[eFKa] - Sejarah mencatat bahwa perjalanan Paroki St. Theresia Lisieux Boro tidak pernah lepas dari kehadiran seorang sosok asal Austria, Rm. J.B Prennthaler SJ. Beliau adalah perintis atau "Rasul Agung" yang menumbuh-kembangkan iman dan menyebarkan kabar gembira di wilayah pegunungan Menoreh dengan semangat "Mengasihi Allah melayani umatNya". Dimulai dari tahun 1927, Rm. Prennth mempersembahkan misa untuk pertama kalinya di Jurang Depok yang dihadiri oleh 5 orang katolik saja. Peristiwa tersebut dipandang menjadi embrio akan lahirnya Paroki Boro yang memakai Santa Theresia Lisieux sebagai nama pelindungnya. Selain terus bertambahnya umat dengan pewartaan iman pada waktu itu, lewat karya misinya Rm. J.B Prennthaler SJ juga mendirikan sekolah-sekolah, biara dan rumah sakit yang masih dapat kita jumpai hingga kini.
Kini (th. 2012) usia tak lagi muda, Paroki St. Theresia Lisieux Boro telah berumur 85 tahun. Sebagai wujud syukur dan untuk mengingat jasa Rm. Prennth, umat Paroki St. Theresia Lisieux Boro mengadakan doa Novena dilakukan 9 kali setiap hari kamis jam 18.00 WIB sore bertempat di makam Rm. J.B Prennthaler SJ. Tak hanya itu, novena rutin juga tetap digelar setiap malam jumat kliwon di tempat yang sama, tak jauh dari Gereja Paroki St. Theresia Lisieux Boro berdiri.
"Novena Rama Prennthaler, SJ, ingkang pinundhi-pundhi dening umat saparoki, supados umat saged mangertos sinten Rama Prennthaler punika, lan lajeng saged nulad sugengipun. Pancen ageng bektipun Rama Prennthaler dhateng Santa Theresia Cethi Dalem Sang Timur." - (pujasumarta.multiply.com)
"Santa Theresia, ingkang kajumenengaken dados pangayomaning umat paroki Boro. Pengetan tanggap warsa punika dadosa kesempatan kangge umat mbangun niat “Manunggal Urip Sarukun, Andum Mring Pepadha”. - (pujasumarta.multiply.com)
“Manunggal Urip Sarukun, Andum Mring Pepadha”
85 Tahun bukanlah waktu yang pendek, demikanlah yang diilhami, bahwa umat Paroki St. Theresia Boro tak ingin melewatkan momentum ini dengan sia-sia. Hal tersebut diungkapkan melalui tema yang yang diusung dalam rangkaian perayaan ini "Manunggal urip sarukun, andum mring pepadha". Manunggal urip sarukun - bersatu hidup rukun menjadi sebuah sikap menanggapi keadaan yang terjadi dalam beberapa waktu ini, dimana banyak terjadi perpecahan terjadi dan tindak kekerasan dan kriminalitas semakin meningkat di Negeri Indonesia. Salah satu jalan yang ditempuh adalah melalui budaya dan kesenian, dimana sebuah kerukunan dapat terjalin. Jathilan yang menjadi kesenian lokal dari warga menoreh dihadirkan melalui festival jathilan dalam rangkaian perayaan HUT tersebut. Festival yang digelar selama 4 hari tersebut menjadi buah dari kearifan lokal yang terbukti mampu menyatukan siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan golongan. Selain itu peran gereja dalam "nguri-uri" melestarikan budaya juga terealisasi. Tak hanya Festival Jathilan, namun Festival Dolanan Anak, turnamen sepakbola hadir memeriahkan rangkaian perayaan HUT Paroki Boro. [caption id="" align="alignnone" width="582" caption="dok. Fransiskus Kurniawan | ©2012"]
"Mugi sih Dalem Gusti dados kekiyatan kita amrih sangsaya kiyat iman kapitayan kita, lan kanthi mekaten kita saged dados berkah, amargi sampun kinembengan ing berkah Dalem Gusti." - (pujasumarta.multiply.com)
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H