Mohon tunggu...
Raja Dachroni
Raja Dachroni Mohon Tunggu... -

Pria kelahiran Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau selalu belajar dan berkarya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Lulusan STISIPOL Raja Haji 2009 dan mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau (UR) yang selama kuliahnya aktif dalam beberapa organisasi, diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan(HIMIP), LDK STISIPOL Raja Haji, (BEM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Direktur CV. Terkini Intermedia dan founder Rumah Batik Daffa ini menyukai dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyelamatkan Muslim Rohingya

7 Agustus 2012   04:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13443176751719744737

Ahad (29/07) saya dan rekan-rekan Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau mengunjungi 82 orang muslim rohingya Myanmar, korban pembantaian junta militer Myanmar di Rumah Tanahan Dentensi Imigrasi (Rudenim) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Beragam kisah perih yang dialami Muslim Rohingya diceritakan Muhammad Yunus (seorang pengungsi yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia) kepada penulis. Setelah mendengar beragam penindasan dan pencabutan hak-hak kewarganegaraan oleh Pemerintah Myanmar, penulis membatin, “Dimana HAM?”. Seolah-olah HAM yang dideklarasikan PBB ‘bisu’ ketika dihadapkan dengan hilangnya beragam hak umat Islam Rohingya yang telah mengalami penindasan puluhan tahun lamanya. Ironis. Tapi inilah realita yang telah terungkap akhir-akhir ini. Profil Muslim Rohingya Meminjam tulisan Rizki S. Saputro, “Kasus Muslim Rohingya – Gerakan Anti Muslim di Asia Tenggara?” diweblog pribadinya http://rizkisaputro.files.wordpress.com disebutkan muslim Rohingya tinggal di provinsi Arakan Myanmar. Wilayah Arakan ini ditinggali oleh dua etnis, Rakhine yang Buddha dan Rohingya yang Muslim. Dari jumlah penduduk Myanmar yang sekitar 50 juta, dan penganut Islam 8 juta (2006), sekitar 3,5juta dari mereka adalah Muslim Rohingya dari Arakan. Disebabkan penyiksaan melalui pembersihan etnis dan tindakan genosida terhadap Muslim Rohingya, sekitar 1,5 juta orang telah dipaksa untuk meninggalkan rumah dan hati mereka semenjak kemerdekaan Myanmar pada 1948. Mereka kebanyakan mengungsi ke Bangladesh, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Thailand. Sebagian besar Muslim Rohingya menggantungkan hidupnya kepada pertanian. Sebagian kecil saja dari mereka yang menjadi nelayan, pedagang, dan pebisnis. Ada juga yang menjadi seniman, pandai besi, dan pemahat. Oleh karena diskriminasi terhadap mereka, Muslim Rohingya menjadi tuna wisma. Sawah mereka dirampas oleh penghuni baru yang kebanyakan Buddha. Produk pertanian pun diberikan pajak yang tinggi, termasuk peternakan, seperti sapi, kambing, dan unggas. Mereka juga terpaksa menjadi buruh tani dengan bayaran yang sangat murah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tanggal 28 Maret 1942, sekitar 100.000 Muslim Rohingya (hampir separuh dari populasi Muslim Rohingya pada waktu itu) dibunuh. Pada masa junta militer, Muslim Rohingya dipaksa untuk meninggalkan nama-nama Islam dan menggunakan nama-nama Birma. Sebelum junta militer merebut wilayah Rohingya pada 1962, Muslim Rohingya tak kalah maju dengan komunitas Buddha di Arakan. Hanya karena kemiskinan, diskriminasi dan penyiksaan terus-menerus atas diri mereka, jumlah pelajar Rohingya turun drastis. Mereka dipersulit untuk dapat mengikuti pendidikan tinggi di kampus dan universitas. Larangan-larangan bagi Muslim Rohingya telah diberlakukan untuk mencegah mereka mendapatkan karir profesional karena mereka dipertanyakan kewarganegaraannya. Setelah rezim militer berkuasa, mereka telah menghilangkan hak politik Muslim Rohingya secara sistematis. Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan 1982 mereka disebut sebagai warga ‘non-kebangsaan’ atau ‘warga asing.’ Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan sebagai warga yang pantas ‘dimusnahkan.’ Rezim junta militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya di Arakan, serta asimilasi budaya bagi umat Islam yang tinggal di bagian lain Myanmar. Tujuan utama mereka adalah mengubah wilayah strategis Arakan (lihat peta) yang didominasi Muslim menjadi didominasi kalangan Buddha dengan mengubah konstelasi demografis Arakan. Bahkan kini nama Arakan diubah pemerintah menjadi Rakhine, nama khas Buddha. Di Arakan, banyak Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru Buddha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Junta berharap agar dapat mengubah lansekap Arakan. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Buddha, dilarang mengenakan hijab, dipaksa mengenakan alat kontrasepsi, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis. Menyelematkan Muslim Rohingya Dari kunjungan yang penulis lakukan di Rudenim Tanjungpinang, permintaan muslim rohingya sangat sederhana. Pertama, mereka meminta dikembalikan hak kewarganegaraan. Kedua, jika memang hak kewarganegaraan tersebut belum diakui juga, mereka meminta agar negara-negara muslim seperti Indonesia mau memberikan suaka politik kepada mereka. Dari kedua sudut pandang tersebut penulis pikir PBB dan ASEAN bisa mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan represif seperti memberikan sanksi internasional untuk Myanmar, bahkan PBB dan ASEAN bisa saja mengeluarkan Myanmar dari organisasi ini jika memang Myanmar belum bisa menyelesaikan permasalahan ini sesegera mungkin. Kalau memang Myanmar juga masih tidak khawatir dengan ancaman dan lambat dalam mengambil kebijakan dalam menyikapi masalah ini jelas ini menjadi kewajiban negara-negara tetangga yang mayoritas beragama Islam untuk menampung sementara muslim Rohingya yang dibantai secara tidak manusiawi oleh Junta Militer Myanmar. Indonesia penulis pikir punya peluang untuk hal ini. Skema Global Asing Membaca tulisan Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI),  “Agenda Tersembunyi dibalik Konflik Etnis Islam Myanmar” disebutkan konflik etnis Islam Rohingya di Myanmar, harus dipotres dalam foto yang lebih besar. Fokus harus diarahkan pada Arakan, daerah basis Suku Rohingya. Di Arakan ini, ada kandungan minyak dan gas bumi yang cukup melimpah. Beberapa perusahaan Asing seperti Total, Perancis, Chevron, Amerika Serikat, Petro China, Cina, Tiongkok Petroleum, Petronas Malaysia, dan PTT Thailand, saling berebut dan incar Arakan yang punya nilai strategis. Masih menurutnya, Amerika, sepertinya merasa ketinggalan kereta dalam pertarungan merebut the winning coalition dalam menguasai struktur domestik Myanmar. Karena kalah dalam mengakses rejim militer Presiden Than Swe. Maka, isu HAM kemudian dikelola sebagai isu untuk menembus blokade wilayah strategis ini dengan dalih ada pelanggaran HAM di Myanmar, khususnya Arakan. Maka itu kondisi obyektif Arakan yang rawan untuk dipicu perbenturan antara etnis Islam Rohingya dan warga Budha di daerah ini. Sejatinya bukan Muslim Cleansing, Tapi People cleasing terhadap masyarakat Myanmar. Yang muaranya adalah untuk memaksa rejim militer menegosiasikan ulang berbagai kesepakatan strategis di bidang ekonomi. Saat ini, di Arakan, setidaknya dua perusahaan minyak Cina, sudah menandatangani MOU dengan rejim militer Myanmar, untuk mengeksplorasi dan penambangan di Arakan. Jadi dalam kontek memicu konflik Islam-Budha di Myanmar, sebenarnya dalam skema global ini, masyarakat Birma lah yang jadi korban sebenarnya. Tentu saja karena sasaran utama kali ini adalah Arakan, maka suku Rohingga jadi target operasi. Namun warga Budha pun , juga jadi korban. Karena skema besarnya, korbankan masyarakat Birma, demi kesepakatan rejim militer dan para pelaku korporasi raksasa Asing di Myanmar. Pemerintah Myanmar yang saat ini dipimpin oleh Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi saat ini menyerukan adanya aturan hukum dalam bentuk Undang-undang untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato pertamanya di parlemen (Vivenews.com, Rabu 25 Juli 2012). Nah, terlepas dari dugaan skema global ini kita berharap penderitaan muslim Rohingya bisa segera berakhir dan pernyataan Aung San Suu Kyi sebagai presiden kita harapkan tidak hanya sekedar retorika belaka karena galau dengan sikap PBB dan negara-negara dunia yang mendesak Myanmar untuk mengembalikan hak-hak kewarganegaraan Muslim Rohingya. Semoga Allah menguatkan dan menyelamatkan muslim Rohingya yang masih tersisa di Provinsi Arakan, Myanmar. Tulisan telah dimuat di Haluan Kepulauan Riau, Kamis, 02 August 2012 00:00 *)Raja Dachroni, Ketua Umum Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun