"Seusai beberapa sambutan dari para petinggi desa, alunan musik gendhing jawa pun mengiringi para tamu yang hadir dalam peringatan Syawalan. Warga desa Sidoharjo, sebuah desa di lereng perbukitan menoreh, berkumpul bersama dan berpesta malam itu. Jejer sebagai tanda telah dimulainya pertunjukan wayang terdengar sayup dari sisi bukit. Para penonton merangsek mengelilingi panggung dan terus bertambah hingga "limbukan" dimulai. Selain wejangan dari seorang ustad pribumi, lantunan sinden dan lawakan sang dalang menghibur ratusan penonton yang mulai mengantuk. Namun, setelah Yu Limbuk kembali masuk kotak dan lakon wayang dilanjutkan, sedikit demi sedikit penonton mulai membalikkan badannya dari panggung kemudian berjalan menjauh dan tidak kembali. Pertunjukan usai pukul 04:15 WIB dengan menyisakan belasan penonton...."
Kehadiran wayang sangat tergantung dari kemampuan para praktisi pewayangan untuk terus melakukan perubahan dalam hal kreasi dan inovasi seni pertunjukkan, maupun perubahan dalam manajemen pertunjukan dengan mengadopsi cara berpikir modern. Sebuah contoh kecil, sebuah panggung bahkan bisa dikerumuni oleh banyak penonton takkala ada pertunjukkan wayang yang berbeda dari biasanya; dengan mengundang aktris/tokoh masyarakat ataupun dengan menyelipkan suguhan budaya lain didalam pementasan. Dengan beragamnya kreasi dalam pementasan, wayang tidak akan kehilangan penggemar.
Pertunjukkan wayang juga merupakan salah satu sarana atau media, entah itu media pendidikan, pengkomunikasi nilai, dll. Bahkan dahulu pertunjukkan wayang menjadi satu-satunya alternatif media, salah satunya dipilih oleh seorang Sunan dalam penyebaran agama. Namun, lain dulu lain sekarang, beragam media hadir bahkan saling berkompetisi. Akan tetapi, kini sebuah pertunjukan wayang bukan lagi menjadi subyek media, namun bergeser menjadi obyek media. Wayang kini diberitakan dan bukan yang memberitakan. Wayang kini lebih erat membawa predikat sebagai media hiburan.
Pementasan wayang kulit menjadi sebuah penggambaran karakter manusia yang dilakukan oleh seorang dalang dengan wayang-wayang yang ditarikan bersama iringan gendhing dan nyanyian seorang sinden. Seorang dalang dituntut untuk multi karakter, baik penjiwaanya maupun terhadap cara memainkan wayang itu sendiri, karena dia akan memainkan beragam wayang dengan karakter yang berbeda-beda selama semalam suntuk. Selain itu dalang juga harus memiliki kemampuan dalam berbahasa jawa --tanpa menutup kemungkinan untuk bisa berbahasa daerah lainnya atau bahasa asing-- sebagai salah satu pakem budaya lokal pada saat pementasan.
Pementasan dengan bahasa lokal tersebut yang membuat para penonton wayang juga harus dibekali dengan penguasaan bahasa yang kurang lebih sama untuk dapat memahami setiap adegan dalam pementasan wayang. Mereka yang tua, mereka yang memiliki serapan bahasa yang lebih "wasis" tentunya tak akan kesusahan dalam mengikuti jalan cerita pada setiap adegannya, namun kemudian dalam benak saya terpikir; "Bagaimana dengan mereka yang muda, bahasa lokal kini semakin tertinggal, apalagi dengan merebaknya budaya alay?" Tentunya, komunikasi tidak terjalin sempurna, khususnya pemahaman jalan cerita lakon pementasan wayang oleh penonton terhambat oleh serapan bahasa yang tidak sama. Persoalan bahasa ini kemudian menjadi salah satu alasan yang paling banyak saya jumpai dan sedikit demi sedikit menjauhkan ketertarikan pada para pemuda dari sebuah pertunjukan wayang.
Dalam sebuah pementasan wayang, banyak orang yang berpartisipasi dan berperan. Para wiyaga, sinden, sound system hingga pembuat kopi saling mengisi sebagai sebuah kelompok yang solid. Oleh sebab itu pementasan wayang kulit memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mahalnya tanggapan wayang ini juga menjadi salah satu alasan mengapa kini geber jarang terbentang. Persaingan dalam dunia hiburan mulai kalah dengan alternatif-alternatif yang hadir dengan imbalan jasa yang bersaing seperti campur sari, hingga organ tunggal.
Mungkin benar bila dikatakan telah terjadi pergeseran kultur, dimana masyarakat sekarang adalah masyarakat modern yang cenderung lebih menyukai seni kontemporer dan menganggap seni wayang kulit adalah kesenian kuno yang hanya layak dikonsumsi oleh para orang tua. Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang mulai kehilangan penonton, bisa dikatakan bahwa wayang kini semakin kehilangan penggemarnya. Namun hal itu bisa ditepis, bahwa hingga saat ini wayang terbukti masih ada meski berada dalam gempuran budaya pop yang datang dan pergi, wayang tetap hidup. Wayang masih hidup dan tetap hidup diantara budaya K-Pop yang menerjang. Wayang masih bertahan dan akan terus bertahan dari gempuran media-media sosial dan sinetron. Wayang tetap hadir untuk menghidupi para pedagang-pedagang kecil yang ikut mencari berkah dari pementasannya.
Sebuah PR besar bagi kita untuk ikut dan berperan dalam melestarikan warisan leluhur. Menanggap wayang bukanlah sebuah solusi utama agar pertunjukan wayang terus bertahan. Namun kita juga tidak boleh hanya sekedar duduk sembari menganggap wayang adalah sekedar warisan yang tak pernah kita tahu masa depannya. Kita semua harus mau untuk belajar dan berubah, untuk berkontribusi menciptakan masa depan bagi wayang sebagai budaya yang kita miliki bersama. Dengan semakin banyak orang yang bisa berkontribusi terhadap wayang, maka akan semakin banyak orang yang akan merasa memiliki wayang. Ketika kita sudah memiliki semangat itu, maka kita bisa menjadi penggerak dalam melestarikannya. Semangat memiliki yang mendorong kita pada ketertarikan menonton dan mengapresiasi sebuah pertunjukkan wayang. Pun pula kreativitas dan kemajemukan karya dalam seni pewayangan akan membuat media lain tertarik untuk meliput dan membiarkan wayang terangkat diantara gemuruh berita politik dan gosip. Wayang akan tetap terdengar meskipun samar-samar. --efka ©2012-- Galeri: Olympus OM10 - OM Zuiko 50mm f/1,8 - Kodak Color Plus 200
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya