Hari hampir jam satu siang. Teriakan perut dan gerah karena panas ikut menambah kejenuhan puteri sulung saya. Karena hampir sehari penuh sudah ia mencoba menahan dan mengendalikan dirinya untuk tidak protes. Melihat saya yang sepertinya tidak habis-habis keperluan. Ada saja. Dari toko komputer ke toko alat tulis. Sebelum ke mobil mengajak mampir ke toko buku. Mampir sejenak ke ATM. Terus sebelum ke SPBU mampir dulu ke toko obat. Tidak lama-lama. Namun untuk ukuran seorang anak yang baru berumur 3,5 tahun ini pasti membosankan. Dan tentu dia tidak terlalu peduli, bahkan tidak mau tahu seberapa penting dan perlunya. Ia segera ingin pulang kerumah. Bermain dan lepas dari segala penderitaanya ini.
Untuk menghilangkan kejenuhannya,memecahkan suasana saya coba sesekali mengajaknya ngobrol. Berbicara sekenanya. Entah dia peduli entah tidak.
Namun, tiba-tiba saya terkejut oleh pertanyaan yang bernada protes. Kenapa berhenti Bi? Lampu merah, jawab saya singkat. Emang kalau merah harus berhenti, protes dia lagi? Iya, merah berhenti, hijau jalan, kuning hati-hati. Jelas saya.
Itu, yang lain jalan terus ? kok gak berhenti? Katanya lampu merah berhenti? Sanggah dia. Saya terkaget dan segera melihat arah telunjuk dia. Oh, itu kiri nak. Kiri jalan terus. Kok bisa bi? Kiri bisa jalan terus? Saya kehabisan akal, bertepatan lampu hijau menyala. Belum sempat saya menjelaskan. Perhatian saya tersedot pada laju kendaraan.
Sepanjang hari saya berfikir dan mencoba menganalisa keluguan anak kecil. Kejujuran pertanyaannya dan ketidak mengertiannya akan segalanya. Tapi ia protes akan sesuatu yang kasat mata.entah apa hubungannya. Saya jadi teringat komentar seroang teman ketika saya menulis status FB. “ gempa kembali mengguncang kota Padang. Orang-orang berlarian. Mencari ketinggian. Khawatir akan Tsunami. Komentar yang menggelitik, di tulis seorang teman.” Semua aktifitas tergganggu, kecuali aktifitas maksiat. Semua terhenti. Kecuali “kiri jalan terus”. Semua melarikan diri. Tapi tidak ada yang lari kepada tuhan.
Menggelitik, atau mungkin justru menampar. Bukan masalah aturan lalu lintas. karena ini dibuat tentu dengan segala studi dan kepentingan ketertiban. Tapi bila semangat yang tertera pada rambu-rambu di jadikan semangat hidup di tanah air ini, memang memprihatinkan. Sangat mengkhawatirkan. Sepertinya. Kekuatan gempa tidak cukup mengguncang keangkuhan jiwa wanisua yang senang berbuat dosa. Tsunami tidak juga mampu melumat jiwa berkarat umat manusia. Bahkan justru yang terjadi adalah kebebalan. Maksiat makin menjadi.
Kepedulian pun kadang menipis. Kita sangat peduli dengan analisa ilmiah. Sangat peduli dengan kekokohan bangunan yang mengurangi resiko bencana. Tapi sangat kurang perhatian terhadap kekokohan bangunan iman.
Sangat tampak oleh mata. Betapa terjadi kepincangan. Disaat-saat semua bangunan roboh, aktifitas terganngu. Semua terhenti. Kenapa sangat susah membuat “kiri berhenti?” alias maksiat. Ada apa gerangan? .
da_dayat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H