“Macet lagi, macet mulu, macet terooos!” Kemacetan di Jakarta ini seolah sudah menjadi makanan harian bagi para pengguna jalan sampai-sampai menjadi sorotan juga di mancanegara.
Coba deh bayangin aja otw Sudirman-Thamrin bisa sampai hampir dua jam, yang seharusnya bisa ditempuh dengan waktu 15-20 menit aja. Selain makan waktu, macet juga bikin boncos banget nih buat penggunaan bahan bakar yang berlebih.
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyatakan bahwa tingkat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta pada tahun 2022 mencapai 48%, yang mana hal ini sudah tergolong di level tidak nyaman dalam berkendara. “Jelas nggak nyaman lah dikit-dikit berenti, dikit-dikit berenti. Capek juga shaay!”
Hal ini juga didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS), terkait jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang ternyata konsisten bertambah tiap tahunnya. Pada 2021 jumlah kendaraan di Jakarta sudah mencapai sekitar 21,75 juta unit lho! Ini berarti tumbuh 7,6% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan kendaraan yang semakin meningkat inilah yang jadi salah satu faktor utama kemacetan di Jakarta.
Peningkatan pertumbuhan kemacetan di Jakarta ini nggak cuma merugikan diri sendiri aja tapi berdampak juga di beberapa sektor, contohnya kerugian ekonomi mencapai Rp100 Triliun/tahun berdasarkan biaya waktu dan operasional kendaraan yang dilansir dari data Bappenas tahun 2019 dan JUTPI tahun 2019. Kemudian peningkatan kecelakaan yang bisa sampai 8000 kecelakaan lalu lintas/tahun, peningkatan biaya logistik, dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat yang salah satunya karena polusi dari sejumlah kendaraan yang beroperasi.
Kalau ngeliat Jakarta yang macetnya gini-gini aja sih, kayanya enak ya semisal Jakarta bisa kayak kota maju di negara lain yang udaranya tuh sehat tanpa polusi, minim kasus kemacetan lalu lintas dan sarana transportasi publik yang layak dari segi kualitas maupun kapasitas. “Yaaa walaupun agaknya mimpi ya HEHE”.
Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan beberapa program dalam menangani kemacetan dari banyaknya volume kendaraan, mulai dari sistem 3 in 1 sampai ke pemberlakuan kendaraan ganjil-genap.
Hanya saja dalam realitanya ganjil-genap ini malah membuat masyarakat membeli kendaraan baru dengan plat yang berbeda atau bahkan beberapa lainnya menggunakan plat nomor palsu untuk mengakalinya.
Menurut Budiyanto, selaku pemerhati masalah transportasi mengatakan, dalam perjalanan berlangsungnya sistem ganjil-genap dinilai kurang efektif dan belum mampu mengurai kemacetan di Jakarta. Sepertinya memang penerapan ganjil-genap akan lebih efektif apabila bisa dibarengi dengan program pembatasan lalu lintas dengan memberlakukan ERP atau Jalan Berbayar Elektronik.
Seperti halnya Singapura yang udah duluan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) untuk menekan volume kendaraan di jalan dan dijadikan solusi dalam membantu meringankan kemacetan lalu lintas, mengurangi waktu perjalanan, mengurangi penggunaan polusi kendaraan pribadi, dan mempromosikan transportasi umum.