"mana duit. ??sni buruan tas ma dompet lu? bawa sini smua!!" teriak yayan sembari merampas tas dan merogoh saku belakang rahman. disaat yang sama parmo masih asilkmendaratkan bogem renyah ke tubuh rahman.
"jangan.. jangan tas gwa. tolong jangan!!" pinta rahman dengan nada gemetar menahan sakit yang bertubi-tubi datang menimpa raga yang kurus itu.
"ah banyak bacot" ucap yayan keras lalu menendang perut rahman yang telah terkapar di tanah. kini tubuh rahman babak belur seutuhnya.
"hey, ada apa ini?" teriak seorang pemuda dengan tampilan serba hitam compang camping selayak pemulung kepada para warga yang berkerumun. baju lusuh di balut jaket hitam yang banyak tembelan disana sini, celana jean robek di bagian lutut, tas gendong lusuh jelek warna hijau yang hanya disampirkan di bahu kanan, rambut kriting, serta brewok lebat di wajahnya menambah kesan sempurna seorang pemulung tuna wisma.
"oh. ada topeng monyet ya? pantes rame banget. lho mas monyetnya kok ada 2? model baru ya?? di kasih makan apa sih kok gemuk-gemuk gitu? botak lagi. lucu. ha ha.. satu jamnya brapaan? boking boleh?" pertanyaan beruntun yang kluar dari mulut berwarna gelap kehitaman tanda bahwa ia adalah seorang perokok aktiv.
"kampret. sapa lagi nih kunyuk? mo atasin tuh, gwa mau cek isi tas nih bocah. kali aja ada yang bisa buat setoran" teriak yayan kepada parmo.
"oke yan." ucap parmo mantap "hey nyuk, sini lu" parmo mendekat ke pemuda tadi. sontak para warga mundur dan menjauh meninggalkan pemuda tadi di depan.
"eh. kok pada mundur?? waduh gaswat." ucap sang pemuda yang dengan konyolnya clingak clinguk seperti kera yang mencari kawanannya.
*swuuft. plak* sebuah pukulan berhasil di tepis dan tangan parmo yang masih mengepal dicengkramnya oleh pemuda tadi dengan santai, terlihat seperti film action yang sering tayang di televisi. lalu dengan tekanan yang keras sang pemuda menarik tangan yang masih dicengkeramnya, di plintirnya tangan itu dan didekatkan ke tubuhnya "ahk" rasa sakit yang dirasakan parmo keluar dengan mulus dari mulutnya. mata sang pemuda melirik ke arah tatto. "hemm... si kepiting berekor ya? ampun dah, tuh anak pasti ketiduran lagi. hadeeeh." dengan lirih sang pemuda bergumam sembari menggelengkan kepala.
*wush, plak, gedebug* suara keras parmo yang jatuh ke tanah dengan hanya sekali pukulan. yayan yang dari tadi sibuk mengobrak-abrik tas yang dirampasnya langsung menoleh kearah parmo dan terkejutlah ia melihat tubuh temannya kini tak berdaya."badan sih gede kayak badak, tapi kok krupuk banget. ish ish ish. malu ah ma otot" ledek sang pemuda itu.
Rahman yang dari tadi hampir pinsan menahan sakitnya pun ikut terkaget keheranan. 'padahal tubuhnya kecil tak jauh beda dengan ku. tapi hanya sekali pukul, preman segede gitu ambruk. siapa dia?' tanya rahman dalam hati.
"sialan lu. sini ama gwa. parmo emang gak pecus, makan aja yang di gedein, giliran brantem tepar duluan " tantang yayan sembari melempar tas dan dompet rahman ke tanah. dan dengan sigap rahman menangkapnya, tanpa memperdulikan rasa sakitnya segera ia mengamankan tas yang berisi barang yang paling berharga miliknya itu.
"ogah" jawab sang pemuda sambil mengorek hidungnya dengan cermat memanen semua upil yang ada di dalamnya, dengan wajah tanpa dosa.
"eh kampret. kenapa gak mau?" tanya yayan dengan wajah keheranan.
"soalnya lu botak. jelek lagi. paling di sentil doang ambruk kayak si badak" ledek sang pemuda tadi sembari membuang upil yang di dapatnya, lalu seperti penambang emas ia mengorek lagi hidungnya, serasa kotoran itu tiada habisnya.
yayan nampak curiga dengan sosok yang ada di depsnnya. dengan hati-hati ia memperhatikan sang pemuda tersebut. lalu seakan nengetahui sesuatu yayan bertanya dengan sedikit gagap dan nada yang agak gemetar. 'ka..kamu.. a.. a.. arta sss.. sa.. sang pengelana alias naga hitam ya??
sang pemuda menghentikan kegiatan joroknya itu lalu dengan muka serius menjawab. "oh kamu sudah tahu tentang ku ya?? dari bosmu kah?? atau...?". belum lengkap perkataan arta, yayan sudah memotong dan meminta maaf sembari bersujud kepadanya.
"m..m..mm.. maaf. maafkan ka..kaa.. kami kang, kami sudah lancang padahal b..b.. bos bilang kami gak boleh berurusan dengan akang. ta.ta..tapi kami masih belom punya setoran. ma..ma..makanya kami kemari. maaf kang. maafkan kami" rahman yang dari tadi menperhatikan semakin keheranan dan tambahlah rasa penasaranya. 'siapa pemuda ini. apa hubungannya dengan para preman ini? kenapa preman ini minta maaf sambil bersujud segala. aku perlu tahu tentang dia. seumur hidup ku baru kali ini aku melihatnya. tapi kalo kuperhatikan wajahnya nampak tak asing' gumamnya dalam hati.
"yasudah. kali ini gwa maapin. tapi!!! kalo lain kali gwa liat lu ma si badak krupuk ini bikin ulah lagi. emm.. gatau ya bakal maapin apa gak. ya paling mirip kayak si ayam jago" ucap arta tenang.
"iya kang makasih. saya gak bakalan lagi bikin ulah disini" jawab yayan dengan nada gemetar.
"yawes. sono pergi bawa temenmu ini. cemplungin kali juga sadar tuh badak. sono hush hush" usir arta.
yayan membopong temannya lalu pergi menjauh.
"titip salam ya buat bosmu ya. bilang ntar sore ku telpun. mo nostalgia ama ayam bakar" teriak arta sambil melambai ke arah yayan.
"ampun kang. jangaaaan... ampuuunnn..." jawaban yayan yang berteriak dengan nada gemetar ketakutan seakan-akan sosok yang ada didepannya adalah malaikat maut yang siap menjemputnya kapan saja. lalu ia berlari sekuat tenaga sembari memboyong kawannya yang masih tak sadarkan diri.
kerumunan yang tadi padat perlahan mulai bubar. keadaan mulai normal seakan tak pernah terjadi apapun di tempat itu.
arta mendekati rahman lalu menyodorkan tangannya memberikan bantuan.
"kamu gak pa pa kan vroh?" tanya arta dengan nada gaul.
"oh gak apa apa kok mas" jawab rahman lalu ia mencoba berdiri dengan sisa kekuatan yang dimilikinya. "aarrgh.. ahk.." desah rahman sembari memegang perut.
"gak pa pa kok gitu ekspresinya. hemm.. sini-sini biar ku bantu" arta memegang tangan rahman lalu diangkatnya sekali angkatan lalu membopongnya. "kita ke warung mbok jah dulu, istirahat bentar. sekalian nengok anak kecil yang tadi dipukuli ama kunyuk tadi." tambah arta.
"lho? jadi? anak tadi masnya yang...?" belum sempat rahman menyelesaikan pertanyaannya arta berkata.
"udah jalan dulu. ntar cerita ma kenalannya kalo udah nyampe warung."
"oh iya kita belum kenalan. kenalin mas nama saya.. aduh duh duh duh..." arta menarik tangan rahman sembari berjalan, seakan paham dengan kode arta, rahman pun diam lalu berjalan tertatih tatih di
gendongan arta.
sesampainya di warung, arta dengan perlahan mendudukkan rahman. lalu ia memanggil pemilik warung. "mbook.. mbook jah.. laporan mbook." teriakan arta memecah heningnya pasar tradisional di pemukiman kali ciliwung siang itu. seakan ada keanehan rahman terlihat keheranan dengan teriakan arta. sambil melihat arta ia pun bertanya "lho mas bukannya.."
"oi ada apa? brisik buanget bisa gak sih pelan-pelan ngomongnya? meski jauh masih denger inyongnya. inyong lagi masak di dapur. kenapa? mo ngutang lagi??" kata - kata khas kota tegal memotong perkataan rahman.
"ini lho. aku mau laporan. kalo tadi ada preman.." seakan tak memperhatikan, pemilik warung tadi justru beralih ke rahman yang terlihat babak belur.
"lho mas rahman kok bisa babak belur begini?? kenapa? di bully?? ma sapa? kasih tahu mbake biar nanti arta yang urus"Â
"asem ig. orang lagi laporan malah di cuekin. mana aku pula yang disuruh ngurus. dame yu madapaka" umpatan lucu logat semarangan dicampur melayu ala upin ipin dari arta yang merasa dicuekin oleh pemilik warung terucap mulus tanpa sadar. membuat anak kecil yang dari tadi asik makan tertawa lepas. membuat arta dan rahman terkaget karna tak menyadari bahwa di dekatnya ada anak kecil dengan pakaian lusuh compang camping. wajah lebam anak itu terasa nengiris qalbu saat bibir mungilnya tersenyum dan tertawa.
"hadeeh malah diketawaain ma anak kecil" ujar arta "udah itu makanannya di habisin dulu. jangan ketawa terus" tambahnya sedikit kesal.
"oh iya kita belum kenalan mas. kenalin nama ku rahman supratman saya tinggal di rumah susun sebelah sana" ucap rahman sambil menunjuk ke arah sebuah rumah susun tak jauh dari tempat mereka berada.
"namaku..." niat arta berkenalan namun dipotong oleh pemilik warung.
"namanya Arta cemeng, si tukang rayu, ahli utang" kata sang pemilik warung.
"ish. ini apaan tha? dari radi motong ucapan molo. mending potong bebek angsa aja dah, trus masak di kuali." ucap arta sedikit kesal.
"ya ampun lupaaa. opor ayamnyaaaaa!!!." teriak pemilik warung dengan tangan yang memegang dahi pertanda lupa dengan suatu hal lalu dengan panik ia berlari ke dapur.
"nah lo. opornya gosong. wakakakaka" tawa arta kegirangan. " oke. udah gak ada yang ganggu. kenalin namaku arta cemeng sang pengelana. rumah ku adalah tempat dimana aku bisa tidur. dimanapun itu asal nyaman dan bisa buat tidur brarti itu rumahku" arta mengenalkan dirinya.
"aku ucil. rumah ku di belakang pasar." tiba-tiba suara lirih kecil terdengar dari balik tubuh arta.
arta dan rahman menoleh kesumber suara.
"nggak nanya" seru arta kesal "udah makannya? mo nambah gak?" tanyanya.
"udah om. boleh nambah ya? kalo bungkus boleh?"ujar si ucil bertanya.
"yaudah sono. minta bungkus"
"mbook bungkus nasi opor satu ya! kalo bisa bagian sayap." teriak ucil lantang.
"buat ibuk dirumah ya cil?" teriakan dari dapur terdengar kecil.
"iya mbok" jawab ucil lantang.
"bentar ya.."
arta melirik ke arah rahman yang sedari tadi nampak sibuk mengecek dompet dan tasnya.
"ada yang hilang?" tanya arta.
"enggak mas" jawabnya.
"dicek lagi siapa tahu ada yang ilang." tanya arta memastikan.
"udah mas. smua lengkap kok. cuman..."
"kenapa? cuman apa?? bilang aja ntar ku bantu. tenang ane ikhlas tanfa syarad" tanya arta curiga sekarang dengan logat arab.
"laptop satu satunya" rahman mengambil laptop dari dalam tas. lalu menaruhnya di atas meja.
"kenapa laptopmu? rusak?" tanya arta sambil mengecek laptop.
"iya mas. padahal bahan skripsi ku disini smua. sekarang, hilang sudah impian wusuda awal. kalo beli lagi duitnya gak ada. uang ku dah abis buat bikin skripsi " perkataan rahman yang dalam dengan nada bergetar bukan karena sakit yang ia rasakan, namun putus asa yang dalam yang membuatnya begitu. pupus sudah harapan rahman wisuda awal dan bertemu dengan pengasuhnya.
"oh. ini mah keciiiiil. bentar ya..." ucap arta menenangkan. kini arta nampak mengambil tas lusuhnya. membukanya, lalu mencari-cari sesuatu.
"ini pesananmu cil" sebuah kata yang terdengar dari balik meja makan memecah suasana.
"makasih mbok. smuanya di bayarin ma om bewok. tadi dia bilang gitu." jawab ucil. suara kecil nan lirih gemetar. seakan menahan rasa sakit yang sangat hebat. rahman menyadari bagaimana rasa sakit yang dirasakan anak kecil tersebut. ia pun tak sanggup membayangkan rasa sakit yang ia sendiri tak kuat menahan, dirasakan oleh bocah yang bila hidup secara normal duduk di bangku sekolah dasar kelas 3 itu. namun apalah daya kondisi ekonomi memaksa si ucil harus hidup dikerasnya ibukota. ia pun membayangkan jika ia tidak dibantu oleh orang yang mengasuhnya. ntah apa yang terjadi padanya. mungkin akan sama dengan cerita hidup di ucil, mungkin juga lebih keras dan lebih pedih itulah yang ada dipikirannya. kini ia termenung, bersyukur akan keberuntungan yang didapatnya.
"tenang aja man. percaya aja ma si tukang utang ini meski di utangnya jarang dibayar. tapi kalo udah serius gak ada yang gak bisa dia lakukan. mending sekarang makan dulu. mau opor apa rames? apa mau yang lain? pilih aja" ucap pemilik warung menenangkan.
"eh iya mbak tika. lho tadi si ucil kemana kok udah gak ada? tanya rahman.
"udah balik. buruan pesen apa, mumpung masih pada anget"
"aku pesen rames ama kopi lelet hitam panas" tiba - tiba arta berucap dengan kondisi yang sama, masih mencari sesuatu di dalam tasnya.
"ih. yang ditanya siapa. yang jawab siapa." gumam tika.
"ha ha. udah udah mbak, gak perlu emosi. aku pesen rames telor ama es teh manis, kayak biasanya. tapi ngomong-ngomong kok mas arta manggil mbak pake sebutan mbok jah ya?!"
"tanya ma orangnya tuh" jawab tika sembari pergi ke dapur menyiapkan pesanan.
"gimana mas...?" tanya rahman ke arta.
"apanya?"arta balik bertanya dengan expresi polos sambil masih sibuk mencari sesuatu di dalam tas. "nah ketemu juga" ucap arta terlihat senang. terlihat sebuah handphone model lama keluar dari tas lusuh itu. kemudian arta memencet beberapa tombol lalu mulai menempelkan handphone tersebut ke telinganya, nampaknya ia menelefon seseorang.
"hallow" terdengar suara jawaban dari seberang telepon, lirih dan hampir tak terdengar.
"oi hallo. gimana vroh kabarnya?" tanya arta basa basi.
"oke, baik juga kok, woles. gini.. iya.. oh udah laporan? kalo gitu agak mudah jelasinnya.. iya..temen gwa nih. cuman laptop kok. kasihan buat skripsi. huum. bisa? kapan? oh oke.. siph. klo bisa sih secepatnya. okok.. thanks vroh.. oke.. byee. siang juga." percakapan arta dengan seseorang lewat telepon membuat rahman merasa heran, dan semakin penasaran siapa sebenarnya sosok pemuda yang ada didepannya ini. tampilannya yang seperti tuna wisma namun memiliki handphone. serta dari nada bicaranya seperti tidak ada yang tidak mungkin baginya.
"nah masalah laptop beres. lusa ada acara gak?" tanya arta sembari menjelaskan bahwa laptop yang rusak itu bukanlah sebuah kendala hidup. dan handphone yang digunakannya tadi, kembali masuk kedalam sarangnya, tas yang lusuh.
"gak ada mas, kenapa?" jawab rahman
"kalo gak ada lusa ikut aku ke tempatnya vilius. ambil laptop baru sambil mindah file yang ada disitu" tegas arta sambil menunjuk ke arah laptop milik rahman yang sudah rusak itu.
"gimana? bereskan?" ucap tika yang muncul tiba-tiba sambil menyodorkan pesanan rahman. membuat arta kaget.
"astajim. bikin kaget aja. lho pesanan ku mana?" tanya arta heran.
"kamu puasa ajah. paling ngutang lagi. tadi ucil abis 35ribu udah ku masukin je buku bond punya mu ." ujar tika menegaskan.
"Ya Allah..... paringono wareg ya Allah" keluh arta dengan logat semarangan.
"ha ha.. jangan gitu mbak. mas arta dah nolong aku dari hantaman para preman, juga udah bantu nyari laptop baru. kasih aja. biar aku yang bayar. sama punyaknya si ucil juga." pinta rahman.
"heh jangan. ntar ketagihan dianya. minta nambah." jelas tika.
"udah gak pa pa" tegas rahman.
"alkhamdulillah. ini beneran tha? makasih ya.. emm.. sapa tadi namanya? batman? norman? parman??" ucap arta.
"kan kumat penyakitnya. bentar lagi pasti ngasih nama gak jelas" ucap tika menjelaskan.
"rahman mas" jawab rahman.
"oh paiman" ujar arta.
"kaaaaan. beneeeerrr, kumaaat" teriak tika dari dapur.
"opo sih. krungu wae, padahal yo aduh lho jarak'e" logat semarang keluar lagi.
"ha ha ha.. mas ini ada ada aja.." gelak tawa rahman cairkan suasana panas siang itu.
dan merekapun menikmati santap siang hari itu.
ucil pulang dengan senyum ceria. meski sesekali ia berhenti sejenak melepas lelah, rasa sakit akibat pukulan para preman beberapa waktu lalu masih terasa sangat dahsyat bagi anak sekecil itu. muka lebam dan beberapa bagian tubuh yang tampak biru sesekali ia tutupi dengan tanah. berharap ibunya tidak mengetahui apa yang terjadi. sampai akhirnya ia berhenti di depan pintu sebuah gubuk kecil, tepat dibelakang pasar dimana banyak sampah berhamburan. bau sampah yang membusuk sangat menusuk indra penciuman. namun ntah mungkin karena tebiasa atau mungkin memang dipaksakan, ucil nampak tenang melaluinya. lalu ia masuk kegubuk tersebut dengan tawa riang karena hari ini ibunya bisa makan enak.
"buk.. ibuuk.. aku pulang buk.. tadi ada om - om yang baik hati mamberiku nasi bungkus dari warung depan" teriak ucil memanggil ibunya. namun jawaban dari sang ibu yang di harapkannya belum juga muncul.
"buuk? ibuk dimana?" dengan wajah curiga ucil mencari ibunya dikamar. namun apa yang dilihatnya membuat nasi bungkus yang di bawanya jatuh.