Mohon tunggu...
Hidayatullah Radiun
Hidayatullah Radiun Mohon Tunggu... lainnya -

Hidayatullah,lahir tahun 1980 di Palangki,Kabupaten Sijunjung,Sumatera Barat.Pendidikan SD dan MTsN di Palangki. SLTA di MAPK/MAKN Padang Panjang Sumatera Barat. Pernah Kuliah di IAIN IB Padang 2 Semester di Fakultas Syari'ah sebelum kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Al-Azhar Mesir. S2 diselesaikan di Umdurman Sudan. dan Sekarang terdaftar sebagai Mahasiswa S3 Universiti Malaya Malaysia. Pengalaman mengajar di Program Khusus IAIN IB padang, STIT Muaro Sijunjung, STAI-PIQ Padang dan dosen Agama Pada Akper Kesdam. aktifitas organisasi sebagai ketua MUI Kabupaten sijunjung dan anggota komisi fatwa MUI sumatera barat. serta organisasi-organisasi lain. ayah dari 3 anak. istri Rahmi Fadhilla, seorang dokter alumni UGM sekarang bertugas di Sumatera Barat. kesibukkan sehari-hari tidak lepas dari dakwah baik melalui tulisan atau media lainnya. bercita-cita mendirikan sebuah lembaga pendidikan di Sumatera Barat sebagai salah satu alternatif pendidikan Islam di Sumatera Barat secara khusus dan Indonesia secara Umum.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenapa Kiri Jalan Terus?

5 Januari 2012   05:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari hampir jam satu siang. Teriakan perut dan gerah karena panas ikut menambah kejenuhan puteri sulung saya. Karena hampir sehari penuh sudah ia mencoba menahan dan mengendalikan dirinya untuk tidak protes. Melihat saya yang sepertinya tidak habis-habis keperluan. Ada saja. Dari toko komputer ke toko alat tulis. Sebelum ke mobil mengajak mampir ke toko buku. Mampir sejenak ke ATM. Terus sebelum ke SPBU mampir dulu ke toko obat. Tidak lama-lama. Namun untuk ukuran seorang anak yang baru berumur 3,5 tahun ini pasti membosankan. Dan tentu dia tidak terlalu peduli, bahkan tidak mau tahu seberapa penting dan perlunya. Ia segera ingin pulang kerumah. Bermain dan lepas dari segala penderitaanya ini.

Untuk menghilangkan kejenuhannya,memecahkan suasana saya coba sesekali mengajaknya ngobrol. Berbicara sekenanya. Entah dia peduli entah tidak.

Namun, tiba-tiba saya terkejut oleh pertanyaan yang bernada protes. Kenapa berhenti Bi? Lampu merah, jawab saya singkat. Emang kalau merah harus berhenti, protes dia lagi? Iya, merah berhenti, hijau jalan, kuning hati-hati. Jelas saya.

Itu, yang lain jalan terus ? kok gak berhenti? Katanya lampu merah berhenti? Sanggah dia. Saya terkaget dan segera melihat arah telunjuk dia. Oh, itu kiri nak. Kiri jalan terus. Kok bisa bi? Kiri bisa jalan terus? Saya kehabisan akal, bertepatan lampu hijau menyala. Belum sempat saya menjelaskan. Perhatian saya tersedot pada laju kendaraan.

Sepanjang hari saya berfikir dan mencoba menganalisa keluguan anak kecil. Kejujuran pertanyaannya dan ketidak mengertiannya akan segalanya. Tapi ia protes akan sesuatu yang kasat mata.entah apa hubungannya. Saya jadi teringat komentar seroang teman ketika saya menulis status FB. “ gempa kembali mengguncang kota Padang. Orang-orang berlarian. Mencari ketinggian. Khawatir akan Tsunami. Komentar yang menggelitik, di tulis seorang teman.” Semua aktifitas tergganggu, kecuali aktifitas maksiat. Semua terhenti. Kecuali “kiri jalan terus”.  Semua melarikan diri. Tapi tidak ada yang lari kepada tuhan.

Menggelitik, atau mungkin justru menampar. Bukan masalah aturan lalu lintas. karena ini dibuat tentu dengan segala studi dan kepentingan ketertiban. Tapi bila semangat yang tertera pada rambu-rambu di jadikan semangat hidup di tanah air ini, memang memprihatinkan. Sangat mengkhawatirkan. Sepertinya. Kekuatan gempa tidak cukup mengguncang keangkuhan jiwa wanisua yang senang berbuat dosa. Tsunami tidak juga mampu melumat jiwa berkarat umat manusia. Bahkan justru yang terjadi adalah kebebalan. Maksiat makin menjadi.

Kepedulian pun kadang menipis. Kita sangat peduli dengan analisa ilmiah. Sangat peduli dengan kekokohan bangunan yang mengurangi resiko bencana. Tapi sangat kurang perhatian terhadap kekokohan bangunan iman.

Sangat tampak oleh mata. Betapa terjadi kepincangan. Disaat-saat  semua bangunan roboh, aktifitas terganngu. Semua terhenti. Kenapa sangat susah membuat “kiri berhenti?” alias maksiat. Ada apa gerangan? .

da_dayat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun