Dalam perdebatan tentang kaitan antara Islam dan Negara. Kaum Tradisionalis menyatakan bahwa secara integral politik adalah bagian dari Islam, dalam pandangan ini bahwa agama Islam adalah agama komprehensif yang mengatur segala sesuatu secara detail. Alasan paling logis yang sering dilontarkan oleh para tradisionalis ini adalah bahwa secara historis Islam selalu tumbuh dalam lindungan kekuasaan negara semenjak era Negara Madinah hingga berakhirnya kekuasaan Turki ottoman tahun 1924 silam. Jika menyetir pernyataan Al-Ghazali bahwa Agama adalah dasarnya dan kekuasaan adalah penjaganya, segala sesuatu yang tak berdasar akan rubuh dan apa-apa yang tidak berpenjaga akan rusak atau hilang.
Oleh karenanya, kehancuran dan kerusakan dunia Islam dewasa ini sebab karena antara Islam dan kekuasaan terjadi kejomplangan. Untuk itu, pertama, Â khilafah kemudian menjadi perlu selain karena tuntunan akidah dan syariat Islam. Dan sebagai muslim diwajibkan untuk menerapkan semua aturan Allah tanpa terkecuali; kedua, khilafah akan mensejahterakan rakyat karena dalam Islam tidak mengenal apa yang dibenci sekaligus menjadi sistem dalam dunia hari ini yakni kapitalistik; ketiga, khilafah akan menjamin keamanan rakyat yang berbeda dengan para kaum sekular yang bahkan rela menggadaikan agama untuk dunia; keempat, khilafah akan menjaga negeri-negeri Islam dari segala ancaman yang mendera karena Islam adalah satu tubuh dan satu persaudaraan; kelima, khilafah Islam akan menyebarkan inti ajaran Islam yakni Rahmatan lil alamin jadi ketika khilafiyah tegak yang diuntungkan bukan hanya kaum Muslim tetapi non-Muslim dengan penciptaan dunia yang lebih baik dari segi ideologis maupun meteriil.
Adapun, golongan kedua adalah sekular yang menekankan bahwa Agama hanya mengatur tentang Manusia dan Tuhan (ibadah) tidak lebih dan tidak kurang. Persoalan-persoalan urusan pemerintahan dan negara harus dijauhkan dari Agama. Salah satu tokoh kontemporer yang manganut paham ini ialah Ali Abd Razieq yang beranggapan bahwa Islam sama dengan agama-agama lainnya yang tidak mengajarkan tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk itu, tidak ada keharusan untuk mendirikan khilafiyah Islam atau pun imamah, dan Nabi SAW pula bukanlah sebagai kepala negara melainkan hanya seorang Nabi (pemimpin agama).
Golongan ketiga, merupakan golongan yang mengambil jalan tengah. Dalam satu sisi, mereka tidak mengatakan bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur ibadah tetapi bukan pula ajarannya mencakup secara rinci segala hal, termasuk aturan mengenai negara. Islam cukup memberikan aturan atau prinsip dasar yang dapat dipegang manusia dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip dasar pertama dalam politik Islam mencakup persoalan kedaulatan Tuhan; kedua, syura dan ijma yang mana pengambilan keputusan melalui konsensus serta konsultasi dengan pelbagai pihak; ketiga, semua warga dijamin hak-hak pokoknya; keempat, hak-hak negara. Dimana pemerintah mempunyai otoritas terhadap warganya; kelima, hak-hak khusus dan Batasan bagi warga negara yang non-Muslim yakni sama-sama memiliki hak sipil yang sama; keenam, ikhtilaf serta musyawarah yang menentukan. Sedangkan, dalam penyelenggaraan pemerintahan Islam selalu harus berdasar pada tiga hal dalam pendapatnya Muhammad Haikal yakni, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.
Diskursus antara Negara dan Islam kontemporer pada akhirnya selalu merujuk pada tiga golongan yang sama-sama memiliki paradigmanya sendiri. Setidaknya, Muslim telah membaginya pada dua paradigma yakni, Substantif-Inklusif dan Legal-Eklusif.
Insha Allah secepatnya untuk bagian II....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H