Mohon tunggu...
cypri.jpd
cypri.jpd Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Belum Mati

14 Desember 2011   15:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:17 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di ujung tahun 2011 ini kita disuguhi dua gambaran yang saling berlawanan tentang generasi pasca reformasi. Gambaran pertama tampak dalam gerombolan ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda pemilik rekening yang melampaui penghasilan mereka. Mereka ini menambah daftar panjang orang muda pengkianat reformasi setelah Gayus Tambunan dan barisan politisi muda partai berkuasa. Gambaran kedua tampil dalam sosok heroik Sondang Hutagalung, yang membakar diri sambil mengobarkan semangat reformasi.

Gerombolan para koruptor muda itu membuat kita sangsi akan masa depan bangsa di tangan generasi muda. Ketika kita butuhkan lapisan pemimpin baru yang bisa membangun lumbung kesejahteraan bangsa, yang kita temukan adalah sosok Gayus yang menggerogoti lumbung itu. Ketika kita butuhkan generasi yang kritis terhadap sistem dan melakukan perubahan dalam jagad politik kita, yang kita dapati adalah gerombolan politisi muda di partai berkuasa yang bersekongkol dengan rezim busuk. Ketika bangsa ini membutuhkan pekerja keras yang berani melakukan terobosan kreatif, yang kita dapati adalah ribuan PNS muda penerus kesuraman masa silam.

Sistem Ular Tangga

Mengapa generasi pasca-reformasi itu dengan gampang mencampakkan cita-cita reformasi? Selain pada moralitas masing-masing pelaku, jawabannya perlu ditelusuri dalam sistem memungkinkan berkembangnya generasi macam ini.

Sistem kita bekerja ibarat permainan ular tangga. Promosi jabatan, peningkatan taraf ekonomi, serta perubahan status sosial tidak terjadi lewat proses alami tahap demi tahap, berbasis prestasi dan kinerja, dan kompetisi yang fair. Sebaliknya peningkatan didapat lewat tangga-tangga ajaib, yang dalam sekejap bisa membuat orang berkuasa dan kaya-raya. Sistem itu melahirkan pemimpin-pemimpin muda karbitan, yang cenderung melanggengkan status quo.

Tangga-tangga itu, yang sudah lama kita kenal dengan istilah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, semakin beragam bentuk dan motifnya. Dalam usia amat belia dan minim pengalaman apalagi pengabdian kepada masyarakat, orang bisa menjadi anggota DPR dan menduduki jabatan paling sentral di Partai Politik warisan bapak atau ibu mereka. Dengan label pengusaha muda, orang dapat dengan cepat masuk di pusaran partai berkuasa, bersekongkol dan melayani praktek-praktek busuk memburu kuasa, walaupun akhirnya ditinggalkan begitu saja sebagai pelaku tunggal, ketika persekongkolah itu perlahan-lahan terungkap.

Dan kini, kasus PNS muda kaya-raya membuat kita tersentak. Tangga-tangga ajaib itu tidak saja ada dalam partai politik atau kantor pajak yang sudah lama terkenal korup, tetapi ada di mana-mana, tersebar hampir merata, dalam sistem birokrasi kita. .

Ironisnya, bersama dengan tangga-tangga ajaib itu, sistem ini juga memelihara ular di mana-mana. Ular itu siap menerkam, menelan dan mencampakkan orang-orang berprestasi dan kritis, yang tidak mau bersekongkol dengan kebusukan, yang menentang kelaliman, dan yang bikin terobosan demi kemajuan.

Banyak narasi memprihatinkan yang menimpa birokrat muda potensial, yang tidak dipakai, karena bukan bagian dari tim sukses. Tidak sedikit mereka yang karirnya dihambat karena kritis atau menolak bersekongkol. Di kota-kota dan desa-desa kita, banyak orang muda potensial yang tidak mendapat kesempatan untuk berkembang maksimal, lantaran ketidakadilan social membuat orang miskin tetap terpuruk, sekuat apapun mereka berusaha.

Pendidikan Menengah

Pada saat merampungkan tulisan ini, penulis berjumpa dengan sekelompok anak SD di Labuan Bajo, Flores, di sebuah Pusat Rehabilitasi Anak-anak Berkebutuhan Khusus (diffable). Atas inisitif sendiri, 14 anak yang menamakan diri Laskar Peduli ini (inspirasi Laskar Pelangi?), mengumpulkan uang jajan dan pakaian mereka, dan mengantarkannya. Tidak hanya menyerahkan sumbangan, di Pusat Rehebilitasi itu mereka bernyanyi dan menari menghibur teman-teman mereka yang menderita.

Kisah-kisah serupa di seluruh negeri mengajak kita bermenung. Mengapa anak-anak Indonesia yang polos budinya dan yang peduli di usia belia berubah menjadi tikus pencuri ketika dewasa. Apa yang membuat mereka tidak saja tidak peduli akan sesama, tetapi menggerogoti sendi-sendi kesejahteraan umum. Di mana letak kesalahan pembinaan generasi muda kita?

Bukan rahasia bahwa sistem dan perangkat pendidikan nilai kita secara umum masih buruk. Bahkan pendidikan karakter masih sangat marjinal, dibandingkan dengan sains dan teknologi.

Makin tinggi jenjang pendidikan, makin marginal pendidikan nilai. Lepas dari pendidikan nilai dalam keluarga dan agama (seperti pengajian atau sekolah minggu), remaja-remaja kita dibiarkan terombang ambing di tengah proses pencarian jatidiri.

Tanpa pendidikan nilai yang memadai, ditambah dengan langkanya keteladanan (role model) di tengah masyaratakat, maka pelan-pelan jiwa-jiwa yang polos itu berubah kelam. Tuntutan untuk bertahan hidup, juga di tengah tawaran hedonisme, persaingan, dan buruknya sistem keadilan social, ditambah denagn sistem ular-tangga tadi, tidak sedikit yang mengambil jalan pintas.

Dalam konteks itu jelaslah bahwa, selain perombakan sistem, pendidikan menengah menjadi penting. Itu menjadi kunci pembentukan karakter dan jati diri generasi muda yang kerasa terhadap diri sendiri, dan berani berkorban demi kebaikan umum.

Belum Mati!

Sosok heroik Sondang adalah satu dari barisan generasi harapan itu. Mereka memberi harapan bahwa kendati dikianati, Reformasi belum mati! Dan tidak akan biarkan dia mati! Mereka seakan bersaksi bahwa di luar gerombolan para pengkianat itu, tidak sedikit orang muda, di Jakarta maupun di daerah-daerah, dengan beragam cara dan wujud, tetap setia melanjutkan agenda reformasi.

Tantangannya, adalah bagaimana generasi harapan ini memperkuat diri, menambah lapisan generasi baru, dan terus melakukan konsolidasi, serta membangun gerakan yang lebih konsisten dan besar. Pertama-tama untuk menjungkirbalikkan sistem ular-tangga, dan selanjutnya terlibat aktif dalam terobosan pendidikan karakter bagi generasi yang lebih muda.

Mudah-mudahan setelah terus dirundung duka karena dikhianati sebagian generasi pasca reformasi, Ibu Pertiwi bisa tersenyum karena harapan bahwa Indonesia yang lebih baik masih mungkin kita raih. Karena di luar para pengkianat itu masih banyak anak muda yang menjaga kobaran ikrar reformasi dalam hati, pikiran dan tindakan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun