Membaca artikel Menanti Putusan Sistem Pemilu -- Kompas (13/6/2023) halaman 3, dan headline hari ini tentang hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai warga negara turut memberikan saran, supaya sistem pemilu kali ini bisa mengakomodasi pihak yang pro dan kontra terhadap keputusan MK.
Bisa jadi, pokok masalahnya adalah desain surat suara. Sayang sekali, MK turun tangan membahas hingga hal teknis seperti KPU. Rasanya pada Pemilu 2004, sudah diperkenalkan sistem terbuka-tertutup, yakni sistem proporsional daftar tertutup tetapi dengan daftar nama calon legislatif (caleg) ada di surat suara tetapi keterpilihannya dengan syarat.
Menurut saya, surat suara saat ini yang terlalu besar dan banyak mesti diringkas dengan sistem semi terbuka. Di surat suara tak perlu lagi dicantumkan nama-nama caleg. Karena pemilih sudah memastikan caleg jagoannya masing-masing dan peran itu mestinya diambil alih oleh caleg saat berkampanye. Sehingga cukup nomor urut calegnya saja di kolom di bawah lambang dan nomor urut partai dengan tampilan seperti kalender bulanan. Formatnya bulatan hitam dengan angka berwarna putih, sehingga ketika dicoblos dengan paku akan lebih mudah diidentifikasi. Bukannya kita terbiasa menjawab soal multiple choice dengan menghitamkan bulatan huruf di lembar jawaban?
Rakyat tetap bisa mencoblos calegnya pada nomor urut di kertas surat suara yang telah disosialisasikan. Dengan ini fungsi partai politik tidak sekadar sebagai perahu bagi para caleg kutu loncat tetapi bisa dimanfaatkan oleh kader partai yang aktif tetapi kurang modal sebagai bahan kampanye. Pemilih pemula dan manula perlu edukasi.
Jangan lupa, jumlah surat suara tidak sah luar biasa, melebihi suara parpol menengah. Perppu tentang nomor urut parpol (dan nomor urut caleg) jadi lebih berguna. Rakyat tidak tertipu oleh titel nama caleg yang panjang, bahkan oleh foto caleg yang diedit oleh Photosop bahkan Artificial Inteligence sedemikian rupa. Jalanan akan lebih bersih dari sampah visual. Anggaran negara pun bisa lebih dihemat.
Dulu, kelemahan sistem tertutup diibaratkan membeli kucing dalam karung, maka dengan sistem terbuka, rakyat bebas memilih caleg. Ternyata, sistem terbuka juga memiliki kelemahan, praktik politik uang merajalela, caleg yang potensial kalah oleh caleg berduit yang entah dari mana ia memperolehnya?
Dulu, rakyat apatis bahkan apolitis ketika hari pencoblosan. Maka, terjadilah "serangan fajar" yang sekarang tidak lagi remang-remang namun terang benderang. Apakah hal ini yang menjadi salah satu faktor partisipasi rakyat meningkat?
Bolak-balik mencari sistem terbaik, sehingga lama-kelamaan sistem pemilu kita adalah memang yang paling rumit di dunia. Wajar saja periode lalu banyak petugas pemilu yang meninggal dunia. Tulisan ini telah dimuat di Kompas, Kamis (15/6/2023) halaman 7 dengan judul pilihan editor, Jangan Memperumit Pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H