Siang itu, mataku tertuju kembali dengan pemandangan itu. Seorang bocah kecil usia belasan tahun. Trisno namanya. Aku biasa memanggilnya adek. Trisno seorang anak pemilik warung nasi yang tinggal beberapa ratus meter dari rumah kos yang aku huni. Ayahnya sudah sepuh karena ibunya menikah dengan seorang duda yang berusia lebih dari 65 tahun.
Sebenarnya Trisno anak kembar. Kembaran Trisno bernama Kristanto. Adek Kris aku biasa memanggilnya. Kris meninggal beberapa tahun yang lalu. Saat itu hujan badai, petir sambar menyambar. Adek Kris hendak menutup kandang rusa titipan tetangganya, yang kebetulan kandangnya sedang di renovasi. Sehari-hari, saat membeli nasi di warungnya, aku selalu sempatkan bermain bersama Kris dan Tris dengan rusa kecil itu. Tanpa disadari, sebuah dahan pohon besar di halaman rumahnya tersambar petir dan menimpah adek Kris. Saat itu terdengar teriak seorang wanita. Aku langsung berlari ke luar kamar kos. Kulihat ramai sekali orang-orang berlari kearah warung kecil itu. Aku pun ikut berlari tanpa pedulikan hujan yang cukup besar mengguyur tubuhku, karena aku mendengar teriakan “Mas Kris…mas Kris…” aku hafal sekali itu panggilan ibu upemilik warung nasi untuk adek Kris. Benar saja, sesosok tubuh kurus mungil kaku di hadapanku. Aku hanya memeluk adek Tris yang menangis dengan pakaian basah kuyupku. Jeritan ibu pemilik warung nasi semakin mengeras, meronta, seolah tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Satu bulan sudah berlalu… Siang ini pun aku masih melihat pemandangan itu lagi. Aku selalu merasakan ketulusan anak kecil itu. Setelah kepergian kembarannya, adek Tris semakin dekat denganku. Sapaannya, teriakannya, lambaian tangannya juga senyumnya, tak pernah lepas saat berhadapan dan melihat keberadanku. Rindu, ya selalu rindu akan suara panggilannya “kakak….”. Tekadnya kuat sekali untuk ukuran anak sebayanya. Tidak pernah meminta pada siapa pun. Saat seseorang memberikan sesuatu, adek pasti bertanya,
“Untuk apa ini?”
Bukan sok gengsi, tapi aku melihatnya sebagai mental yang berjiwa baik, jujur dan tulus.
“Kakak, lihat sepatuku,” teriak adek Tris padaku.
“Wah, bagus, baru beli, ya?” komentarku.
“Iya, bagus ya kak..dari hasil aku jadi polisi cepek tiap pulang sekolah,”sahut adek Tris dengan bangganya.
Hanya seutas senyum tipis dan belaianku di punggung adek kecilku. Karena kutahu pasti, sepatu itu tidak baru adek beli di toko sepatu.
*d-wee