Mohon tunggu...
Gendon la gioia
Gendon la gioia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

selalu ingin berbagi refleksi dan permenungan..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aristoteles dan Hidup Bahagia

9 Januari 2012   09:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 3060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

ARISTOTELES dan HIDUP BAHAGIA

Menjadi manusia yang utuh, disadari atau tidak, menjadi cita-cita semua manusia. Kita seringkali menjumpai manusia yang berlogika bengkok, miring, berat sebelah, aneh hingga setengah lumpuh yang ada di sekeliling kita. Hal ini menandakan bahwa ada banyak orang yang hidup tidak secara penuh. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita tahu bahwa kita terancam oleh kemiringan tersebut, bahwa kita seringkali lumpuh baik secara fisik maupun mental.  Kita seringkali hidup dengan tidak utuh dan dangkal dengan mengejar kebahagiaan-kebahagiaan semu.

Kecenderungan  manusiawi adalah mudah terjebak oleh kebahagiaan-kebahagiaan semu. Banyak orang yang mengisi hidup dengan mencari nikmat sebanyak-banyaknya. Hedonisme pun semakin menjamur laksana cendawan di musim penghujan.  Orang-orang mudah jatuh dalam pemikiran dangkal  dan kebahagiaan semu, hanya untuk menuruti segala kebutuhan  nafsu. Kita dapat melihat bahwa semua hal itu menimbulkan berbagai kemerosotan, terutama dalam hal moralitas. Oleh karena itulah Aristoteles menekankan pentingnya Moralitas  untuk menemukan pertimbangan  rasional sebagai dasar bertindak, sehingga orang sungguh dapat mencapai kebahagiaan yang bermakna.

Pemikiran Aristoteles tentang Kebahagiaan

Nah, bagi Aristoteles, pertimbangan yang kelihatan paling masuk akal untuk mendasari aturan kehidupan bermoral adalah keterarahan pada kebahagiaan.[1] Dengan demikian, orang bisa mengerti mengapa ia, misalnya, diharapkan menguasai hawa nafsunya: Filsafat menjelaskan: Hanya orang yang menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Padahal kebahagiaan itulah yang kita semua rindukan. Akan tetapi, seperti yang sering kita lihat, kebahagiaan  suka mengelak. Kita tidak bisa langsung mengusahakan kebahagiaan. Yang harus kita usahakan adalah suatu kelakuan yang kita ketahui akan menghasilkan kebahagiaan, misalnya , kalau seseorang ingin bahagia maka ia harus menghindari perasaan sakit dan mengusahakan rasa nikmat. Pandangan inilah aturan dasar moralitas yang paling rasional dalam filsafat yang disebut hedonism (dari kata Yunani hedone, ‘nikmat kegembiraan’): Hedonisme adalah aliran dalam filsafat yang mengajar bahwa sebagai aturan paling dasar hidup, kita hendaknya menghindar Dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat. Oleh karena itu kebahagiaan yang diperoleh hanyalah kebahagiaan semu dan dangkal.

Dalam buku Etika Nikomacheia, Aristoteles membahas nikmat dan rasa sakit secara rinci (VII, 12-15, dan X, 1-5; dan bdk. juga II, 2). Meskipun demikian, Aristoteles tidak begitu saja menolak usaha untuk memperoleh rasa nikmat (dan itu selalu termasuk, untuk menghindari rasa sakit). Nikmat, bagi Aristoteles merupakan unsur yang penting dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam kehidupan moral, asalkan tidak ditempatkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Ada tiga hal yang diangkat Aristoteles.

Menurut Aristoteles, kegiatan apapun akan membawa nikmat semakin kegiatan tersebut berhasil diselesaikan. Tetapi, apabila nikmat itu sendiri yang diusahakan, nikmat itu justru akan mengelak. Satu-satunya kekecualian adalah nikmat yang semata-mata inderawi seperti makan, minum, dan nikmat seksual. Nikmat-nikmat tersebut memang dapat dikejar demi dirinya sendiri, tetapi dengan akibat bahwa nikmat yang lebih indah dan luhur tertutup dari kita. Oleh karena itu, Aristoteles bicara tentang “cara hidup ternak.” Manusia bukanlah ternak. Tak mungkin manusia mencapai kepuasan yang sebenarnya apabila ia memusatkan diri pada hal-hal yang dimilikinya bersama dengan kambing?  Maka, hidup mencari nikmat dalam arti nikmat inderawi semata-mata justru akan mengecewakan.  Nikmat yang lebih bermutu dan lebih membahagiakan justru akan tertutup bagi kita, seperti nikmat yang kita rasakan dari pergaulan dengan para sahabat, nikmat penemuan kebenaran dalam study, nikmat mengolah sawah yang menjanjikan kelimpahan panen, nikmat membuat karya seni, lebih-lebih nikmat karena tersentuh oleh kasih Tuhan.

Maka dari itu yang harus kita kejar ialah segala perbuatan yang bermakna, dan nikmat akan mengikuti dengan sendirinya.

Aristoteles menegaskan bahwa bukan nikmat yang harus kita kejar melainkan kita harus mengejar perbuatan-perbuatan yang bermakna. Dengan mengejar perbuatan yang bermakna, nikmat akan  mengikuti dengan sendirinyamaka kita pun dapat sungguh menikmati hidup. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu hidup yang bermutu, kita jangan berfokus pada nikmat, melainkan perbuatan yang bermakna. Contoh perbuatan yang bermakna adalah apabila seseorang bertindak berdasarkan keluhuran moralitasnya. Bagi Aristoteles, moralitas adalah salah satu gejala kemanusiaan yang paling penting. Moralitas dapat disebut keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya ia menjadi orang baik. Untuk itu, moralitas perlu diajarkan kepada setiap manusia lebih-lebih melalui pendidikan moral. Berhasil atau gagalnya pendidikan moral tiap individu dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Pendidikan  moral dikatakan berhasil apabila seseorang merasa bahagia apabila melakukan perbuatan yang baik dan merasa malu jika berbuat buruk. Sedangkan pendidikan moral yang gagal adalah jika seseorang merasa bahagia melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan sulit untuk melakukan yang baik.

Penutup

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa meskipun sudah hampir 2400 tahun yang lalu, hingga sekarang pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan hidup tidak kehilangan relevansi dan aktualitasnya sedikitpun. Saya yakin bahwa setiap orang memiliki konsep kebahagiaannya masing-masing. Akan tetapi, permasalahannya, apakah setiap orang sempat memikirkan konsep kebahagiaan yang ia miliki secara lebih mendalam? Apakah konsep kebahagiaan yang ia pegang, sungguh-sungguh membawanya pada kebahagiaan sejati, atau sebaliknya, kebahagiaan semu yang justru akan menjerumuskannya dalam kedangkalan dan ketidakbahagiaan.

Dalam pemikiran Aristoteles, kebahagiaan sejati mesti berasal dari batin yang telah dididik. Oleh karena itu pendidikan batin pun sebisa mungkin dimulai sejak dini. Pendidikan yang baik tidak membiarkan seseorang  berkembang “sesuai seleranya sendiri,” tetapi perlu dibuka dimensi hati agar seseorang merasa bangga dan gembira apabila ia berbuat baik, sedih dan  malu apabila melakukan sesuatu yang buruk.  Melalui perasaan-perasaan itu seseorang, tanpa paksaan, belajar berbuat baik dengan gampang dan menolak dengan sendirinya yang jelek atau memalukan.  Sedangkan orang yang gagal pendidikan moralnya adalah orang yang menikmati perbuatan yang tidak baik, merasa berat dan susah melakukan yang baik. Selamat berbuat baik!

Referensi:

Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles,

Yogyakarta: Kanisius,2011.

[1] Franz Magnis-Suseno. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Hal 10

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun