Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengendara Motor, Penguasa Jalan Raya

9 September 2011   08:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengendarai sepeda motor, sebuah pengalaman yang mendebarkan. Bukan hanya karena harus kembali belajar menyeimbangkan diri di atas kendaraan roda dua yang melaju, tapi juga karena kondisi jalan beserta pengguna yang beragam sifat dan kepentingannya. Belajar dari seorang teman kuliah yang biasa memboncengku, seorang ‘penguasa jalanan’, aku bisa mengendalikan kendaraan ‘bergigi’ empat itu. Darinya aku belajar berbagai tips & trik bersepeda motor, walaupun kemudian aku lebih sering bermobil.

Bersepeda Motor Tertib

Walaupun tak memiliki sepeda motor, aku tentu mengantungi lisensi untuk berkendara di jalan raya. Ketika aku membuat SIM C beberapa tahun lalu, regulasi di kepolisian belum seketat saat ini. Walaupun demikian, aku berkeras untuk membuat SIM dengan jalur biasa, tanpa campur tangan calo. Aku tak memakai jalur ‘khusus’ yang tentu saja harus membayar kompensasi dengan ‘harga khusus’ pula. Tes tulis yang kujalani rasanya tidak begitu aplikatif di jalan raya, tapi alhamdulillah, dengan sedikit tebak-tebak buah manggis, aku lulus tes tertulis. :)

Lisensi resmi yang kumiliki membuatku makin percaya diri saat mengendarai sepeda motor di jalan raya. Selain membawa kelengkapan administratif, aku pun selalu melengkapi diri dengan helm standar dan jaket. Ini bukan merupakan tindakan prefentif agar merasa aman saat berpapasan dengan polantas, tapi dengan pertimbangan agar nyaman saat berkendaraan. Jaket melindungi badan dari angin, sedangkan helm -terutama yang berkaca- akan melindungi mataku dari terpaan angin dan polusi udara di jalan, juga rintik gerimis. Sesekali, saat menempuh jalur yang cukup jauh, aku akan mengenakan masker dan sarung tangan.

Dalam satu kesempatan bermotor dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, di jalur padat jalan Rajawali Bandung, aku mengarahkan motor yang kukendarai memasuki pertemuan dua arus kendaraan. Takut dan ragu karena jarang bermotor, aku sangat tertib menunggu arus lalu lintas sedikit lengang. Tapi di jalan, orang sabar tak akan kebagian. Maka seorang pengendara motor di belakangku menyarankan aku untuk mencuri peluang, menyelip di antara puluhan beragam jenis motor di jalan itu. Akhirnya aku berhasil juga menyelinap sambil tetap menyeimbangkan motor pinjaman yang kupakai saat itu untuk kembali ke jalan yang benar. Lega.

‘Berurusan’ dengan Para Pengendara Sepeda Motor

Bukan perkara mudah berkendaraan di jalan raya, terutama dengan situasi saat ini di mana sepeda motor ada di mana-mana. ‘Hanya’ bermodalkan 500 ribu rupiah per bulan, kendaraan ini sudah bisa dibawa pulang. Relatif ringan bagi yang mau dan mampu menyisihkan, tanpa perlu menunggu tabungan hingga berjumlah jutaan.

Pengguna sepeda motor pun sudah tidak didominasi oleh orang dewasa. Anak-anak sekolah dasar sudah banyak berseliweran membawa kendaraan ini, dengan ataupun tanpa didampingi orangtua. Sikap mereka yang relatif baru belajar dengan pola pikir yang belum berkembang optimal membuat anak-anak muda ini melajukan kendaraan mereka kadang tanpa berpikir matang yang kemudian akan membahayakan tidak hanya diri mereka sendiri, tapi juga orang lain. Pernah kulihat anak-anak kecil ini saling membonceng dengan dua hingga empat penumpang di sadel sepeda motor. Mengerikan...!

Jalan raya dipadati oleh pengendara sepeda motor yang kadangkala tak lagi memperhatikan aturan lalu lintas yang selayaknya dipatuhi. Di kanan dan kiri mobil yang kukendarai, pengendara motor menyalip sesuka hati mereka, bahkan tak jarang melintas di depan mobil, mencari celah di antara mobil yang kukendarai dengan mobil di depanku. Jarak sempit yang kuantisipasi sebagai jarak aman dimanfaatkan secara ‘optimal’ oleh para pengendara motor itu. Ketika aku menginjak pedal gas perlahan untuk mempersempit jarak tersebut selain menjauh dari mobil di belakang, tak jarang aku mendapatkan pandangan sengit dari (biasanya) pemuda di belakang setang.

Satu pengalaman yang membuat berbagai perasaan campur aduk saat ‘berurusan’ dengan salah satu pengendara motor kudapat di suatu pagi ketika jalanan teramat padat. Di kanan-kiri, para pengendara motor berlomba meraih kesempatan untuk melaju, mendahului. Dari kaca spion kanan, aku menangkap ekspresi ‘aneh’ seorang pengemudi ibu muda di atas sepeda motor yang tertinggal di belakangku. Dia mencoba mensejajariku di arus lalu lintas yang merayap pelan. Kubuka kaca jendela untuk mendengar apa yang ingin diucapkannya. “Ibu... tadi kaki saya ketlindas ban mobil ibu,” ucapnya sambil meringis. Spontan aku menanggapinya dengan pernyataan maaf. Tanpa mempermasalahkan kejadian itu lebih jauh, dia melaju mendahuluiku sambil mengibas-ngibaskan kaki kirinya, berupaya meringankan rasa sakit. Mungkin ujung sepatunya terjepit ban kendaraan yang kukemudikan sehingga menghimpit jari-jari kakinya saat dia berhenti di ruang sempit tepat di sebelah mobilku. Wah, salahnya sendiri, siapa suruh kakinya menyilang di lajur yang dilintasi ban mobilku. Aku yang tadinya terkejut, iba, jadi agak kesal tapi kemudian geli sendiri. Maaf ya...

Kejadian awal bulan Desember saat banjir melanda Bandung Selatan membawa pengalaman tersendiri dengan para pengendara sepeda motor itu. Aku sudah mempersiapkan diri dengan berangkat lebih pagi hari itu, untuk mengantisipasi padatnya ruas jalan yang biasa kulewati setiap hari. Jalur itu adalah ruas jalan alternatif saat jalur angkot terendam banjir. Tapi tak kusangka jalanan akan sepadat itu. Sekitar 2 km dari titik macet yang biasa, antrian kendaraan sudah mengular, sementara pengendara sepeda motor mengambil kesempatan untuk mengambil jalur kanan yang terlihat sepi karena arus lalu lintas dari arah berlawanan terlihat lengang. Satu-dua sepeda motor perintis kemudian diikuti oleh puluhan lainnya hingga memblokir jalan. Pada awalnya mereka mungkin berpikir akan bisa menyelip di sela-sela kendaraan untuk mengambil kesempatan menembus kemacetan, tapi akhirnya terjebak sendiri karena kelihatannya tidak ada yang mau mengalah. Entah apa yang membuat jalanan jadi macet total, tapi mobilku betul-betul tak bisa bergerak selama lebih dari satu jam! Sementara laju motor pun merayap hingga beberapa pengendara motor ‘menyerah’ dan menepikan kendaraannya di tepi jalan, beristirahat sambil melihat-lihat situasi.

Ketika akhirnya polisi berhasil datang ke lokasi macet untuk mengatur arus lalu lintas, kusempatkan mengambil gambar dari situasi ‘chaos’ itu dalam satu-dua bidikan. Dari lembah di antara dua jembatan di atas sungai Citarum, sejauh mata memandang, jalanan dipenuhi pengendara sepeda motor. Sudah tak jelas lagi mana yang ke arah depan, mana yang ke arah sebaliknya. Satu-dua bus dan truk terlihat menyembul di antara lautan helm itu.

Kurasa, situasi jalanan tak akan separah itu jika saja semua pihak mau sedikit bersabar menunggu giliran dan tertib di lajur jalannya sendiri. Kapan ya pengguna jalan di Indonesia akan mencapai tingkat ketertiban seperti itu? Masa itu sungguh kunantikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun