semakin meningkat dan KKN tetap merajalela di berbagai daerah sehingga semakin banyak saja Kepala Daerah yang masuk penjara.

Sekilas dampak buruk pemekaran terjadi biasa saja dan bisa diabaikan. Namun, semakin hari dampaknya pasti akan semakin besar dan akan berdampak buruk terhadap nasib bangsa ke depan. Beberapa perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga internasional turun tangan untuk melakukan sejumlah kajian terhadap pemekaran. Tidak mau ketinggalan, kemendagripun kemudian membuat kajian evaluasi tentang daerah otonom baru (DOB) tahun 2010. Hasilnya tidak jauh dari perkiraan bahwa pemekaran daerah pada sebahagian daerah telah mengalami kegagalan. Alih-alih berharap munculnya kesejahteraan yang di dapat justru kerusakan alam yang semakin parah dan munculnya orang-orang kuat daerah (the local strongmen). Hasil-hasil kajian maupun evaluasi itupun tampaknya menjadi tak berarti. Sebab, tidak ada juga program tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan dampak buruk dari pemekaran. Tampaknya legislatif maupun eksekutif sepakat untuk jalan terus memfasilitasi pemekaran yang katanya sebagai wujud ‘menampung aspirasi daerah’, the show must go on.

Demokrasi di Bajak Elite

Salah satu faktor utama kegagalan daerah dalam mengalirkan pembangunan ke masyarakat adalah integritas pemimpin. Ratusan daerah-daerah kab/kota telah kehilangan pemimpin yang mereka butuhkan. Para kepala daerah kab/kota terpilih sesungguhnya ditopang oleh suatu sistem dan kondisi riil masyarakat. Sistem rekruitmen partai politik, pola kampanye, dan pragmatisme masyarakat telah bersenyawa aktif melahirkan proses regenerasi yang mahal harganya. Hampir tidak mungkin ada orang tanpa duit yang banyak akan terpilih sebagai kepala daerah. Karena itu, sumber-sumber pemimpin daerah hanya dapat berasal dari kelompok-kelompok dominan yang memang menguasai perekonomian daerah seperti kelompok pengusaha, kelompok politisi (parpol), kelompok birokrat, dan kelompok preman. Keempat kelompok ini menjadi pemasok utama kepala daerah di Indonesia. Sulit rasanya ada kelompok lain yang dapat bersaing dengan mereka seperti kelompok akademisi, mahasiswa, NGO, buruh, tani, nelayan, pemuka agama atau pemuka adat. Bahkan rombongan kelompok terakhir ini lebih banyak diperbantukan sebagai ‘tim sukses’ bagi kelompok dominan yang awal tersebut.

Sistem demokrasi yang dianggap sebagai sistem unggulan untuk melahirkan kepemimpinan ideal ternyata gagal berbicara dilapangan. Banyak kalangan mengatakan bahwa sistem demokrasi saat ini justru telah dibajak oleh para elit lokal. Para elit lokal-lah sesungguhnya saat ini yang benar-benar ‘mencintai’, menggandrungi dan benar-benar menikmati terhadap sistem demokrasi yang ada saat ini sebab dengan sistem demokrasi ini mereka bisa dengan leluasa menggapai kekuasaan. Munculnya kelompok-kelompok dominan ini juga telah menjadi kajian yang gencar dikalangan ilmuwan seperti konsep local strongmen dari Joel Migdal, konsep local bossism dari John Sidel, maupun shadow state dari Barbara White yang menjelaskan “pembajakan” demokrasi oleh elit lokal. Apa mau dikata, ‘nasi telah menjadi bubur’, sistem demokrasi telah berjalan bagaikan hukum besi yang tak tergantikan. Kepala daerah tetap akan muncul dari kalangan elite dominan yang menguasai daerah-daerah di berbagai pelosok tanah air. Nasib rakyatpun akan bergantung dengan ‘belas kasih’ para elite lokal yang telah menjadi kepala daerah.

Sekalipun kepemimpinan elite menjadi mainstream dalam khazanah kepemimpinan daerah, namun tetap saja muncul anomali di dalamnya. Para pemimpin yang benar-benar berhasrat melayani dan melindungi rakyat ternyata ada juga ikut tumbuh disela-sela mereka yang mabuk kekuasaan. Ada gandum ditengah hamparan ilalang. Ada secercah harapan melihat Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, Bima Arya di Bogor maupun Jokowi di Solo serta yang lain pada tempat yang lain pula. Mungkin mereka ada sebagai bentuk penyimpangan dari yang kebanyakan dan membawa secercah harapan bagi masyarakatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun