Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Charlotte Mason: Orang Tua Filosof & Kurikulum Keluarga #4

29 Juli 2015   13:05 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:05 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mungkin terlalu berlebihan jika kemudian menghidangkan kembali pemikiran Charlotte Mason (CM) yang tertuang dalam buku Ellen Kristi ini. Mungkin ini pekerjaan yang sia-sia karena hanya mengulang lagu lama saja. Namun entah mengapa, sebagaimana juga yang dikatakan oleh Kristi (2012) bahwa Charlotte Mason (CM) selalu saja punya kata-kata bijak yang sehat dan bertenaga menembus kotak-kotak doktrin yang memenjara keluarga. Pada pikirannya kita menemukan harta karun yang tak ternilai harganya yaitu keluarga yang hidup dari firman-firman Tuhan yang Kuasa.

Terbayang, sudah 70 tahun kita lahir sebagai bangsa yang merdeka pun sudah punya filosofi kehidupan berbangsa yaitu Pancasila. Namun, kita bahkan seolah lupa akan Pancasila. Dalam perjalanan bangsa kita seolah kita enggan mengenal Pancasila. Pancasila sekedar nyanyian dan hapalan. Tak ada minat dan upaya untuk menembus hikmah dibalik kata-kata yang ada dalam Pancasila. Kita sudah terlalu lelah dicekoki penataran Pancsila dari SD dingga sarjana, namun semua itu sekedar jargon semata. Ketiadaan bukti dan panutan teladan dari mereka yang telah disumpah untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila utamanya Tuhan Yang Maha Esa membuat kita kehilangan selera dan makna dalam kehidupan bangsa. Ditengah kita kehilangan filosofi Pancasila masuk pula nilai-nilai lain yang lebih menawan logika kita dan jelas pengaruhnya dalam kehidupan dunia manusia. Bukan hanya larut kita bahkan dengan setia menjunjung tinggi nilai-nilai ciptaan manusia dengan terang-terangan mencampakkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terbayang, setelah 70 tahun kita merdeka kita hanya menuai perbuatan-perbuatan terkutuk dari manusia-manusia munafik (Muchtar Loebis, 1978) dan cacat mental sehingga hari ini kita butuh melakukan revolusi mental (Jokowi, 2014). CM (1890-an) memastikan bahwa mereka yang hidup tanpa filosofi kehidupan apakah dalam berbangsa maupun berkeluarga hanyalah menuai badai dalam kehidupan berbangsa maupun berkeluarga. Meski Pancasila ditetapkan pendiri bangsa sebagai dasar Filosofi kehidupan bangsa Indonesia ternyata kta tidak pernah percaya bahwa Filosofi itu nyata. Kita bahkan hidup seolah tidak tahu apa-apa tentang filosofi bangsa. Tanpa memahami filosofi, dan hanya bertumpu pada gonta-ganti cara dan sistem semata kita hanya mendapatkan kegagalan dan kekecewaan yang tidak berhenti.

Ditengah situasi “berkabut dan muram, belum ada prinsip yang menyatukan, tujuan jelas belum dirumuskan, belum ada satu filosofi pendidikan, gonta ganti cara, kegagalan dan kekecewaan silih berganti sebagai tanda perjalanan pendidikan kita”. CM berkata bahwa setiap orang tua mesti bersungguh-sungguh merumuskan filosofi pendidikan keluarganya masing-masing. Filosofi pendidikan sebagai hulu, menjadi asal konsep keluarga. Arus sungai tidak akan lebih tinggi dari hulunya, upaya mendidik tidak akan bisa melampaui konsep pendidikan yang menjadi asal-usulnya. Kita butuh tujuan akhir yang jelas dan tegas, setelah itu kita merancang upaya untuk mencapai kesana. Gagal menemukan filosofi yang menunjukkan tujuan dan cara mencapainya hanya akan menghasilkan depresi dan perilaku sakit jiwa (Kristi, 2012:33).

Orang Tua memiliki Filosofi dalam Keluarga

Apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Tuhan terhadap manusia untuk diwujudkan di bumi ini? Filosofi adalah pemikiran yang menyeluruh tentang kebenaran sebagai tujuan akhir yang hendak dituju oleh manusia. Manusia memiliki pandangan hidup yang jelas yang akan menuntun kehidupannya. Setiap orang tua, mestinya tahu apa yang menjadi tujuan akhir dalam hidupnya. Setiap orang tua tahu benar cetak biru dari kehidupannya. Ia sudah memulai dari yang paling akhir. Dia sudah punya gambaran akhir terhadap hidupnya, terhadap keluarganya sebelum ia memulai kehidupannya. Sebagaimana seorang insinyur yang sudah memiliki gambar rancangan sebelum ia memulai pembangunan.   

Orang tua yang punya gambaran hidup, yang punya visi inilah yang ingin menjadi sasaran CM. Sebab menurutnya, mengirim anak sekolah itu mudah. Bahkan jika Menteri Pendidikan Anis Baswedan meminta orang tua mengantar anaknya sekolah itupun sangat mudah. Membayar kursus, bayar bimbel, itu tidak sulit. Tapi yang sulit adalah menjawab pertanyaan mengapa orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah? Mungkin orang tua menjawab, sekolah itu penting untuk masa depan anaknya, pentingnya untuk mencari kerja, penting untuk mendapatkan harta, penting juga untuk berkeluarga. Kalau tak sekolah, mau jadi apa? Mau jadi pengemis? Mau jadi petugas sampah? Tanpa sekolah rasanya masa depan super suram. Terbayang ganasnya persaingan antar manusia di jagad gila ini untuk mendapatkan kerja. Sebuas-buasnya binatang buas memperebutkan mangsa, itu hanyalah untuk makan hari itu saja. Tak pernah ada dalam benak binatang buas rumus mengumpul harta. Bayangkan dengan manusia! Semakin tinggi sekolahnya semakain takut ia akan masa depan anak cucunya, semakin banyak harta yang kumpul untuk bekal sanak keluarganya, semakin tidak berfikir dia terhadap sesama, yang penting keluarganya saja yang utama.

Jika hidup semata adalah harta, dan manusia sekolah hanya untuk berlomba mengumpulkannya, apakah harta dunia ini cukup untuk memuaskan birahi manusia? Punya siapa sesungguhnya harta dunia ini? mengapa dengan bebas kita meng-klaim sebagai milik kita, punya kita hanya ketika kita sudah membelinya? Sekolah, Teknologi, ternyata hanyalah alat industri bagi kapitalisme dunia. Sekolah hanyalah instrumen kecil dalam persaingan memperebutkan laba. Dibalik kata-kata yang indah sesungguhnya ada laba dibelakangnya. Kita hanya menangkap kesan dipermukaan saja tanpa sedikitpun menembus hikmah dibaliknya.

Apakah suku Badui yang hidup dengan alam yang memiliki sistem sosial yang menyatu dengan alam sekitar adalah manusia primitif yang hanya pantas kita jadikan tontonan budaya saja. Seolah dengan teknologi tinggi yang kita miliki semua manusia tanpa teknologi tampak seperti manusia purba. Bukankah produk sekolah kita hanya menghasilkan kerusakan alam yang sungguh luar biasa baik di darat, air dan udara?

Disinilah pentingnya pemahaman orang tua dengan visi kehidupan yang jauh ke depan. Bagi CM jernih tak jernihnya pemahaman kita akan pendidikan akan berdampak pada praktek nyata. Tambahilah cinta pada dengan berfikir. Tidak masanya orang tua pasrah sampai bangkotan pada pihak-pihak diluar sana betapapun berwenangnya mereka sergap CM. Metode CM bukanlah sistem seperti sekolah layaknya mesin besar yang siap mengolah anak-anak layaknya bahan mentah. Mesin yang memudahkan pengelola untuk mengatur sesuai dengan selera mereka tambah kurang asupan bagi anak-anak kita. Kemudian memberikan nilai ABCDE. Tapi tanya CM, apakah sistem itu berpihak pada anak kita? Bisakah ia memuliakan karakter anak kita? Bisakah karya anak kita mnyelematkan bumi ini yang diambang kepunahan? Pendidikan adalah metode bukan sekedar sistem kata CM. Metode terdiri dari visi, prinsip dan rencana teknis yang menempatkan anak sebagai manusia berkarakter mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun