Kekurangan asupan gizi, terutama pada masa yang kritis seperti 1000 hari pertama kehidupan dapat menghambat pertumbuhan anak dan menyebabkan stunting. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukan angka stunting sebanyak 21,6%. Beberapa daerah seperti Sulawesi Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Barat mengalami prevalensi stunting yang masih tergolong tinggi dan menyentuh angka >30%. Asupan dan status gizi antenatal menjadi salah satu faktor pengaruh stunting yang mencakup folat sebagai mikronutrien dengan peran besar selama kehamilan.
 Dari permasalahan tersebut, muncul ide dan gagasan baru dari mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan dan Kebidanan Universitas Brawijaya membuat inovasi riset tentang pemanfaatan pangan fermentasi kubis (Sauerkraut) sebagai makanan terbarukan yang tinggi folat untuk mengatasi stunting. Lima mahasiswa terdiri dari Rendy Zhanuarisma, Riris Amelia Putri, Giselle Terrencia, Safa'atul Khoir, dan Putri Rizqiyyah Maisyaroh dibawah bimbingan Wike Astrid Cahayani, S.Ked., M.Biomed dari Fakultas Kedokteran untuk mengembangkan inovasi Ekstrak Fermentasi Kubis (Sauerkraut) yang diuji coba pada Zebrafish Model Stunting dengan Induksi Rotenone. Penelitian ini didanai oleh Kemdikbudristek dan Universitas Brawijaya melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Eksakta tahun 2024.Â
"Sayur kubis biasanya dikonsumsi dengan proses pengolahan panas yang memungkinkan terjadinya kerusakan senyawa folat dalam kubis tersebut. Sedangkan proses fermentasi tidak memerlukan panas sehingga mampu mempertahankan kandungan folatnya. Dengan adanya fermentasi mampu memecah nutrisi pada kubis sehingga penyerapan folat lebih optimal dan cepat" Ujar Rendy Menurut Rendy, kasus stunting banyak disebabkan karena asupan folat yang belum tercukupi dimana manusia dewasa membutuhkan setidaknya 400 g asam folat dalam sehari, sementara untuk ibu hamil membutuhkan minimal 600 g. Proses fermentasi akan mengurangi kerusakan kandungan folat dalam kubis mentah. Berbeda halnya jika proses pengolahan kubis dilakukan dengan cara pemanasan, maka banyak 85-90% folat akan terdegradasi dan hilang. Sehingga, konsentrasi folat dalam sauerkraut yang diolah dengan metode fermentasi jauh lebih tinggi yaitu sebesar 20 g per 100 gram kubis.
"Pada penelitian kami, hewan uji coba yaitu larva zebrafish hasil fertilisasi umur 2 jam dibuat model stunting dengan diberi larutan Rotenone. Lalu kami induksikan dengan ekstrak sauerkraut dengan konsentrasi garam berbeda yaitu 2,5%; 5%; 7,5%; dan 10% yang telah kami buat. Kemudian kami lakukan pengukuran panjang badan pada hari yang berbeda" Tambahan dari Riris.Â
Pada hasil penelitian diperoleh bahwa ekstrak sauerkraut mampu diserap lebih cepat oleh tubuh dan berpengaruh terhadap panjang badan larva zebrafish. Sehingga sauerkraut sangat berpotensi menjadi pangan fermentasi untuk meningkatkan folat dan mencegah stunting. Disisi lain proses pembuatan sauerkraut yang mudah sehingga semua orang dapat membuat di rumah. Sauerkraut juga memiliki rasa asam dan asin yang cocok untuk dikombinasikan dengan makanan lainnya.Â
Dengan penelitian ini diharapkan bisa memberikan inovasi pangan fermentasi yang tinggi folat dan mampu mengatasi kasus stunting di Indonesia serta sebagai bentuk nyata kontribusi mahasiswa Universitas Brawijaya untuk penanggulangan kasus stunting saat inI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H