Mohon tunggu...
cyrus agung
cyrus agung Mohon Tunggu... -

saya seorang romantis yang hobi bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mewaspadai Australia

4 Maret 2014   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Negeri Kanguru yang terletak diselatan kita ini secara geografis lebih dekat ke Asia namun semua sendi-sendi kehidupannya sangat berbau Eropa. Dalam rekam jejak sejarah perjalanan Negara RI ini jujur dapat dikatakan Australia tidak sepenuhnya bisa dipercaya dan bahkan tidak tulus dalam menjalin hubungan bertetangga. Ini tak lepas dari kultur warisan kolonialis Eropa yang merasa lebih superior di banding bangsa Asia atau Afrika dalam segala hal.

Saat Presiden pertama RI mengumumkan konfrontasi terbuka dengan Belanda dalam pembebasan Irian Barat atau dikenal sebagai operasi Trikora, sepintas Australia ikut "membela" RI yang saat itu dipimpin politisi dari kalangan Partai Buruh dengan melarang kapal-kapal Belanda merapat di pelabuhan-pelabuhannya. Namun itu dilakukan atas kekhawatiran Australia terhadap kekuatan militer RI yang saat itu merupakan salah satu terkuat di Asia dan memiliki kedekatan dengan Rusia. Ketakutan ini diperkuat denganprediksi intelijen AS bahwa jika terjadi perang terbuka antara Indonesia dan Belanda maka Belanda akan dikalahkan oleh kekuatan militer RI dengan bantuan persenjataan dari Rusia yang paling ditakuti saat itu. Jika hal ini terjadi dipastikan pengaruh Rusia dibelahan bumi bagian selatan semakin besar. Mengantisipasi ketakutan tersebut, Australia bersama AS akhirnya membentuk tim diplomasi komisi tiga negara untuk dibawa ke PBB untuk penyerahan Papua ke RI tahun 1963.

Ketika operasi Dwikora digelorakan, Inggris dan Australia mengirim pasukan dan disebar di Kalimantan Utara. Saat itu secara terang-terangan Autralia bersama Inggris menjadi pagar pengaman Persekutuan Tanah Melayu atau Federasi Malaysia bentukan Inggris untuk melawanSoekarno. Namun ditengah jalan terhenti seiring dengan perubahan haluan politik RI setelah tahun 1965 dan pembentukan ASEAN tahun 1967 sebagai bentuk kesepahaman bertetangga diantara negara-negara Asia Tenggara.

Saat era perang dingin tahun 1975, Timor-Timur dengan Fretilin yang berhaluan kiri menguasai wilayah itu dan atas “restu” AS, pasukan Indonesia melakukan operasi militer di Timor Timur. Dalam hal ini Australia tentu sangat diuntungkan karena tak perlu bersusah-susah membendung laju paham komunis yang sudah mendekat kenegaranya. Namun sungguh sangat ironis pada tahun 1999, ketika perang dingin usai, Australia berbalik 360 derajat dengan mendukung penuh lepasnya Timor-Timur dari wilayah RI. Peristiwa sejarah ini sejatinya sangat menyakitkan Indonesia apalagi ketika itu terjadi krisis ekonomi maha hebat di tanah air.

Bertetangga dengan Australia yang memiliki track record demikian mestinya tidak boleh disikapi dengan kepolosan dan inferior. Kultur Asia yang menjunjung rasa hormat satu sama lain bertolak belakang gaya diplomasi Australia yang mendikte, merasa lebih tinggi, dan tak mampu mengedepankan kesejajaran.

Dalam soal Papua diyakini Australia bermuka dua. Disatu sisi statemen pemerintahannya selalu menyatakan Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI. Namun di sisi lain Papua selalu dijadikan komoditi politik Australia untuk menaikkan citra pemerintahan atau partai oposisi. Belum lagi persetujuan negeri itu untuk menjadikan Darwin sebagai pangkalan militer dan Marinir AS yang menimbulkan kecurigaan negara-negara sekitarnya.

Perkuatan militer Indonesia saat ini tentu tak terlepas dari sorotan intelijen dan pemikir strategis hankam Australia. Sekedar berandai-andai jika perkuatan Alutsista TNI sudah sampai pada MEF tahap ketiga, sangat diyakini akan membuat Australia sangat khawatir. Untuk mengantisipasi rasa ketakutan tersebut, maka dilakukan berbagai cara. Salah satu caranya tentu dengan merangkul Indonesia agar bisa dekat dengannya dengan cara memberikan bantuan maupun hibah bagi personel sipil maupun militer Indonesia.

Contoh terbaru mengenai perilaku buruk negeri Kanguru tersebut berasal dari bocoran mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) Edward Snowden yang menyebutkan bahwa dinas intelijen Australia telah menyadap pembicaraan Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi RI lainnya. Lebih parah lagi penyadapan tersebut tidak hanya menyentuh masalah security saja namun juga telah merambah pada masaah perdaganagan, seperti kejadian penyadapan sengketa dagang antara RI dengan AS terkait impor rokok keretek dan udang asal Indonesia.

Persahabatan antar Negara itu harus berdasarkan kepentingan nasional kita dan kesetaraan. Jangan sampai kita dianggap belum setara seperti yang selama ini ditunjukkannya. Dengan menggelontorkan sejumlah bantuan dan hibah untuk mengambil hati, maksud dan tujuannya disampaikan kemudian, jelas merupakan persahabatan atas nama pamrih dan balas budi. Mestinya Australia mengedepankan hubungan kesetaraan, tulus dan bukan berpura-pura kepada tetangganya.

Sikap saling menghargai kultur, memahami kebhinnekaan Indonesia, tidak menghasut Papua, tidak mendikte, tidak merasa arogan dan superior merupakan prasyarat jika Australia ingin mengambil hati rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun