Darinya aku belajar banyak hal, dengan cara yang menarik pula! Â Sebuah perayaan yang dikhususkan untuk anak perempuan biasa dirayakan orang Jepang di sekitar musim semi dengan nama Hinamatsuri. Dalam kesempatan itu, rumah-rumah di Jepang berhias dengan memajang boneka-boneka cantik berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya berpasangan, laki-laki dan perempuan, seperti loro blonyo di Jawa.Â
Dalam kesempatan makan siang itu, aku dan karibku Barbara datang ke rumahnya dan menikmati santapan nasi berbalut telur dadar yang dibentuk menyerupai sosok boneka manusia. Lucunya...
Di kuil tersebut, Eriko-san menjelaskan berbagai hal. Mulai dari cara memulai doa di depan pintu kuil dengan tepukan tertentu (yang tentu saja tak perlu kulakukan), membunyikan lonceng kuno, memutar roda antik besar yang biasa dilakukan para biksu jaman dulu, melempar koin ke dalam kolam keberuntungan, mengambil omikujiatau kertas ramalan (yang hanya bisa dilakukan di awal tahun), dia juga menceritakan kebiasaan di malam tahun baru untuk bersama-sama membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali yang merupakan perlambang banyaknya dosa manusia yang harus dihilangkan.Â
Banyaknya.... Tapi mungkin memang dosa kita teramat banyak, yang secara sadar atau tidak sudah kita lakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Awal tahun merupakan momen yang tepat untuk mengingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Ah... sungguh filosofi yang agung.
Beberapa filosofi tradisional Jepang yang mewarnai kehidupan mereka hingga saat ini memang masih terasa kental dan tak lekang oleh zaman, walaupun kemajuan teknologi telah terserap hingga ke pelosok-pelosok.Â
Sungguh suatu perpaduan yang harmonis antara tradisional dan modern, dua titik ekstrim yang sepertinya bertolak belakang. Melihat pada bangsa sendiri, saat ini rasanya sudah banyak keluarga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai tradisional dan berpaling ke barat yang kemudian dianggap sebagai budaya tinggi untuk kemudian ditiru. Tak bisakah kita seperti orang Jepang, yang berhasil memadukan nilai timur dan barat secara harmonis. Bukan suatu hal yang mustahil, kurasa.
Pada malam sebelum kepulanganku ke Indonesia, Eriko-san berkeras untuk mengajakku menginap di rumahnya yang relatif baru selesai direnovasi. Niatan untuk mengundangku menginap di rumahnya sebetulnya sudah cukup lama dia sampaikan, tapi berhubung rencana renovasi rumahnya yang cukup memakan waktu, niat itu tak kunjung terealisir sampai hari terakhir sebelum pesawat JAL membawaku pulang kembali ke Indonesia.
Hari terakhir itu aku masih sangat sibuk membenahi barang-barangku. Rupanya tidak cukup waktu untuk membenahi semuanya sendirian, di sela-sela kesibukanku menulis perbaikan laporan yang harus kuserahkan kepada sensei, 'pesta-pesta perpisahan' dengan teman-teman, menyortir segala barang dalam apartemen dan sebagainya.Â
Ah... Eriko-san dengan segala keramahan dan totalitas khas orang Jepang membantuku menyelesaikan permasalahan packing itu dan kemudian membawaku ke rumahnya yang nyaman untuk menikmati malam terakhir di Jepang.
Dini hari, kembali Eriko-san membawaku menembus dinginnya udara pagi serta lengangnya lalu lintas kota Maebashi menuju pemberangkatan bus yang akan membawaku ke Bandara Narita, untuk kemudian kulanjutkan perjalananku kembali ke Indonesia.Â