Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Charlotte Mason: Principle Centered Parenting (Ringkasan Tulisan Ellen Kristi #1)

26 Juli 2015   17:59 Diperbarui: 26 Juli 2015   17:59 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi pelaku pendidikan di rumah (homeschooling) tulisan Ellen Kristi yang berjudul “cinta yang berfikir: sebuah manual pendidikan karakter Charlotte Mason” (2012) tampaknya sudah menjadi santapan lezat yang sudah banyak dilahap. Namun, tidak ada salahnya jika santapan ini kembali diketengahkan kepada para pembaca untuk mengingat kembali filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Charlotte Mason. Apalagi ditengah kita berharap pemerintah segera mengoperasikan konsep revolusi mental-nya sebagai pemenuhan janji bagi perubahan karakter anak-anak bangsa. Banyaknya model-model dan pendekatan dalam pendidikan yang muncul saat ini ternyata masih belum cukup untuk meredam segenap pelajar yang melakukan tawuran secara berulang, tidak cukup juga menghentikan konsumsi narkoba yang sudah menjamah sampai ke desa-desa, tidak cukup mampu juga menghentikan perilaku seks bebas dikalangan pelajar dan generasi muda. Mungkin kita butuh sedikit loncatan, untuk keluar sejenak dari kotak-kotak, model-model konvensional yang menjadi arus utama dalam khazanah dunia pendidikan dewasa ini. Mungkin saja ringklsan tulisan Ellen Kristi ini bisa bermanfaat untuk menjadi inspirasi bagi kita semua.

Filosofi Anak

Anak bukanlah seperti ember kosong, yang baru berisi jika dituangi pengetahuan oleh guru, atau ranting pohon yang bisa dibengkak-bengkokan ke arah mana pun guru mau, atau lilin plastis yang bisa dibentuk sesuka hati para pendidiknya. Charlotte Mason (CM) meyakini bahwa anak adalah jiwa dengan kedalaman dan kekayaan spritual tak terbatas, ibarat obor yang sudah penuh minyak, hanya menunggu pemantik api kecil untuk bisa menyala berkobar-kobar. Kita butuh orang tua, guru, maupun pemimpin bangsa yang mau mengubah pandangannya tentang kekayaan bangsa sesungguhnya terletak pada anak-anak kita.

Setiap anak terlahir setara, tanpa membedakan ras, strata sosial ataupun jenis kelamin, karena itu setiap anak berhak dan mampu mengenyam kesempatan pendidikan yang setara. Namun untuk menjalani metode pendidikan yang “memuaskan anak-anak tercerdas dan menyingkap intelegensi anak yang terlamban”, seorang guru pertama-tama harus yakin bahwa potensi kecerdasan itu memang tersimpan dalam diri semua anak. Sudah saatnya kita tidak lagi menempatkan kemiskinan sebagai hukuman bagi anak-anak Indonesia. Mahal atau murahnya sekolah tidak menjadi jaminan lahirnya generasi yang sehat moril maupun materiil. Kita hanya butuh orang tua dan guru untuk menyingkap tabir potensi besar anak-anak bangsa.

Orang tua kebanyakan memandang anak sebagai “harta milik” pribadi mereka saja, hanya berfikir bahwa tugas mendidik anak cukup dipasrahkan kepada pengasuh, guru privat, dan lembaga sekolah semata. Tugas orang tua hanyalah mencari uang saja untuk membayar para pendidik anak mereka. CM menegaskan bahwa anak-anak adalah kekayaan yang di titipkan Tuhan dan umat manusia kepada orang tua. Ibu dan ayah bertanggung jawab lebih dari siapapun di muka bumi ini untuk memastikan bahwa anak-anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Dan pendidikan di sekolah bukanlah yang terutama. Pendidikan di rumah jauh lebih penting ketimbang pendidikan di sekolah, sebab pengaruh yang diterima anak di rumah membekaskan kesan yang mendalam yang akan menentukan karakter dan karirnya kelak. “menjadi orang tua itu luar biasa, tidak promosi maupun penghormatan yang dapat dibandingkan dengannya. Orang tua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti menjadi berkat bagi dunia”, kata CM.

Tidak cukup kata CM membesarkan anak dengan berharap dan berdoa. Agama memang sangat penting untuk dalam memberi inspirasi dan batasan moral, tetapi ada hukum-hukum Tuhan yang berlaku secara universal dalam mengasuh anak. Hukum fisiologi dan psikologis seperti bagaimana otak bekerja atau bagaimana proses kejiwaan anak berlangsung, bukan milik eksklusif salah satu agama saja. Tak ubahnya hukum gravitasi, orang yang taat beragama  akan merasakan kerugian besar jka melanggar hukum-hukum itu dan sebaliknya, orang yang sekuler bisa berhasil mendidik anak dengan baik jika menaatinya.

Filsafat pendidikan bukan Cuma bagus dalam teori, tetapi betul-betul bisa dipraktekkan dan betul-betul bisa efektif menyingkapkan segenap potensi fisik, intelektual, mental, dan spritual semua anak. Janji manis revolusi mental juga tidak berarti hanya diperdengarkan saat kampanye saja tetapi mestinya menjadi konsep operasional yang segera hidup dan mewarnai sistem pendidikan kita.

Tubuh manusia memproduksi hormon yang memampukan ibu untuk mencintai anaknya. Hormon oksitosin umpamanya adalah zat yang sering dijuluki “hormon cinta” yang menghasilkan empati, kepedulian dan rasa percaya antara ibu dan anak. Kadar oksitosin dalam darah meningkat ketika seseorang menghabiskan banyak waktu untuk berkasih sayang (membelai, menimang, memeluk, bercanda) dengan sasaran cintanya. Jadi tidak berlebihan jika secara fisologis orang tua dianjurkan agar sebanyak mungkin terlibat dalam merawat dan mendampingi sendiri proses tumbuh kembang anak sehari-hari agar benih-benh cinta kepada anak tumbuh semakin besar dan kokoh. Namun, tidak berarti cinta hanya milik hormon saja, cinta juga bisa lahir dari asupan spiritual yang menempatkan sifat kasih dan sayang pada pusat kesadaran kita.

Cinta Yang Berfikir

Psikolog Kerry Frost (1997), menjelaskan ada banyak alasan mengapa orang tua tega berbuat brutal terhadap anak yang merupakan darah daging mereka sendiri. Ada yang karena trauma masa lalu, stress karena beban ekonomi, ada juga yang memang sakit jiwa mengidap schizoprenia atau manic depression yang mengganggu kewarasan mereka dan dan menjadikan anak sebagai pelampiasan. Frost kemudian menggampar mereka dengan mengatakan “sungguh nyata, ada banyak orang tua yang tidak layak punya anak. Sekedar punya anak itu terlalu gampang. Kalau kalian orang dewasa sedang berencana punya anak, tanyailah diri kalian sendiri, apakah kalian siap? Apakah kalian masih menyimpan trauma masa kecil? Apakah sebagai pribadi kalian mudah sekali meledak marah dan berkata kasar? Kalau kalian mengidap gangguan mental, pertimbangkan lagi apakah kalian mampu membesarkan anak dengan sikap pengertian dan dukungan emosional yang konsisten”.

Menurut CM saran Frost tentulah sangat positif dan perlu dipertimbangkan sebab orang tua adalah “profesi yang paling penting di dunia”. Mungkin dibutuhkan audisi atau fit and proper test untuk lulus sebagai orang tua. Sebab terlalu banyak orang yang “kecelakaan” menjadi orang tua. Itu sebabnya CM menyebut cinta yang berfikir. Sebab cinta saja ternyata tidak cukup. Memang modal menjadi orang tua yang baik adalah rasa cinta mendalam kepada anak. Akan tetapi, dalam mengasuh anak cinta harus dilengkapi dengan kesadaran dan pengetahuan. Bayangkan, untuk mendesain sepatu, rumah, mesin saja dibutuhkan proses dan perlu magang yang panjang. Apakah tugas menyingkapkan kemanusiaan anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu? Sehingga siapapun boleh memegang kuasa dan mengelolanya tanpa persiapan apa pun? Bukankah gila, jika tidak ada syarat apa pun untk tugas yang sedemikian kompleks?”.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun