Yashiro Sensei adalah salah seorang penggerak pertemuan ini. Bekerja sama dengan salah satu divisi di Balai Kota, pertemuan ini kadang juga didanai oleh pemerintah daerah. Dari dana itulah kami mendapatkan material kegiatan, atau juga digunakan untuk membeli penganan kecil sebagi camilan di sela-sela kegiatan inti, walaupun tidak jarang juga acara dilakukan secara swadana dari para anggota yang betul-betul sukarela untuk mengikuti kegiatan ini.
Miyoko Izuka-san adalah seorang perempuan enerjik yang selalu terlihat penuh semangat. Dia dan Akemi-san kemudian menjadi kawan karibku yang juga sempat meluangkan waktu bersama untuk refreshing. Aku sempat mencoba nasi goreng ala Indonesia yang disajikan di restoran Bala-bala, tempat putrinya bekerja sebagai waitress. Menarik. Satu-dua kali, kami sempat juga menyanyi bersama di karaoke boks, hanya untuk seru-seruan. Sebetulnya bikin pusing juga, mengingat aku berusaha keras untuk menghapal beberapa lagu Jepang yang masih belum familiar untukku.Â
Miyoko-san menyatakan bahwa selain kegiatan sukarela menghadiri Nihongo Hiroba yang mesti ditempuhnya dengan berkendaraan sekitar 45 menit bermobil dari tempat tinggalnya di Takasaki, dia pun masih rajin mengikuti kursus bahasa Inggris dengan pengajar seorang native speaker. Aku pernah pula diajaknya ikut serta dalam salah satu sesi pertemuan di tempat kursusnya. Kok boleh-bolehnya ya? Tapi itu adalah pertemuan yang menarik! Selain itu, dia pun mempelajari bahasa isyarat untuk tuna rungu! Ketika kami tanyakan alasannya, dia menyatakan bahwa dia ingin mengerti pembicaraan mereka, dan ingin pula dimengerti. Oh... subhanallah... Suatu empati yang mewujud.
Soal sumbang-menyumbang ini bukan hanya dominasi satu-dua orang saja. Satu wanita paruh baya lagi yang juga kukenal dari pertemuan itu adalah Sachie-san. Beliau menanam banyak benih bunga yang kemudian dia hibahkan kepada suatu yayasan tertentu, dan itu bukan bisnis! Dalam suatu kesempatan, aku pernah juga diundangnya ke rumahnya yang nyaman, membantu memindahkan benih-benih bunga kecil itu ke pot yang lebih besar, bersama seorang Australian yang merupakan anak asuhnya dan seorang Jepang lainnya. Setelah itu kami menikmati hidangan makan siang bersama beberapa kawan Sachie-san lainnya, yang juga melakukan hal yang tidak kalah bergunanya bagi orang lain, bahkan di masa tua mereka sekalipun!
Tentu saja tidak hanya orang tua yang punya jiwa sosial seperti ini. Kukenal pula Junko-san, seorang perawat profesional yang baru saja pulang dari Inggris dalam program voluntary. Memang dia mendapat tunjangan finansial selama berada di sana, tapi tetap saja titel voluntaryitu melekat dalam kegiatan yang dilakukannya. Tidak kalah mulianya.
Kita bisa saja mengatakan bahwa kebanyakan orang Jepang bisa melakukan hal-hal tersebut karena mereka sudah tidak dipusingkan lagi dengan urusan kesejahteraan perut, yang tentu berbeda benar dengan kondisi di Indonesia saat ini. Tapi tak urung, motivasi mereka untuk menolong, memberikan kontribusi bagi masyarakat, bahkan orang asing sekalipun, membuatku tak berhenti berpikir. Kita sebagai muslim, apa yang sudah kita lakukan untuk sesama, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat kita? Lagi-lagi aku dibuat malu dan kalah telak (!) oleh orang-orang Jepang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H