Dipungkiri atau tidak keberagaman adalah suatu keniscayaan, tercatat berbagai macam suku,bangsa, adat, bahasa, dan agama ada di negara kita. Untuk menyatukannya dan menghindari perpecahan karena kebergaman yang ada, kita menggunakan semboyan yang diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dengan semboyan Bhinneka Tungga Ika. Namun kerap semboyan itu tak begitu ampuh. Begitupun dengan perdamaian dunia, kendati perdamaian dunia selalu diusung setiap negara, namun tetap perbedaan selalu menjadi alasan untuk menggoyahkan kebersamaan yang telah terjalin.
Diperoleh fakta yang mencengangkan bahwa perpecahan dan perselisihan itu sering terjadi diatasnamakan agama atau kepercayaan. Baik antar sesama pemulak agama maupun antar agama yang berbeda. Nampaknya, fanatisme agama menjadi salah satu sebab mengapa kekerasan yang mengatasnamakan agama itu kerap terjadi. Intelorensi yang begitu kuat kerap berujung kepada penyerangan kepada golongan yang tidak sefaham. Sedangkan kita meyakini tidak ada agama satu pun termasuk islam yang kini menjadi sorotan yang menyarankan penganutnya untuk berbuat anarkis, merusak, atau main hakim sendiri.
Secara khusus phobia masyarakat dunia kepada Islam dewasa ini, semakin mengkhwatirkan hal ini disebabkan ada sebagian golongan pemeluk agama besar ini yang menjadikan nama Islam sebagai benteng dan alasan dalam melaksanakan aksinya. Sebut saja ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang dikenal dengan radikalismenya, sehingga dengan berjamaah masyarakat dunia mengecam dan menolak kehadirannya. Indonesia pun terkena “efeknya” salah satu ketakutan berlebihan nampak dengan sikap pemerintah dengan sikapnya terbukti dengan mencuatnya kasus pemblokiran situs-situs islam tanpa koordinasi dan pendalaman terlebih dahulu oleh Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Muhammad Abduh seorang pembaharu dan pemikir muslim dari Mesir pernah berkata “ al islamu mahjubun bi muslimin” secara sederhana kita bisa pahami Islam itu terhalang/hancur oleh penganutnya. Artinya agama Islam adalah agama cinta damai dan tak ada satupun ayat yang mengharuskan untuk berbuat anarkis, Nabi Muhammad Saw, sendiri sebagai rasul tidak tercatat dalam sejarah menggunakan kekerasan dalam menyebabrkan agama Islam. Namun banyak dari pengikutnya yang mengatasnamakan agama ini untuk menebar terror dan dan ketentraman. Tepat kiranya kejadian hal ini dengan sebuah istilah pribahasa, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Toleransi dalam beragama, baik antara sesama pemeluk agama yang berbeda ataupun sesama pemeluk dalam satu agama sebenarnya telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya”. Guna menjalankan amanat UUD tersebut, dan berdasarkan masalah yang ada sekarang, pendidikan toleransi harus segera digalakan sejak dini kepada anak-anak kita, memberikan pemahaman kepada mereka sejak dini diprediksi akan membantu membuat mereka lebih terbuka dalam pemikiran, mudah menerima dan memaklumi sebuah perbedaan, tidak kaku dan tentunya mereka tidak akan anarkis dalam mengeprisikan keyakinan mereka.
Sekolah dilihat dari tugas dan fungsinya sangat ideal untuk menerapkan pendidikan ini kepada para siswa sejak dini, dalam mata pelajaran PKn misalnya siswa bisa belajar dalam materi toleransi ataupun dalam PAI anak bisa belaar dalam materi tasammuh. Bahkan semua guru mata pelajaran lain pun bisa mengajarkan hal ini kepada para siswa. Secara tidak langsung para guru bisa menyisipkan pemahaman hal ini kepada mereka disela-sela materi, atau bisa juga dalam bentuk diskusi-diskusi yang mengedepankan rasa saling menghargai dalam berpendapat, ataupun jika perlu adakan juga seminar mengupas masalah pentingnya toleransi antar sesama.
Secara perlahan namun Insya Allah pasti, diharapkan dengan langkah-langkah sederhana ini, setidaknya kita bisa membantu menyiapkan generasi penerus bangsa yang mempunyai keyakinan dan ketaatan kepada agamanya, namun disamping itu pula ia mampu menghayati kehidupannya penuh cinta, kedamaian dan saling menghormati antar sesama, sekaligus mampu menengahi dan menjadi solusi dari setiap kesalahpahaman yang terjadi dimasyarakat. Pada akhirnya agama sebagai rahmatan lil alamiin, akan menjadi semboyan yang nyata dalam kehidupan ini. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H