Mohon tunggu...
Dwininta Alfathika
Dwininta Alfathika Mohon Tunggu... -

Hey, I'm learning to write such a good thing now.\r\nMy writing will be booked, one day. I hope. Wait it, okay? :D

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kicauan Hati Malam ini

30 Januari 2015   06:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis maghrib, tiba-tiba ada makhluk bersarung dengan baju Spongebob kuning yang ‘mampir’ ke kamar. Beliau nungging-nungging, kemudian bertanya apa yang sedang aku baca. Sebuah pertanyaan yang tak wajib dijawab, karena beliau langsung membaca sendiri judul yang ada di cover buku tersebut. Kemudian tiba-tiba, beliau berseru.

“Nah kan! Kawan Radhi tuh ga percaya! Waktu itu Radhi nanya ke kawan-kawan Radhi, mau pacaran dulu atau nikah dulu. Rata-rata mereka jawab maunya pacaran dulu, padahal kan itu seharusnya nikah dulu. Kalo kita pacaran dulu, nanti kita dekat-dekat, nempel-nempel, mesra-mesra. Eaaaaaak…” cerita singkatnya itu dihiasi dengan sound effect ‘eak’ dari mulutnya sendiri -_-. “Waktu Radhi bilang ke kawan-kawan tuh kalo kita harusnya nikah dulu, mereka bilang banyak orang di luar tuh yang pacaran dulu. Orangtua juga dulu pacaran dulu. Jadi nanti pacaran dulu, mbak?”

“Heleh anak SD. Omongannya udah nikah-nikah pula. Emangnya yang banyak selalu benar?” jawab kakaknya yang keren.

“Enggak,” terus tiba-tiba pergi secara ghaib.

Aku kembali membaca buku yang sedang ku pegang. Tapi pikiranku tidak bisa melayang jauh dari pertanyaan si badut tadi. Anak SD aja udah mikirin nikah, gimana yang kuliah? Begitu kuatnya pengaruh dari lingkungan : tindakan orang-orang di sekitar, film, dan musik.

Loh, kenapa nyambung ke pengaruh? Hmmm… maafkan pikiran yang sering random ini. Tiba-tiba aja, jadi teringat foto anak SMP yang nembak atau merayakan ulang tahun anak SD. Di foto itu, ditampilkan foto se-anak SMP laki-laki yang memberikan kue ulang tahun ke anak SD perempuan, kemudian si laki-laki memberikan boneka sticth, dan akhirnya mereka berfoto-foto dengan pose si laki-laki merangkul leher si wanita. Bukan masalah besar kalo dilihat, sekilas. Toh si laki-laki hanya merangkul leher si perempuan layaknya adik-kakak.

Tapi itu baru tahap awal. Pernahkah kita berpikir, jika awalnya saja seperti itu, bagaimana kelanjutannya? Wajar saja jika survey mengatakan, sekitar 62,7% anak SMP ke bawah pernah melakukan “hubungan itu”. Ya, lebih dari 50%. Kadang kita pikir, hal itu tidak mungkin terjadi. Itu cuma mengada-ada biar heboh, darimana datanya,valid atau enggak, dan sebagainya. Diamlah jika tidak tahu apa-apa. Diam. Tanpa komentar. Duduklah, amati apa yang ada di sekitar kita. Semakin banyak yang kita amati, semakin yakin kita kalo survey itu bukan angka belaka. Kata almarhum Pak Charles dulu (guru fisika SMP), itulah gunanya kita memiliki dua buah mata dan satu mulut, agar kita lebih banyak mengamati daripada berbicara.

Oiya, sebelumnya, ada isu yang mengatakan kalau laki-laki SMP dan perempuan SD itu adalah kakak adik. Kalaupun mereka memang kakak adik, tapi data di atas cukup untuk membuat kita merenung. Oke, dari pengalaman pribadi saja, aku dan teman-teman waktu SD sudah mengenal ‘dunia percintaan’. Kelas berapa? Kelas 3 SD. Bisa dibayangkan? Dari mana? Dari sinetron, film, dan buku. Dan jangan heran, ketika kelas 4, gerombolan anak laki-laki di sekolahku sudah mulai mengenal dunia porno. Anak SD sudah bisa melihat dan mengetahui yang tak seharusnya mereka lihat. Foto-foto tanpa helaian benang dapat dengan mudah diakses, terlebih jika memiliki gadget yang canggih. Tak diragukan lagi, inilah salah satu bukti nyata dari perkataan Kak Seto yang mengatakan bahwa gadget itu berbahaya. Dari sinilah, pola awal perzinaan itu terbentuk.

Cerita lain lagi, sekitar dua malam yang lalu, aku dalam perjalanan pulang bersama orangtua dan adikku. Orangtuaku turun dari mobil untuk membeli buah. Tiba-tiba, radio itu mendendangkan lagu dangdut, yang liriknya kembali membuatku berdialog dengan diri sendiri di dalam hati. Kira-kira, beginilah liriknya, Ayo goyang dumang biar hati senang pikiranpun tenang semua masalah jadi hilang.

Apa masalahnya? Toh, itu cuma lagu. Iya, lagu. Seni. Tapi coba cermati lagu itu, tiap katanya. Intinya, kita joget-joget aja agar masalah kita hilang, agar kita menjadi tenang. Waktu ditanya ke Radhi, apa itu goyang dumang, katanya joget-joget sambil mangap (kemudian beliau mempraktikkannya, it was unnecessary. -_-). Hmmm… joget-joget yang asik di mana? Ya di diskotik, tempat maraknya prostitusi dan narkoba beredar. Belakangan, kota tempatku berada juga sering mendatangkan DJ perempuan yang busana tak perlu dipertanyakan lagi. Dan sepertinya, media serta berbagai pihak lain sangat bangga atas kedatangan para DJ papan atas dari luar kota itu. Hufh.

Malam ini, semuanya berkecamuk, makanya kutuliskan semuanya. Ditambah lagi acara ILK yang ada di TV itu membicarakan susuk. Berjam-jam tayang di TV, mengobrol dan menghabiskan waktu untuk membicarakan sesuatu yang syirik. Aku hampir kecewa berat, karena antusias artis terhadap susuk itu, dan juga beberapa pemain bola menggunakan susuk itu (bahkan ada memasangnya di tulang ekor, katanya). Tapi, untung acara itu ditutup dengan pesan yang baik. Yaaa, setidaknya oom-tak-berambut yang jadi notulen itu kontra dengan susuk. “Daripada memasang susuk, lebih baik berdoa dengan khusyuk”. Begitulah sedikit pesan yang tertangkap dari banyak hal yang beliau ucapkan.

Dan pertanyaan terakhir yang detik ini bergentayangan di pikiran :

Ketika benih-benih sudah teracuni dengan s*x, agama mulai dikesampingkan, pelajar dan aktivis dakwah mulai futur dan/atau takut bergerak, apa yang akan terjadi dengan dunia ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun