Selasa, 20 Oktober 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden, Jusuf Kala (JK) berusia satu tahun. Media masa cetak dan elektronik sibuk mengupas tuntas semacam evaluasi dari berbagai perspektif kondisi pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai rakyat biasa yang bukan ahli, buka pakar, bukan pengamat, penilaian saya biasa-biasa saja.
Mungkin saya salah melihat, tetapi prestasi yang biasa-biasa saja, terletak pada rekam jejak sang presiden pilihan rakyat. Rakyat terbuai dengan hasil survey dari lembaga survey yang selalu menempatkan Jokowi dalam urutan teratas. Kemudian media masa mem “bow up” sedemikian rupa, sehingga rakyat terpesona dan memilih Jokowi. Pada saat pemilihan presiden, seakan-akan, berpasangan dengan siapa pun Jokowi bakal menang.
Rakyat tidak lagi mempermasalahkan siapa Jokowi dan apa rekam jejaknya. Memang saya ingat banyak juga yang berkata, 10-15 tahun lalu Jokowi bukan siapa-siapa sehingga dia tidak memiliki pengalaman memimpin negara. Tetapi pendapat skeptis itu hilang ditelan euforia dan histeria rakyat Indonesia yang menginginkan sosok pemimpin yang “merakyat”.
Jokowi mulai terkenal ketika karena mempertahankan sebuah pabrik es tua di kota Solo, oleh Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu Bibit Waluyo dikatakan sebagai Wali Kota Bodoh. Media ramai-ramai membelanya. Kemudian dia dikenal sebagai Walikota yang mampu menata pasar tradisional menjadi pasar yang layak bagi penjual dan pembeli. Dan yang membuat dia sangat terkenal adalah ketika dia mendukung mobil SMK, kemudian mengemudikan sendiri ke Jakarta untuk uji kelayakan dan menjadikan mobil yang hanya diprodusi satu-satunya itu menjadi mobil dinas. Meskipun sesudah itu mobil SMK tersebut tidak ada kabar beritanya. Jokowi sudah terlanjur jadi buah bibir masyarakat dan anak emas media masa.
Dari prestasi sebagai Walikota sebenarnya biasa-biasa saja. Tri Rismaharini, Walikota Surabaya prestasinya jauh melampaui Jokowi. Tetapi media kurang berpihak kepadanya. Menjadi Walikota Solo pun hanya dijalani satu periode setengah, tidak sampai selesai.
Karena selalu menjadi “news maker” Jokowi jadi terkenal. PDIP melihat ada peluang untuk mengangkat citra partainya. Bersama Ahok dipasangkan untuk menjadi Cagub dan Wagub DKI. Nasib baik memihak Jokowi – Ahok. Dengan harapan bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, kemiskinan dan banjir Jakarta, Jokowi - Ahok terpilih. Awal Januari 2013 Jokowi – Ahok dihadang banjir besar. Banjir besar ini malah melambungkan nama Jokowi karena “blusukan”nya. Hasil blusukan hampir tidak ada. Ada berita hebat ketika Jokowi memperhatikan got di Jalan Thamrin yang mampet. Kepada wartawan langsung mengatakan akan membuat terowongan besar ke laut, tanpa tanya kepada ahlinya. Tahun berikutnya dan sampai hari ini di got yang sama masih mampet.
Baru satu setengah tahun Jokowi menjadi Gubernur Jakarta dan belum berbuat apa-apa, kembali PDIP yang ingin menang Pemilu, memilih Jokowi menjadi Capres dan dipasangkan dengan JK. PDIP memang menang tetapi tidak significant sehingga PDIP tidak bisa mengajukan Capres sendiri karena tidak memenuhi syarat. PDIP harus berkoalisi dengan partai lain dan tidak bisa memenangkan pemilihan presiden satu putaran.
Alhasil, Jokowi menjadi Presiden dengan bermodal pengalaman satu setengah periode menjadi Walikota Solo yang biasa-biasa saja dan menjadi Gubernur satu setengah tahun dan tidak sempat memenuhi janji-janjinya saat kampanye sebagai Cagub DKI. Dia tidak memiliki pengalaman mengurus hal-hal yang berskala nasional apalagi internasional. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh nasional apalagi internasional sangat minim.
Minimnya pengalaman dan rekam jejak yang tidak mengagumkan langsung nampak ketika dia tidak mampu memenuhi janjinya menyusun tkabinet dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dia gagal memenuhi janjinya menyusun kabinet ramping karena jumlah menteri sama dengan kabinet SBY. Dia juga gagal memenuhi janjinya bahwa kabinetnya akan diisi kaum profesional karena separuh menteri kabinetnya orang parpol.
Selanjutnya dia gamang memimpin pemerintah dan negara besar ini. Ketika pidato bagus di forum internasional, staf kepresiden mengaku bahwa merekalah yang menyusun pidato. Ketika Jokowi salah sebut tempat lahir Bung Karno staf kepresidenan diam saja. Juga ketika undangan pelantikan BIN yang salah tulis kepanjangan BIN.
Berbagai keputusan yang berkaitan dengan kebijakan nasional dan kebijakan pemerintah selalu terlambat karena Presiden harus mendengar dari banyak pihak. Bukan rakyat saja yang meragukan kemampuan Presiden melainkan menterinya sendiri pun meragukan kemampuan presidennya dengan mengatakan, Presiden ngerti nggak? Jangan-jangan Presiden nggak ngerti apa-apa2? Ini yang terekam media.
Itulah beberapa hal yang menunjukkan bahwa rekam jejak seorang pemimpin apalagi Presiden itu penting. Seorang facebooker mengatakan bukan salah Jokowi, tetapi salah rakyat yang memilihnya. Kita sabar saja. Semoga lima tahun yang akan datang ada calon presiden yang berpengalaman tetapi disukai dan dipilih rakyat. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H