Mohon tunggu...
D Asikin
D Asikin Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi menulis

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengungkap Keraguan terhadap Akurasi Lie Detector

8 September 2022   07:04 Diperbarui: 8 September 2022   07:11 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyidik kasus pembunuhan brigadir Yoshua kini memasuki tahap baru. Pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka dengan menggunakan alat polygrafh bernama Lie Detektor. Deteksi kebohongan.

 Tentu lantaran pemeriksaan secara konvensional belum menemukan fakta optimal. Masih ditemui ada keganjilan atau kontradiksi diantara satu dengan lain.

Saya tak perlu mengurai lebih detail tentang apa itu Lie Detektor. Teman saya kemarin sudah mengungkap secara detail tentang alat pemeriksaan kasus kejahatan yang agak rumit itu.

Saya ingin mencoba mengunggah pendapat beberapa orang tentang akurasi alat itu. Seberapa besar manfaat dan mudharatnya. Ditambah sedikit tentang sejarah penemuan alat itu sejak akhir abad 19.

Keputusan penyidik menggunakan alat itu antara lain didorong oleh Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lengkapi). Tak lain untuk mengungkap secara optimal kebenaran kasus itu, kata Direktur eksekutif Lengkapi Edi Hasibuan.

 Tapi Irjen pol (Purn) Aryanto Sutadi tidak begitu setuju penggunaan alat itu. Kata mantan Kepala Divisi Humas Polri itu, alat itu tidak akan efektif jika digunakan kepada orang yang sudah biasa berbohong.  Mantan Kapolda Riau itu menyampaikan hal demikian pada acara YouTube bertajuk Polisi oh Polisi tanggal 2 Agustus 22.

Orang-sudah biasa berbohong bisa mengatur tekanan darah, denyut nadi, normal, sehingga dia dianggap jujur (no decepticon indicated). Sebaliknya orang yang tidak biasa berbohong mungkin ketika kabel kabel detektor dipasang di dada dan tangan, dia mengalami gugup atau stress sehingga nafas dan denyut nadinya berdegup kencang. Dan ia bisa dinyatakan berbohong.

Sejak dikembangkan oleh psikiater Dr. John Larson atas dorongan Departemen Kepolisian Berkeley tahun 1921, memang mesin polygrafh itu masih harus dibantu oleh kepiawaian pemeriksa (examer), tak hanya mengandalkan kemampuan mesin polygrafh semata.

Pendapat  Aryanto itu sejalan dengan Komjenpol Purn Ito Sumardi. Menurut mantan Kabareskrim itu akurasi Lie Detektor hanya berkisar antara 60 sampai 70 %. Acuannya harus diatas 90 %.

Menurut Ito di kanal Yu tube Refli Harun, 6 September 22, negara maju juga banyak yang tidak terlalu percaya pada kecanggihan alat itu. Masih kata dia, sebenarnya dalam pasal 184 KUHAP alat bukti yang syah dalam sebuah perkara adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa/tersangka. Lie detektor sebaiknya tidak terlalu digunakan sebagai acuan. Kecuali itu dibacakan seorang ahli atau psikolog di depan sidang.

Ada cerita di Amerika tahun 1980 seorang mahasiswa yang diduga memperkosa teman kuliahnya, diperiksa dengan menggunakan LD (Lie Detektor). Rupanya dia sedang dilanda gugup dan stress. Hasilnya dia dianggap berbohong dan dihukum 17 tahun penjara. Ia  dibebaskan lagi setelah 6 tahun mendekam lewat pemeriksaan DNA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun