KADER PARTAI GOLKAR:
PANDAILAH MEMBACA TANDA –TANDA ZAMAN
Baru terjadi di Indonesia, seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan sesuatu yang tidak cerdas dan mengadu domba kader partai politik dalam hal ini Partai Golkar. Bagaimana tidak, Sidang Mahkamah Partai Golkar jelas-jelas tidak memenangkan salah satu pihak dengan posisi 2-2. Hanya Andi Matalata dan Jasri Marin (?) mengatakan Munas Ancol sah tetapi dengan catatan minim legitimasi sedangkan Muladi dan Natabaya mengatakan serahkan ke pengadilan. Tidak ada keputusan yang memenangkan salah satu pihak. Pendapat Andi Matalata dan Jasri Marin hanyalah sebuah beda pendapat dengan Muladi dan Natabaya (Disenting Opinion) dalam Sidang Mahkama Partai.
Agung Laksono yang sudah mabuk dan kebelet mau menjadi Ketua Umum Partai Golkar dengan jalan ilegal juga salah membaca keputusan Mahkamah Partai dan merasa dirinya menang. Lalu dengan percara diri mengajukan permohonan pengesahan kepengurusan ke Menkumham yang disambut dengan baik sekali bahkan minta Agung Laksono melengkapi kepengurusan sesuai pendapat Andi Matalata dan Jasri Marin. Hubungannya apa antara Menkumham dan Agung Laksono?
Yang diperdebatkan selama ini adalah soal legitimasi dan demokratis. Keputusan aklamasi menjadikan ARB Ketua Umum Partai Golkar di Munas Bali dianggap tidak demokratis. Hanya karena di Munas Ancol yang abal-abal ada pemungutan suara untuk memilih Ketua Umum yang bisa saja direkayasa, dianggap demokratis. Padahal demokrasi kita mengutamakan musyawarah mufakat. Kalau tidak mencapai musyawarah mufakat barulah dilakukan pemungutan suara.
Selanjutnya soa legitimasi dari dua Munas. Munas Bali jelas dihadiri oleh DPP, Organisasi yang mendirikan dan didirikan dan organisasi sayap yang sah. Pengurus Daerah yang hadir adalah Ketua DPD PG dan Sekretaris DPD PG Provinsi hasil Musda di masing-masing daerah dengan mandat yang sah dan asli menggunakan Kop Surat dan Cap yang asli sesuai AD/ART, Peraturan Organisasi, Juklak dan Juknis yang diatur oleh Partai Golkar hasil Munas Riau. Demikian pun semua Ketua DPD dan Sekretaris DPD PG Kabupaten/Kota yang hadir adalah yang semuanya legal dan memiliki legitimasi yang jelas. Tinta Menkumham yang mengakui Pengurus Golkar yang sah adalah Hasil Munas Riau, belum lagi kering. Atau Menkumham lupa dengan keputusannya sendiri?
Mari kita lihat soal legitimasi. Sebagai mantan Sekretari PG Provinsi NTT dan sekarang masih Pengurus DPD PG Provinsi NTT saya paham betul dengan ketentuan-ketentuan peserta Munas Golkar. Dan itulah yang dilakukan dengan benar oleh ARB dan Idrus Marham di Munas Bali. Saya yakin yang dari NTT yang hadir itu Pengurus yang sah baik Provinsi maupun Kabupaten. Dan utusan DPD Provinsi NTT yang hadir di Munas Ancol adalah Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi, tanpa mandat. Kalau sampai membawa mandat maka pasti tidak sah atau hasil rekayasa. Ini pasti Karena Ketua DPD PG NTT Ibrahim Agustinus Medah dan Sekretaris DPD PG NTT Anton Darus, hadir di Bali. Dengan satu contoh ini saja, jelaslah Munas Ancol ilegal.
Oleh karena hal-hal tersebut, saya himbau Kader Partai Golkar yang militan, yang selama ini berjuang tanpa pamrih kita bangun dengan Partai Golkar dengan paradigma baru, tetapi tetap ingin mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 1945 harus pandai membaca tanda-tanda zaman.
Gerakan Agung Laksono dan kawan-kawan hanyalah upaya untuk menyeret Partai Golkar terus berada di Pemerintahan. Dan dengan demikian, maka Partai Golkar akan terus terstigma dan dibebani sejarah masa lalu sebagai pendukung utama Orde Baru yang sarat KKN. Begitu menjadi Partai Politik dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Partai Golkar ingin menegakkan demokrasi di Indonesia secara baik yang didukung oleh Partai Politik yang mandiri. Contoh nyata adalah begitu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar dalam Munaslub Golkar yang melahirkan Partai Golkar dengan paradigma barunya, Akbar Tanjung berhenti dari Menteri Kabinet Habibie.
Akbar Tanjung bersama seluruh Kader PG di seluruh Indonesia berjuang sungguh-sungguh untuk menjadikan Partai Golkar sebagai partai yang demokratis. Pemilu legislatif tahun 1999, Partai Golkar menjadi pemenang kedua dan sangat siap menjadi peserta Pemilu Legislatif tahun 2004. Untuk Calon Presiden tahun 2004 yang akan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, Partai Golkar menyelenggarakan sistem konvensi. Dan hasil konvensi, Wiranto menjadi calon Presiden dari Partai Golkar berpasangan dengan Solahudin Wahid. Kerja keras Golkar dan gaung konvensi yang demokratis menyebabkan Partai Golkar memenangkan Pemili Legislatif tetapi kalah di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan karena kalah di Pilpres tahun 2004, Partai Golkar sudah siap-siap berada di luar pemerintah. Bukan sebagai oposisi yang tidak dikenal dalam sistim politik di NKRI, tetapi akan melakuakn koreksi secara kritis dan obyektif dimana kebijakan pemerintah yang baik didukung, yang merugikan rakyat dikritisi.
Niat ini tidak kesampaian. Dalam Munas di Bali tahun 2004, JK yang sudah menjadi Wakil Presiden dari Presiden Susilo Bambang Yudono memerlukan dukungan Partai Golkar. Bersama teman-temannya seperti Agung Laksono, Surya Paloh dan ARB mereka mengalahkan Akbar Tanjung. JK menjadi Ketua Partai Golkar yang minim prestasi. Kalah di Pemilu Legislatif, kalah di Pilpres tatkala JK berpasangan dengan Wiranto yang sudah menjadi Ketua Partai Hanura. Ketika Munas Riau, ARB terpilih, tetapi masih menjadi partai pendukung pemerintah. Yang menikmati adalah Agung Laksono menjadi Menteri dan Priyo Budi Santoso menjadi Wakil Ketua DPR RI.
Munas PG Bali 2014, ARB terpilih lagi meskipun pada Pemilu Legislatif hanya menduduki tempat kedua sehingga ARB tak bisa menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden. Karena mendukung Prabowo-Hata dan kalah maka ARB memilih di luar pemerintah dan bersama partai pendukung Prabowo-Hata membentuk Koalisi Merah Putih yang akan menjadi kelompok penyeimbang di luar pemerintah. Ada yang rupanya menginginkan Partai Golkar tetap mendukung pemerintah, karena tidak percaya diri dengan dukungan partai pendukung Pemerintah yang ada. Keinginan inilah yan rupanya dimainkan lewat Agung Laksono membuat kekisruhan, lalu membuat Munas tandingan sehingga mengesankan Partai Golkar pecah dan ada dualisme. Dengan alasan itu Pemerintah melalui Menkumham memainkan perannya sedemikian rupa untuk mensahkan kepengurusan Agung Laksono, hasil Munas Ancol yang minim legitimasi. OMG
Oleh ini semua, Kader Patai Golkar kembali harus pandai membaca tanda-tanda zaman. Untuk menghilangkan stigma masa lalu dan beban sejarah Golkar sebagai pendukung Orde Baru, sebaiknya Partai Golkar berada di luar Pemerintah. Mari kita bekerja dan berjuang untuk Pemilu tahun 2019. Bila oleh kerja keras kita dan kehendak Tuhan serta kepercayaan rakyat maka dengan berbagai pengalaman pahit dan manis yang kita alami, kita siap mebangun Indonesia yang lebih baik karena Partai Golkar sudah memiliki konsep pembangunan Indonesia sampai tahum 2045 ketika Indonesia berusia 100 tahun. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H