Sejak kedatanganku di Jepang, was-was dan cemas, gelisah namun sekaligus gembira rasanya campur-aduk dalam dadaku. Aku gembira karena mendapatkan kesempatan untuk menjalani masa belajar di luar negeri tanpa harus memikirkan biaya yang harus kukeluarkan (aku toh mendapat beasiswa yang insya Allah cukup untuk biaya hidup sehari-hari). Was-was karena ini adalah hal yang pertama di keluargaku, dan sebagai pionir, aku hanya bisa bertanya pada kawan atau sesama anggota mailing list. Ini bukan hal yang biasa, karena sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara, aku biasa bertanya pada ketiga kakak perempuanku, dan mendapatkan berbagai info yang memudahkan langkahku menjalani berbagai hal.
Ketika aku mulai melangkah masuk gerbang sekolah lanjutan, aku bisa 'bercermin' dari kakak-kakakku. Aku bisa mendapat beragam info tentang guru favorit, cara 'berurusan' dengan guru galak, guru piket, ataupun cara bersosialisasi dengan teman dan kakak kelas. Ketika aku lolos seleksi Jambore nasional, aku bisa bertanya pada kakak sulungku yang pernah juga menjadi peserta Jamnas 8 tahun sebelum aku.Â
Ketika masuk kuliah pun aku merasa lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan kampus berkat beragam info dari kakak-kakakku yang memberitahu seluk-beluk cara belajar di kampus dengan sistem SKS-nya. Menyiasati kehidupan indekos pun kutiru dari ketiga kakakku yang juga mengalami hal serupa. Pendeknya, life is easy for me, 'coz I always have someone to look up to. Tapi ketika aku harus pergi dan tinggal di Jepang, tak ada kakak yang bisa memberi info berdasarkan pengalaman mereka, karena akulah yang pertama di keluarga. Senang tapi sekaligus  cemas juga...
Lebih cemas lagi, karena kutinggalkan ibu sendiri saja di rumah. Dua kakakku sudah menikah dan tinggal di rumah berbeda, mengikuti suami mereka. Seorang kakakku yang lain menjalani kehidupan indekos untuk mendekati tempat kerjanya. Sementara ayahku sudah meninggal 2 tahun berselang. Dan tinggallah ibuku sendiri di rumah sudut yang terletak di kompleks yang relatif kecil. 'Kutitipkan' ibu pada tetangga sebelah-menyebelah yang baik hati. Tapi yang terpenting adalah kutitipkan ibu dalam penjagaan Allah Yang Maha Tahu. Dalam usianya yang sudah melewati 60 tahun, ibu termasuk orang yang sangat aktif, selalu terlihat sehat dan bersemangat. Bismillah... kutinggalkan ibu dalam penjagaan-Mu ya Allah.
Di hari pertama kedatanganku, aku diijinkan untuk menelfon ke Indonesia dari kantor universitas biro mahasiswa asing. Aku mendapat kesempatan menelfon selama beberapa saat, yang kumanfaatkan untuk mengabari ibu, menyampaikan kabar kedatanganku di Jepang dengan selamat. Alhamdulillah.
Di pekan-pekan pertama, seorang teman memberi kabar tentang layanan Brastel, kartu telepon internasional yang relatif murah. Dengan tarif per menit yang dibedakan berdasarkan negara tujuan dan nomor telefon yang dipanggil (nomor telfon rumah atau seluler), kami bisa menelfon ke mana saja selama pulsa kami masih tersedia. Cara isi-ulangnya pun mudah. Kita tinggal menyerahkan potongan kupon yang dikirim oleh Brastel ke toko 24 jam mana saja yang tersebar di seantero Jepang. Tidak hanya di Seven-Eleven, tapi juga Sunkus, Lawson, Mini Stop, Family-mart, AM-PM, dsb menyediakan jasa layanan tersebut. Sungguh praktis. Layanan bahasa yang tersedia pun beragam, mulai dari Inggris, Cina, Korea, Tagalog, hingga bahasa Indonesia sekalipun!
Telpon pertamaku ke Indonesia menggunakan kartu Brastel mendapatkan sambungan yang cukup baik. Suaranya jernih, walaupun ada selang waktu sepersekian detik untuk mengirim dan menerima suara. Tapi cukuplah jadi pengobat rindu. Saat itu, Ibu tidak banyak bicara. Malah beliaulah yang berkali-kali berkata, "Sudah... jangan terlalu lama menelfon, nanti kamu mesti bayar mahal. Ibu baik-baik saja kok di sini." Etc etc. Ya, telfon pertamaku memang tidak lama.Â
Sedangkan ibu sendiri tidak pernah bisa menelfonku, dengan koneksi SLI 001 atau 008 (saat itu 007 ataupun layanan telfon internasional lainnya belum tersedia). Tapi menjelang masa kepulanganku ke Indonesia, yang terjadi justru kebalikannya. Ibu bicara terusss di telfon, nyaris tak bisa berhenti, soalnya beliau tahu bahwa aku tidak menghabiskan terlalu banyak uang (dibandingkan beasiswa yang kuterima) untuk menelfon ke rumah. Maka Ibu dengan santainya bercerita tentang segaaala macam. Perbedaan waktu antara Jepang dan Indonesia mempunyai selisih 2 jam (Jepang lebih cepat), membuatku harus menyesuaikan diri dengan waktu ibuku.
Biasanya waktu yang kugunakan untuk menelfon adalah malam hari, sekitar jam 10-an waktu Jepang, sehingga ibuku bisa leluasa menerima telfonku bada Isya.. Tapi kadangkala koneksi telfon tak sukses terjadi, sehingga aku harus menunggu beberapa waktu kemudian untuk mencoba menelfon lagi. Tapi memang lega mengetahui bahwa ibuku baik-baik saja, senang dan bahagia di Indonesia sana. Ah... senangnya ada Brastel yang menjadi jembatan komunikasiku dengan ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H