Mohon tunggu...
Diana Rahmawati
Diana Rahmawati Mohon Tunggu... -

Penyuka Wisata Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengeja Aksara Cinta

17 September 2012   10:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tengah hari baru saja berlalu. Tapi cuaca begitu redup, awan kelabu menggelayut di langit sebelah timur.  Udara dingin menyusup melalui sela-sela daun mangga di halaman.  Aku berjalan hilir mudik dari kamar, ruang tamu lalu ke beranda. Begitu berkali-kali, tapi tak juga tahu harus melakukan apa. Perasaan ini makin gelisah ketika pandang mataku menangkap rintik-rintik air turun dari langit.  Dua jam berlalu sejak dia pergi. Teringat kembali kata-katanya tadi, "Terserah?.... Ok!"  Dan dia berlalu begitu saja, meninggalkanku yang menatapnya nanar.  Permasalahannya sekarang bukan lagi pada soal dia akan kemana, tapi karena aku tak tahu kapan dia akan pulang. Nanti malam, esok ataukah.... Ah, jangan-jangan dia tak kan kembali!? Hatiku ciut, perasaanku mulai kacau dan pelupuk mataku memanas.  Telah dua bulan kami menjadi pasangan, menikmati hari-hari di perantauan ini dan selama itu pula dia tidak pernah acuh padaku.  Kalaupun sedang jengkel atau tidak sreg dengan tingkahku biasanya dia cenderung diam dengan raut wajah datar.  Tapi hari ini sungguh berbeda. Hanya karena aku merajuk tidak membolehkannya pergi, dia jadi gusar. Barangkali aku juga keterlaluan sehingga membuatnya hilang kesabaran. Dengan halus ia minta ijin padaku tapi aku bersikukuh tak membolehkan.  Entah mengapa aku tidak suka dia akan pergi, aku pikir dia mementingkan dirinya sendiri dan kekanak-kanakan.  Aku bertanya dalam hati, masih pantaskah perilakunya itu? Sementara  kami akan segera menimang bayi. Yah, beberapa bulan lagi dia akan menjadi bapak.

Tiba-tiba kepalaku pening, perutku terasa mual dan pandanganku berkunang-kunang. Kuambil nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Sejenak pikiranku menjadi lebih tenang. Aku berharap suamiku segera datang. Setiap kali terdengar suara mesin motor mendekat, buru-buru aku melongokkan kepala, berharap dia yang muncul. Tapi 30 menit berlalu aku hanya mendapati anak-anak kost lain yang satu per satu menyapaku dengan sedikit heran, karena tidak biasa-biasanya aku duduk seorang diri di beranda.

Karena tak juga ada kejelasan kapan dia kembali, kuputuskan untuk menyeberangi jalan depan rumah kost. Takkuhiraukan gerimis kecil yang mulai membasahi pakaianku, aku bersikukuh untuk segera menemukan suamiku. Kususuri jalan setapak melewati tepi ladang penduduk menuju jalan besar di samping taman kota. Aku ingat di sana ada sebuah tempat penyewaan video PS yang cukup besar dan biasanya ramai. Sesampainya di sana, dari seberang jalan kuamati tempat itu dengan seksama. Mataku jeli menilik sudut demi sudut ruangan berukuran 5x5 meter itu. Tapi yang kulihat hanya bocah-bocah kecil dan beberapa remaja yang sedang asik dengan stick mereka, gemuruh dari peralatan elektronik itu terdengar hingga ke tempatku berdiri. Sesaat kemudian aku kecewa, yang kucari tak ada di sana.

Aku kembali berjalan. Kuputuskan untuk menyusuri jalan protokol kota kecil itu. Tentu saja tidak ada pilihan lain kecuali berjalan kaki, karena aku tak punya kendaraan pribadi  dan sayangnya tak ada angkutan umum yang lewat sana.  Rasa letih tak lagi kuhiraukan karena aku berpikir akan bisa menemui suamiku di persewaan Jl. Patih Rumbih beberapa saat lagi. Aku tidak akan menampakkan diri di depannya, aku terlalu malu untuk itu. Hanya ingin kupastikan suamiku ada di sana dan akan kutunggu di apotek ujung jalan hingga ia selesai dan kembali ke rumah kost kami. Sebenarnya kakiku mulai lemas, rasa nyeri  di sekujur kaki kiriku, yang mendadak hadir sejak kehamilanku, juga bertambah. Tapi rasa sendiri dan takut ditinggal pergi lebih menyiksa dari pada semua itu.  Kuseret langkahku semakin cepat ketika  menyadari kilat dan petir menyambar di langit sana. Barangkali sejak dari rumah kost aku telah berjalan lebih dari 3 km, tapi tekadku untuk menemukan suamiku agaknya mampu menepis derita kelelahan itu. Dadaku berdesir ketika kembali terdengar suara petir yang lebih kencang diikuti kilat menyambar. Aku menepi, menghambur ke dalam halaman sebuah gedung sekolah dasar. Kudekapkan kedua tanganku ke dada agar lebih nyaman dan hangat. Dalam hati aku meminta perlindungan pada Yang Maha Kuasa agar menjagaku dan bayi dalam rahimku. Kuelus perutku, bulir-bulir air mata jatuh takterbendung lagi. Kubisikkan lirih kata-kata dari bibirku yang gemetar, “Kamu harus kuat Nak,… jangan sampai kenapa-kenapa denganmu!” . Tiba-tiba saja hujan mereda, langit menjadi agak cerah. Dari jauh kulihat sebuah motor berbelok dari arah Jl Patih Rumbih. Hatiku lega begitu melihatnya mengendarai motor bersama Danang, kongsinya bermain PS. Mereka melaju menuju rumah kost kami. Aku bergegas pulang, dan langkahku menjadi lebih ringan. Setibanya di kost aku buru-buru menuju kamar, membuka pintu perlahan dan mengintip ke dalamnya. Namun ruangan itu kosong.  Bagai orang kebingungan, satu per satu ruangan di rumah itu ku jelajahi. Ruang tengah, dapur, belakang rumah dan teras atas. Hasilnya nihil. Sepi….
Aku berlari kembali masuk ke dalam kamar, menghempaskan tubuh. Aku menelungkup dan menangis tersedu-sedu. Aku berpikir, kenapa bernasib seburuk ini. Ingin rasanya berlari jauh ke pelabuhan sana, naik kapal dan kembali ke Jakarta. Tapi itu pun tak mungkin kulakukan karena tak ada kapal yang singgah di dermaga hari itu. Aku menjadi sangat putus asa, mengapa suamiku tega berbuat demikian. Bukankah dia sangat menyayangiku? Ataukah sekarang tidak lagi…. Sejenak hadir sesal dalam hatiku. Untuk apa aku mengikutinya merantau ke tempat itu? Jauh dari orang tua dan sahabat-sahabatku di Jawa. Sementara kota itu begitu sepi, tak ada keramaian yang menggembirakan hati. Tak ada teman untuk berbagi, aku hanya punya dia seorang dan dia tega meninggalkan aku.  Bahkan di saat aku sedang mengandung anak kami. Air mataku mengalir kian deras, kelopak mataku mulai bengkak. Saat itu kusadari hari mulai gelap. Aku enggan beranjak, hanya berbaring malas. Mendadak bagai dirasuki arwah jahat aku berdiri, meraih benda-benda di sekitarku dan melemparkannya ke tembok. Semua berantakan dan aku kembali menangis sambil tengkurap di atas tempat tidur.

Saat hampir terlelap kelelahan, kudengar suara derit pintu dibuka. Kudengar suaranya memanggilku…”De’….!!! “ Dia melangkah masuk dan terkejut mendapati seisi kamar kacau balau bagai kapal pecah “Wah, koq berantakan…. Marah ya??? “ suaranya rendah setengah berbisik.

Jantungku berdesir saat kurasakan tangannya menggamit lenganku. “Maaf ya…,” ucapnya lirih. Aku hanya diam menahan tangis. Dia seperti terkejut saat menyentuh tubuhku,” Koq dingin banget, dari mana tadi? Kamu kenapa?”, dia bertanya dg nada cemas. Dia beranjak lalu kudengar dia mulai merapikan isi kamar. Setelah itu dia keluar untuk waktu yang agak lama. Hatiku lega karena dia telah kembali, tapi di sisi lain aku masih sakit hati dengan kejadian tsebelumnya. Aku tetap diam dan pura-pura tidur walaupun perutku mulai perih menahan lapar. Aku bertekad tidak akan bangun hingga malam, hanya akan diam. Mungkin aku ingin menghukumnya, aku ingin dia merasa bersalah.

Saat masih penasaran menerka-nerka yang sedang ia lakukan, aku mendengar langkahnya mendekat. Kudengar seperti  sesuatu di letakkan di meja kecil samping tempat tidur. “De’… bangun yuk!”, dia berkata lirih sambil tangannya mengusap-usap kepalaku. Aku mulai tersedu, tubuhku mulai tak bisa berpura-pura tidur. Dia mengangkat  dan mendudukkanku di sampingnya. "Maafkan aku ya De'...!", dia kembali minta maaf sambil menatap mataku dalam. Sorot matanya sendu,  menyiratkan rasa sedih dan sesal. Dia usap air mataku lalu  memelukku. Aku masih saja menangis dan dia menjadi bingung. Lalu  seperti mengingat sesuatu, dia melepaskanku dan meraih mangkuk dari atas meja. “ De’ , maem dulu ya, ini aku bikin sendiri loh...” , katanya sambil menyodorkan semangkuk mie instan rebus ke hadapanku . Tanpa menunggu lama dia menyuapiku sambil sesekali tersenyum menatap wajahku. Mendapatkan perlakuan semanis itu tangisku kian menjadi dan dia makin bingung. Aku mencoba menikmati mie instan rebus itu diantara isak tangis. Tangis haru dan bahagia…. Hidangan itu rasanya enak sekali. Mie instan rebus lengkap dengan sawi hijau, suwiran daging ayam dan telor setengah matang.  Sementara suamiku masih kebingungan melihatku belum berhenti tersedu. Kulihat matanya berkaca-kaca. Lirih mulutnya berucap , “Masih marah ?... belum bisa maafin aku ya?" Aku berusaha menyusut tangis, dan lebih fokus menikmati makanan paling lezat sedunia itu. Saat itu mataku bengkak, wajahku basah oleh air mata tapi hatiku berbunga-bunga. Semangkuk mie rebus pun ludes tanpa sisa. Dihapusnya sekitar mulutku dengan selembar tissue sambil dia sedikit tersenyum. Setelah itu dia sodorkan secangkir teh manis hangat, kutiup dan kuhirup perlahan. Manisnya sungguh pas. Aku mencoba mencuri pandang ke arah wajahnya ketika dia tengah sibuk membenahi peralatan makanku. Ada senyum teduh di sana. Melihat itu serasa seisi dunia tersenyum padaku. Dan aku tak perlu lagi mempertanyakan perasaannya padaku, karena dia telah mengungkapkan bahasa cintanya dengan aksara yang sangat indah.

#menyambut "10th anniversary", kudedikasikan untuk sahabat terbaikku, suamiku tercinta. Terimakasih atas cintamu yang begitu besar,....
terimakasih untuk mengajakku berpetualang dan mendewasa bersama# I luv U

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun