Mohon tunggu...
Dessy Widya Astuti
Dessy Widya Astuti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ukhti-vis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

SEMANGAT PERLAWANAN DALAM POSTERAKSI

23 November 2013   17:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:46 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385203408797561526

Kejadian kemanusiaan yang tidak terselesaikan membuat Alit Ambara tergerak untuk mengangkatnya dalam bentuk poster. Dari hasil cetak digital itu ia sampaikan pesan pergerakan.

Ratusan poster tersusun rapi menggantung pada dinding-dinding ruangan. Warna-warna cerah menyala dan tulisan kapital bernada kritik sangat menarik pandangan. Di salah satu dindingnya, terpajang poster bergambar wajah wanita dengan pedang terbenam di lehernya. Pedang itu seakan ingin memenggalnya. Wanita tersebut digambarkan sebagai seorang buruh migran yang dipancung. Poster ini bertuliskan Ruyati.

Sosok perempuan ini mulai dikenal publik sekitar tiga tahun yang lalu. Ia adalah seorang TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi. Ruyati binti Satubi dituduh membunuh majikannya Khairiya Hamid binti Mijlid dengan pisau dapur. Pengadilan Arab Saudi memvonis bersalah dan menjatuhkan hukuman pancung pada wanita asal Bekasi ini.

Saat hukuman qisas tersebut berlangsung, keluarga korban tidak tahu-menahu tentang hal itu. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Pemerintah dianggap tidak berusaha mambantu kasus Ruyati ini. Ironisnya lagi, pemancungan yang dialami Ruyati terjadi sesaat setelah Presiden memberikan pidatonya tentang perlindungan buruh migrantdi Jenewa, Swiss. Terkait hukuman tersebut, keluarga korban hanya bisa pasrah dan meminta jenazah Ruyati bisa dipulangkan ke kampung halaman.

Sebelum divonis hukuman pancung, Ruyati sempat diadili. Wanita itu tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya di pengadilan. Hal ini karena pihak keluarga majikan tidak memberi ampunan pada Ruyati. Sehingga, ia langsung dijatuhi hukuman mati. Kasus Ruyati ini merupakan salah satu pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap buruh migran, khususnya perempuan. Ruyati hanyalah contoh dari segelintir kasus buruh migran yang dihukum mati. Masih banyak Ruyati lainnya yang sedang menunggu hukuman pancung di luar negeri.

Poster-poster provokatif yang sarat mengandung isu-isu sosial ini diilustrasikan dengan baik oleh seorang seniman asal Singaraja, Bali. Ia adalah Alit Ambara. Begitu lulus kuliah, Alit mendirikan studio desain grafis Nobodycorp Internationale Unlimited. Sekitar 180 poster karyanya berukuran 80 x 100 cm dipajang dalam pameran bertajuk “Posteraksi” pada 16-24 Oktober lalu. Poster-poster yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta ini mengangkat tema sosial, politik, konflik agraria, dan HAM.

Poster yang banyak menyinggung kejadian kemanusiaan ini dibuat Alit mulai tahun 2010-2013. Gambar-gambar hasil cetak digital ini menjadi sarana penyampaian pesan yang efektif bagi Alit. Ia berniat mengutarakan kegelisahan dirinya terhadap masalah-masalah yang terjadi di Indonesia. Isu-isu tersebut diusung oleh desainer yang juga aktivis HAM tahun 1998 ini karena kasus-kasusnya sering menggantung dan beritanya hilang begitu saja.

Alit mempresentasikan salah satu kasus yang terabaikan itu dengan menampilkan gambar seorang ibu sedang menggendong anaknya. Dalam poster terselip tulisan: Sampang, yang berpadu dengan latar belakang poster berwarna merah menyala dan ilusi percikan api. Propaganda berbentuk teks ini bertuliskan: Galang solidaritas, menuntut negara melindungi republik Indonesia dari fasisme yang menamakan agama. Dengan kutipan itu seolah Alit ingin menyuarakan keadilan melalui poster.

Rupanya Alit ingin mengingatkan pengunjung tentang kejadian penyerangan terhadap penganutSyiahdi Sampang, Madura. Tragedi Sampang initelah melanggar kebebasan beragama.  Masyarakat yang beragama minoritas dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Tempat tinggal mereka dibakar. Mereka tidak lagi diterima sebagai warga Sampang. Anehnya, kejadian seperti ini sering tidak ditindaklanjuti oleh aparat keamanan maupun pemerintah.

Pemerintah terkesan tak peduli pada masalah-masalah sosial seperti itu. Oleh karenanya, Alit merasa tergerak untuk mengangkat isu kemanusiaan tersebut dalam poster. Peristiwa yang terjadi di Kulon Progo, misalnya. Petani harus merelakan lahannya untuk dijadikan tambang pasir. Konflik agraria ini membuat petani kehilangan mata pencahariannya. Lahan mereka dibeli paksa oleh para pengusaha. Perusahaan-perusahaan besar sangat agresif ingin menguasai lahan yang luas. Lahan-lahan itu kebanyakan digunakan untuk ekspansi bisnis.

Kasus tersebut divisualisasikan oleh Alit melalui poster yang menampakkan guratan tangan petani sedang bercocok tanam. Di samping gambar padi yang ditanam terdapat tangan yang sedang mengepal. Kepalan tangan itu menunjukkan perlawanan petani terhadap penguasa. Tak lupa lambang-lambang perusahaan minyak terkenal dicantumkan di pojok kanan bawah poster. Simbol penguasa itu diberi ultimatum: Bertani atau mati, menanam adalah melawan.

Keseluruhan tema poster yang diusung Alit bertujuan untuk menciptakan kesan perlawanan dan pergerakan. Hal inilah yang membuat pengunjung merasa dekat dengan isu-isu yang diangkat dalam poster. Mereka yang datang nampak antusias mencermati seluruh detail gambar pada poster. Sholahuddin salah satunya, ia mengaku sangat terkesan dengan poster bergambar Wiji Thukul. “Posternya sangat bagus dan mengena bagi orang yang melihatnya,” ujarnya.

Berbeda dengan Sholahuddin, Yuli Rukmini yang juga pengunjung pameran mengungkapkan ketertarikannya pada poster bergambar Soeharto. Presiden era 1966-1998 ini digambarkan sedang mencekik seseorang. “Piye kabare? Iseh kepenak jamanku toh, apa-apa murah termasuk nyawamu!” tulis Alit dalam posternya.  “Poster Soeharto ini sangat kontroversial, sarat dengan sindiran,” tutur wanita ini.

Alit menjelaskan bahwa poster-poster yang dipamerkan bertujuan untuk mengkontruksi realitas yang ada di Indonesia sekarang ini. Harapannya, akan muncul makna baru yang cepat menggugah kesadaran seseorang dibandingkan lewat sekedar tulisan. “Poster ini merupakan bentuk presentasi yang berbeda dari masalah yang sudah terjadi,” tutur alumni Institut Kesenian Jakarta ini.

Sejak tahun 1993, Alit telah menghasilkan lebih dari 1000 poster yang dimuat di website Posteraksi dan Nobodycorp Internationale Unlimited. Seluruh posternya disebarluaskan melalui jejaring sosial media dan berbasis lisensi Creative Commons (BY-NC-ND 3.0). Artinya, semua orang dapat mengunduh posternya melalui website secara gratis dengan mencantumkan sumbernya. “Dengan tersebarluasnya poster-poster itu diharapkan dapat menggugah rasa simpatik banyak orang,” tutup Alit. [Dessy Widya A]

(Artikel ini bisa dikonsumsi melalui media cetak Balairung Koran (Balkon) BPPM Balairung UGM edisi 142 rubrik Apresiasi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun