Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nihongo Hiroba dan Orang-orang Luar Biasa

25 November 2017   09:54 Diperbarui: 25 November 2017   10:59 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Muslim yang paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain" (Al Hadits)

"Diah-san, maukah bergabung di Nihongo Hiroba hari Jumat ini?" Undang Yashiro Sensei di awal masa belajarku di Universitas Gunma.

"Apa sih Nihongo Hiroba itu?"

"Ini kumpulan orang-orang Jepang yang secara sukarela mau ikut bersosialisasi dengan orang asing yang ada di Maebashi dan sekitarnya, terutama untuk membantu mempelajari dan menggunakan bahasa Jepang."

Aku tertegun. Rasanya belum mau ikut bergabung dalam kegiatan serupa itu, terutama karena kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat sangat payah, belum cukup percaya diri untuk bergabung dan berbaur dalam percakapan, informal sekalipun, dengan penduduk Jepang sejati. Aku ingat pengalamanku di hari-hari awal kedatanganku ke Maebashi, dan reaksi orang-orang sekitar. Tapi karena pertemuan itu diselenggarakan di ruang serbaguna asrama yang kutinggali, hm... apa salahnya? Toh aku tidak usah menempuh perjalanan panjang untuk hadir. Selain itu, Barbara pun berjanji akan hadir. Ah... bila ada teman begini, boleh juga-lah. Lagipula ... sensei sendiri yang mengundangku, selain aku pun belum punya acara di akhir pekan itu. Tak ada alasan untuk tak hadir, bahkan serasa difasilitasi. Baiklah... Aku pun hadir mulai pertemuan pertama itu.

Sekitar 20 orang hadir di sana, duduk melingkar dengan memakai name tag di dada kami masing-masing. Sesi berikutnya adalah perkenalan diri dan tanya-jawab singkat, terutama untuk kami yang notabene anggota baru di acara tersebut, selain anggota lama yang sudah lama pula tak bertemu. Setelah itu kami pun dipersilakan untuk menikmati penganan kecil dan minuman hangat yang dibawa oleh beberapa anggota pertemuan secara sukarela.

Pekan-pekan berikutnya, pertemuan dua pekanan itu jadi acara yang kunanti-nanti dan kujadwalkan rutin di agenda kegiatanku. Kegiatan yang variatif dalam pertemuan itu ternyata sangat menarik untuk diikuti. Games-games kecil diselenggarakan dengan tujuan untuk membuat kami semakin aktif menggunakan bahasa Jepang dan dengan demikian membuat kemampuan dengar dan bicara kami semakin meningkat. Shiritoriadalah permainan kata yang merangkaikan kata sebelumnya dengan kata berikutnya, yang kami lakukan secara bergantian. Misalnya, Ma-ta ---> ta-mu  ---> mu-ka ---> ka-ta ---> ta-ri, dan seterusnya. Dalam kegiatan ini kemampuan perbendaharaan kata sangat penting. Tentu saja ada pengecualian bagi kami orang-orang asing dalam mengikuti kegiatan ini. Bila untuk orang Jepang dibatasi waktu, kami diberi kesempatan untuk berpikir lebih lama. Jadi tertantang juga nih... Dalam pertemuan itu jugalah aku melakukan presentasiku yang pertama. Berusaha keras menjelaskan segala sesuatu tentang Indonesia dengan bahasa Jepang kepada audiens yang sangat sabar menanti bahkan menyemangatiku saat kesulitan untuk menjelaskan sesuatu karena keterbatasan perbendaharaan kata. Di forum itu aku belajar banyak, dan dengan cara yang menyenangkan pula, tanpa tekanan ataupun perasaan terpaksa. Lagipula, semua itu untuk kepentinganku sendiri, toh?

Serunya lagi, dalam forum itu kami pun belajar hal-hal lain mengenai kebudayaan Jepang. Kami ikut meramaikan perayaan Tanabata, sebuah perayaan bertemunya dua tokoh dalam legenda Jepang, mirip dengan kisah Jaka Tarub di Indonesia. Pada saat itu kami menghias pohon bambu dengan untaian kertas yang dibentuk dengan cantik, juga kertas berisi harapan kami, seperti yang dilakukan tokoh legenda itu sebelum bertemu kembali dengan bidadari yang menjadi istrinya. Ritual ini kuanggap sebagai penegasan atas harapan yang ingin kucapai, untuk memotivasi dan mendorong diri sendiri agar berusaha lebih keras untuk mewujudkannya.  

Mengamati orang-orang yang bergabung dalam komunitas itu juga tak kalah menariknya dibandingkan dengan mengikuti kegiatan dalam pertemuan itu sendiri.

Ada Ishii-san, seorang bapak tua yang memakai alat penyangga kaki dan tongkat akibat strokeringan yang dialaminya, terlihat masih semangat mengikuti setiap pertemuan. Dia bahkan mengendarai sendiri mobilnya! Wow... Tentu saja mobil tersebut sudah dimodivikasi sehingga lebih 'bersahabat' untuk dikendarai oleh orang dengan kekurangan seperti itu. Tapi sebetulnya beliau tidak begitu suka jika harus menggunakan area parkir khusus untuk handycapyang diperuntukkan bagi orang-orang seperti beliau di tempat-tempat umum yang ditandai secara khusus.

Yashiro Sensei adalah salah seorang penggerak pertemuan ini. Bekerja sama dengan salah satu divisi di Balai Kota, pertemuan ini kadang juga didanai oleh pemerintah daerah. Dari dana itulah kami mendapatkan material kegiatan, atau juga digunakan untuk membeli penganan kecil sebagi camilan di sela-sela kegiatan inti, walaupun tidak jarang juga acara dilakukan secara swadana dari para anggota yang betul-betul sukarela untuk mengikuti kegiatan ini.

Miyoko Izuka-san adalah seorang perempuan enerjik yang selalu terlihat penuh semangat. Dia dan Akemi-san kemudian menjadi kawan karibku yang juga sempat meluangkan waktu bersama untuk refreshing. Aku sempat mencoba nasi goreng ala Indonesia yang disajikan di restoran Bala-bala, tempat putrinya bekerja sebagai waitress. Menarik. Satu-dua kali, kami sempat juga menyanyi bersama di karaoke boks, hanya untuk seru-seruan. Sebetulnya bikin pusing juga, mengingat aku berusaha keras untuk menghapal beberapa lagu Jepang yang masih belum familiar untukku. 

Miyoko-san menyatakan bahwa selain kegiatan sukarela menghadiri Nihongo Hiroba yang mesti ditempuhnya dengan berkendaraan sekitar 45 menit bermobil dari tempat tinggalnya di Takasaki, dia pun masih rajin mengikuti kursus bahasa Inggris dengan pengajar seorang native speaker. Aku pernah pula diajaknya ikut serta dalam salah satu sesi pertemuan di tempat kursusnya. Kok boleh-bolehnya ya? Tapi itu adalah pertemuan yang menarik! Selain itu, dia pun mempelajari bahasa isyarat untuk tuna rungu! Ketika kami tanyakan alasannya, dia menyatakan bahwa dia ingin mengerti pembicaraan mereka, dan ingin pula dimengerti. Oh... subhanallah... Suatu empati yang mewujud.

Soal sumbang-menyumbang ini bukan hanya dominasi satu-dua orang saja. Satu wanita paruh baya lagi yang juga kukenal dari pertemuan itu adalah Sachie-san. Beliau menanam banyak benih bunga yang kemudian dia hibahkan kepada suatu yayasan tertentu, dan itu bukan bisnis! Dalam suatu kesempatan, aku pernah juga diundangnya ke rumahnya yang nyaman, membantu memindahkan benih-benih bunga kecil itu ke pot yang lebih besar, bersama seorang Australian yang merupakan anak asuhnya dan seorang Jepang lainnya. Setelah itu kami menikmati hidangan makan siang bersama beberapa kawan Sachie-san lainnya, yang juga melakukan hal yang tidak kalah bergunanya bagi orang lain, bahkan di masa tua mereka sekalipun!

Tentu saja tidak hanya orang tua yang punya jiwa sosial seperti ini. Kukenal pula Junko-san, seorang perawat profesional yang baru saja pulang dari Inggris dalam program voluntary. Memang dia mendapat tunjangan finansial selama berada di sana, tapi tetap saja titel voluntaryitu melekat dalam kegiatan yang dilakukannya. Tidak kalah mulianya.

Kita bisa saja mengatakan bahwa kebanyakan orang Jepang bisa melakukan hal-hal tersebut karena mereka sudah tidak dipusingkan lagi dengan urusan kesejahteraan perut, yang tentu berbeda benar dengan kondisi di Indonesia saat ini. Tapi tak urung, motivasi mereka untuk menolong, memberikan kontribusi bagi masyarakat, bahkan orang asing sekalipun, membuatku tak berhenti berpikir. Kita sebagai muslim, apa yang sudah kita lakukan untuk sesama, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat kita? Lagi-lagi aku dibuat malu dan kalah telak (!) oleh orang-orang Jepang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun