Setelah jagoan PKS, Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini dinyatakan ‘kalah’ dalam Pemilukada DKI dan dihadapkan dengan Pemilukada DKI Jakarta yang dipastikan bakal dua kali putaran, suka atau tidak PKS harus kembali menentukan sikapnya untuk mendukung siapa bakal calon kandidat yang akan mereka dukung. Foke – Nara atau Jokowi – Ahok. Kendati belum beruntung pada Pemilukada kali ini, suara atau dukungan PKS di Pemilukada DKI Jakarta cukup signifikan untuk mendorong salah satu kandidat dalam memenangkan Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua yang rencananya akan diselenggarakan bulan September mendatang.
Dapat dipastikan pula suara PKS menjadi daya tarik tersendiri bagi pasangan Foke – Nara dan Jokowi – Ahok. Apa alasannya? Pertama, suara PKS jika dialihkan bisa mendongkrak suara mereka pada putaran kedua nanti. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survey di Indonesia jumlah pemilih yang memilih pasangan yang diusung PKS mencapai 11 persen lebih sehingga menempatkan pasangan HNW – DJR berada diposisi ketiga berada dibawah Foke – Nara yang memperoleh 34 persen lebih dan Jokowi – Ahok 42 persen.  Sisanya 13 persen lagi tersebar pada kandidat lain yakni Faisal – Biem calon independent, Alex – Nono calon gubernur dari Partai Golkar dan PPP dan Hendarjdi – Reza calon independent.
Jika kita menghitungnya secara matematis, Foke – Nara bisa mencapai 45 persen dan sebaliknya Jokowi – Ahok akan meraih 53 persen jika mendapatkan dukungan dari PKS. Kedua, militansi kader PKS. Dibandingkan dengan partai lain, PKS memang terkenal dengan militansi kadernya, terbukti kendati HDR – DJR adalah tokoh yang baru dimunculkan pada Pemilukada DKI Jakarta, kader-kadernya bisa bekerja secara maksimal walau memang belum begitu memuaskan.
Dua alasan di atas barangkali cukup kuat untuk memberikan alasan mengapa kemudian PKS menjadi daya tarik tersendiri untuk kedua kandidat yang bertarung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua. Namun, tentunya antara Foke – Nara dan Jokowi – Ahok hanya bisa berusaha untuk memikat hati elite PKS, soal keputusannya jelas PKS punya mekanisme syuro untuk menentukan siapa calon gubernur yang akan mereka dukung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua.
Dilema PKS
Ini jelas pilihan yang tidak mudah bagi PKS. PKS harus mempertimbangkan matang-matang dan manfaat apa yang diperoleh ketika mereka memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Menurut penulis, PKS dihadapkan dengan beberapa tantangan yang akan menjadi pertimbangan para elitenya. Penulis membaginya dalam dua hal yakni tantangan internal dan tantangan eksternal.
Secara internal, PKS akan dihadapkan dengan beberapa masalah pada dewan syuro nanti. Penentuan sikap yang keliru dan kurang hati-hati jelas bisa membuat kader PKS semakin tidak solid. PKS yang cenderung menggunakan prinsip-prinsip syariah Islam dalam menentukan calon dukungan kepemimpinan tentu akan tergerus pada isu apakah boleh mendukung pasangan calon yang jelas-jelas terdiri dari kalangan non muslim. Sebut saja Ahok yang mendampingi Jokowi notabenenya non muslim. Akan tetapi, ijtihad politik PKS ketika mendukung Jokowi sebagai walikota Solo dan berpasangan dengan wakilnya yang non muslim tentunya akan bisa digunakan kembali, walaupun tetap saja itu mengalami resiko dan resistensi di kalangan internal kader PKS.
Secara eksternal, pemberitaan media yang mengarahkan PKS sebaiknya memilih Jokowi dalam sikap politiknya pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua nanti dan silaturahim Jokowi kepada Hidayat Nur Wahid saat pemilihan pada 11 Juli 2012 kemarin sedikit banyak bisa mempengaruhi keputusan PKS untuk memilih yang mana. Opini publik yang terlanjur mengarah pada Jokowi tentu memang menjadi pertimbangan dan jebakan pilihan tersendiri bagi PKS, disamping PKS juga harus mempertimbangkan suara masyarakat DKI Jakarta jika tidak ingin kehilangan muka pada Pemilu 2014 nanti karena jelas PKS punya kepentingan di sini.
Membaca Kecenderungan
Nah, kemanakah suara PKS? Ini menjadi pertanyaan yang menarik dari tadi. Melihat kecendrungan-kecendrungan yang ada jelas akan terjadi diskusi dan tawaran-tawaran politik antara elite PKS dan tim sukses atau partai pengusung dua pasang calon gubernur yang bertarung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua. Terlihat pasca pemilihan putaran pertama, melalui pemberitaan media massa diberitakan, Foke langsung silaturahim ke DPP PKS sementara Jokowi juga segera mengambil tindakan cepat silaturahim ke Hidayat Nur Wahid.
Menurut penulis, antara Foke dan Jokowi masing-masing punya kepintaran dalam melobi. Foke seolah-olah tahu dengan keputusan PKS yang tidak pernah mengambil keputusan secara individu, tapi berdasarkan syuro atau musyawarah melobi dewan syuro dan secara resmi datang ke kantornya. Sementara, Jokowi yang tahu HNW adalah salah satu tokoh sentral di PKS langsung saja melobi dan melakukan manuver opini ke masyarakat bahwa HNW secara tidak langsung punya hubungan dekat dengannya dan dipastikan akan mendukungnya. Nah, jelas relatif sulit membaca kencendrungan-kecendrungan ini. Hanya dewan syurolah yang berhak untuk memutuskannya.