Cyperus Rotundus, No.59
Senja masih menampakkan keangkuhannya. Ada masih di sana semburat jingga sedikit tersaput kelabu. Awan-awan hitam yang merangkai-rangkai berarak membentang kokoh dari Barat ke Timur. Namun hanya lewat dalam sejejak saja, sesudah itu lenyap adanya. Ah ha... sudah pasti itu bukan awan yang sesungguhnya.
Celoteh burung terbang ke sarang ditingkah canda tawa angin membisik meraung-raung, berselip-silang di sela-sela daun-daun yang hampir kerontang. Angin yang kering dan menjemukan, terlebih telah lama membawa jelaga berhambur, membentuk kabut yang entah kapan akan sirna. Belum ada pertanda hujan akan menyemaikan belas kasihnya, meski itu hanya setetes saja.
Panas dan bau sangit menyeruak di seluruh penjuru hutan. Udara betul-betul terasa menyesakkan dada, nyeri yang memabukkan. Pun demikian pedih mata memerah tersaput jelaga. Hewan-hewan berlarian lintang pukang mencoba menyelamatkan diri. Di ufuk sebelah utara tampak semburat api merah menyala-nyala merapalkan mantra kematian.
Di sudut sebelah lorong tampak dua ekor gajah berlarian menjauhi sumber api. Sebuah pemandangan yang menyentuh nurani. Seekor induk gajah dengan anaknya..!!
“Bunda..!! masih jauhkan...?”
“Sebentar lagi sayang..!”
“Aku sudah capek Bunda! Boleh istirahat sebentar..?”
“Jangan di sini sayang!”